Meskipun Anselmus D. Atasoge penganut agama Katolik tetapi kecintaannya terhadap agama Islam melekat kuat dalam dirinya.
Kota Larantuka dikenal sebagai kota dengan mayoritas Katolik tak dapat mengendorkan niat Anselmus Atasoge guna mengenal agama Islam. Ia akhirnya memilih kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta guna memperoleh gelar doktoratnya di bidang Studi Islam.
Ia mengaku mendapat informasi tentang UIN Sunan Kalijaga (SUKA) Jogya dari Bimas Katolik Kementerian Agama RI. Ya, “Sebelumnya saya hanya mendengar nama universitas ini. Informasi tentang UIN sering didapat pada saat terjadi kegiatan-kegiatan Bimas Katolik yang selalu mengundang para narasumber dari UIN Suka di antaranya Prof. Sutrisno,” jelasnya.
“Ketika Bimas Katolik memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan studi yang berkaitan dengan Kajian Agama, setelah saya berkonsultasi dengan pihak Bimas Katolik, saya memutuskan untuk mendaftarkan diri pada UIN Suka,” ujarnya kepada media, Jumat, 4 November 2022.
Meski sudah sempat mengenal UIN Suka, namun ketika memulai proses pendaftaran dan proses-proses awal sebagai persyaratan masuk ke UIN Suka, Anselmus selalu dihantui perasaan was-was dengan sejumlah sejumlah pertanyaan: Mungkinkah bisa diterima di sana; Apakah situasinya kondusif untuk kami yang berlainan keyakinan; Adakah sesuatu yang bermanfaat bagi saya ketika saya sudah ada di sana; Apakah di sana saya bisa mendapatkan ilmu yang saya harapkan?
“Persepsi yang demikian muncul lantaran pengenalan dan pengetahuan tentang keadaan dan karakteristik tentang UIN belum mendalam dan tak seberapa. Persepsi itu berubah ketika saya sudah masuk ke UIN Suka dan telah melewati dua bulan awal di masa perkualihan,” paparnya.
Ia menyebut, lukisan awal tentang UIN yang melahirkan perasaan was-was perlahan menghilang. UIN sungguh menerima kehadirannya yang berbeda keyakinan dengan mayoritas civitas akademika di sana. Dan, setelah melewati dua bulan awal perkuliahan di sana, ia sungguh mengalami bahwa apa yang ia harapkan sungguh dijawabi oleh UIN.
“Ilmu yang saya harapkan akhirnya saya dapatkan di sana meski di awal semester harus berjuang keras untuk menyesuaikan diri dengan pola pembelajaran dan metode perkualihan yang diterapkan di UIN yang cukup berbeda dengan masa-masa perkualihan saya di tempat lain sebelumnya. Namun, berkat ketekunan dan sungguh terlibat dalam seluruh proses dan metodologi pembelajaran di sana akhirnya saya bisa menyesuaikan diri juga,” imbuhnya.
Anselmus Atasoge pun mengikuti mata kuliah studi Islam, seperti Al-Quran dan Hadis, pendekatan dalam studi Islam.
“Pertama sekali saya mesti mengatakan bahwa ilmu-ilmu ini merupakan ilmu yang amat baru bagi saya meski sebelumnya di masa studi S1 saya mengikuti pula mata kuliah Islamologi. Mata kuliah yang baru ini menjadi tantangan tersendiri buat saya. Saya harus masuk dalam ‘dunia pengetahuan tentang agama Islam’ dan harus memulainya dari pengetahuan yang paling substansi tentang agama dengan mengacu pada sumber utama dalam agama Islam itu sendiri yakni Al-Quran dan Hadis.”
“Demikian pula dengan mata kuliah pendekatan dalam studi Islam. Mata kuliah yang terakhir ini semakin membuka wawasan saya berkaitan dengan bagaimana mengaitkan studi agama dengan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, antropologi, sejarah, feminisme, dan fenomenologi. Sungguh hal ini merupakan sesuatu yang baru bagi saya. Sebuah perspektif interkonektif saya dapatkan di sini,” urainya.
Ia menyebut, dengan studi Islam pengaruhnya pada persepsi saya terhadap Islam, Al-Qur’an, Hadis dengan mempelajari sumber-sumber utama agama Islam, saya mendapatkan perspektif baru terhadap Islam. “Teknik menafsir Al-Quran dan Hadis membantu saya untuk bisa mencermati ajaran-ajaran Islam yang merupakan hasil tafsiran.”
“Di sana saya terbantu untuk melihat mana hasil penafsiran yang bertitik tolak pada standar penafsiran yang benar dan mana yang tidak. Dengan itu, saya mendapatkan gambaran yang benar tentang agama dan ajaran agama Islam. Hal mana bisa membantu saya untuk melihat apa pula yang terjadi dalam agama saya,” bebernya lebih jauh.
Ia bilang yang dapat ia pelajari dari Islam yakni membantu dirinya untuk melihat wajah agama Islam secara lebih holistik. Jika selama ini narasi-narasi tentang agama Islam kebanyakan bernada negatif, berkat studi yang ia jalani di UIN Suka, Anselmus mendapatkan perspektif baru atas narasi-narasi tersebut. Lewat mata kuliah-mata kuliah yang sudah disebutkan di atas ditambah pula dengan mata kuliah seperti Agama dan Perdamaian, Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman dan lain sebagainya.
Terkait materi Perbandingan Kitab Suci sama dengan materi perkualiahan, sungguh ia membantu dirinya dalam tugas dan karya di bidang keagamaan dan terutama bagaimana ia bisa mendalami tema-tema seperti toleransi dan dialog antaragama dengan bertitik tolak dari dua sumber utama dari agama Islam dan agama Katolik.
“Materi perkualihan ini pula memberi wawasan yang lebih luas bagi saya bagaimana persamaan dan perbedaan dalam menyelami dan memahami Al-Quran dan Alkitab,” katanya.
Anselmus mengatakan, sekarang di posisinya sebagai awam, yang mana sebelumnya selama kurang lebih 13 tahun ia mengikuti pendidikan untuk menjadi pastor. Namun, cita-cita itu tidak sampai karena ia memutuskan untuk tidak menjadi pastor, namun tetap berkarya sebagai seorang awam dalam kehidupan menggereja.
“Ilmu-ilmu yang saya dapatkan di UIN Suka sangat membantu saya dalam memberikan perkuliahan di Flores di mana saya dipercayakan mengasuh mata kuliah Dialog Antaragama di Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka,” jelas Ansel.
Dr. Anselmus D. Atasoge, S.Fil., M.Th mengambil disertasi dengan judul Praksis Ritus Komunal Etnis Lamaholot Dalam Komunitas Katolik Dan Islam Di Flores Timur (Perspektif Dialog Antar Iman).
Ia menyebut ada tiga permasalahan Utama yang menjadi fokus perhatian penelitian dirinya yakni;
Pertama, sejauh mana ritual agama leluhur di Lamaholot mengalami perubahan dalam perjumpaannya dengan agama Islam dan Katolik?
Kedua, modal kohesi sosial apakah yang dimiliki masyarakat Lamaholot dalam membangun dialog antaragama di Flores Timur?
Ketiga, tantangan apa sajakah yang dihadapi dan negosiasi semacam apa yang dilakukan dalam interaksi dan dialog antara agama leluhur dengan agama Islam dan Katolik?
Kajian tersebut mengemban tujuan untuk menelusuri dan merekonstruksi sistem pengetahuan, sistem nilai dan sistem simbol Lamaholot dalam narasi-narasi ritus-ritus Lamaholot dan dalam narasi-narasi agama Islam dan Katolik yang dapat dijadikan sebagai Pintu masuk untuk membangun dialog (antaragama-antariman) dalam rangka menciptakan kohesi sosial hidup beragama dalam keberagaman.
Menurut Ansel, Islam Lamaholot dan Katolik Lamaholot di Flores Timur merupakan hasil perjumpaan antara agama Islam dan agama Katolik dengan praksis keagamaan masyarakat budaya Lamaholot.
Di dalam perjumpaan tersebut, kata dia, sistem pengetahuan, sistem nilai dan system symbol yang terkandung di dalam ritus-ritus Lamaholot dan ajaran iman yang diyakini dan diajarkan oleh agama Islam dan agama Katolik saling meneguhkan dan menegaskan.
“Studi ini menemukan dua ranah sebagai pintu masuk untuk pengembangan model dialog antaragama dan dialog antariman: Pertama, ranah Teologis. Konsep-konsep ketuhanan dalam ritual lokal Lamaholot dan dalam agama dunia (Islam dan Katolik) berjumpa dan saling menguatkan. Ia menjadi basis epistemologi dalam rangka dialog,” ujarnya.
Dua tekanan utama menurut Ansel. Yakni, Pertama, sistem pengetahuan tentang ketuhanan dan sistem simbol dalam ritus-ritus komunal Lamaholot merupakan titik temu teologis dalam membangun dialog antaragama dan dialog antariman masyarakat Lamaholot.
Yang kedua, Keyakinan akan ajaran agama dunia diperteguh oleh nilai-nilai agama leluhur dan dikontekstualisasikan dalam perjumpaan-perjumpaan sosial kemasyarakatan. Atau, keyakinan dasariah dalam agama leluhur menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan pengetahuan dan nilai-nilai yang diajarkan agama-agama dunia. Di sini, konsepsi Lamaholot dan ajaran agama-agama tersebut saling menegaskan meskipun keduanya hadir dalam ruang yang sama di waktu yang berbeda.
Kedua, pada ranah praktis, Ansel bertolak pada ranah teologis, dialog pada ranah praktis dihadirkan dalam bentuk ritus-ritus komunal.
Pertama, ritus dari semua ritus-ritus Lamaholot menjadi media untuk mentransmisikan nilai-nilai solidaritas kelamaholotan. Solidaritas mendapatkan penguatan maknanya bersamaan dengan terciptanya modal-modal sosial dalam jaringan-jaringan sosial yang terwujud dalam sikap saling percaya, kesadaran simpatetik dan kewajiban yang mengikat erat para warga lewo. Modal sosial dan sikap-sikap tersebut menjadi prasyarat terciptanya harmoni sosial.
Kedua, ritus untuk semua ritus mendorong semua warga lewo untuk berjalan bersama untuk mencapai keselamatan bersama. Keselamatan di sini lebih berkaitan dengan keselamatan di dunia yang peneliti golongkan sebagai terciptanya relasi kohesif antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam semesta dan manusia dengan ‘yang kudus’ dan para leluhur.
Pada akhirnya, ‘ritus untuk semua’ secara alamiah memproduksi moral sosial Lamaholot. Moral sosial Lamaholot terwujud dalam model-model relasi manusia Lamaholot di antaranya kewajiban untuk menjadi bagian dari keseluruhan dan kewajiban untuk menjadi atadiken demi keselamatan bersama.
Menurut saya, agama dan budaya lokal memiliki posisi penting dalam dialog antaragama-dialog antariman pada zaman sekarang.
Selama ini, kata Ansel, dialog antaragama-antariman belum banyak melihat dan melibatkan peran agama dan budaya lokal. Sekiranya studi ini dapat menyumbang bagi upaya membangun dialog antaragama dan antariman dari perspektif keilmuan sosiologi-antropologi agama dan budaya.
Kepada Media ini, ia mengatakan, ujian terbuka doktor berlangsung di aula Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis, 3 Nopember 2022, pukul 13.00-15.00 WIB.
Sidang promosi ini dipimpin oleh Prof. Dr. H. Maragustam, M.A sebagai ketua sidang dan didampingi sekretaris sidang Ahmad Muttaqin, S.Ag., M.Ag., M.A., Ph.D.
Tampil sebagai penguji yakni:
Prof. Dr. Siswanto Masruri, M.A (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogya sekaligus Promotor)
Dr. Fatimah Husein, M.A (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogya sekaligus Co-Promotor)
Prof. Dr. Sekar Ayu Aryani M.Ag. (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogya)
Prof. Dr. J.B. Banawiratma (Guru Besar Universitas Duta Wacana Kristen Yogya)
Dr. Ustadi Hamsah, S.Ag., M.Ag. (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogya)
Dr. Heru Prakosa (Dosen Universitas Sanata Dharma Yogya, seorang Pastor Jesuit yang juga penasehat Paus di bidang dialog antaragama)
Momen ini dihadari juga oleh Dr. Iwan Djadijono, Dosen ISI Jogya yang didaulat sebagai pendamping promovendus (calon doktor) Anselmus D Atasoge. (yurgo purab)