Kami, saya dan kawan-kawan pegiat literasi di Lembata, menyebut diri sebagai Komunitas Literasi Lembata, dalam melakukan kolaborasi dengan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (DKP) Kabupaten Lembata, untuk menggelar Seminar Bulan Bahasa bertajuk: Menelisik Peran Prof. Dr. Gorys Keraf Dalam Perkembangan Pengajaran Bahasa di Indonesia, Kamis (20/10/2022) lalu.
Komunitas Literasi Lembata ini terdiri dari sejumlah komponen pegiat literasi. Ada Taman Baca Moting Maung, Pondok Perubahaan, Ikatan Guru Indonesia (IGI) Lembata, Agupena Lembata, Aliansi Jurnalis Lembata (AJL), serta ada juga perseorangan yang giat menggelorakan semangat literasi maupun teater di Lembata. Masing-masing pegiatan literasi Lembata ini sebetulnya sempat berbincang dengan reu Apol Mayan, Kepala DKP Lembata. Inti pembicaraan soal bagaimana menggelorakan literasi di Lembata yang seolah mati suri. Tak terdengar selepas deklarasi Kabupaten Lembata sebagai Kabupaten Literasi yang menghadirkan Duta Baca, Najwa Sihab di Lewoleba, Lembata. Juga, berbincang soal bagaimana menggelar kegiatan pada bulan Oktober sebagai Bulan Bahasa.
Reu Apol Mayan mengundang kami, Komunitas Literasi, untuk bertukar pikiran di ruang kerjanya, di gedung Perpustakaan Daerah Kabupaten Lembata, awal Oktober lalu. Kami berdiskusi soal apa yang mau dilakukan dalam Bulan Bahasa ini. Dan, reu Apol mengisahkan beberapa diskusi yang sempat dilakukannya, baik dengan saya maupun dengan beberapa kawan secara terpisah.
Semua kami sepakat untuk merayakan Bulan Bahasa ini dengan berbagai kegiatan, termasuk seminar. Saya mendapat tugas mempersiapkan kegiatan seminar, adinda Feldin Kelen (ketua IGI) mengurus karnaval dan lomba teater, dan ama guru Albert Muda (SMANDU) menangani lomba pidato (SLTA) dan lomba paduan suara (SLTP). Sedangkan, bung Darko King (Moting Maung) menjadi koordinator seksi acara. Ketua panitia diemban Sekretaris DKP, Raymundus Beda.
Saya menyusun Term Of Reference (TOR) atau kerangka acuan seminar. Saya kirimkan ke WAG Panitia Bulan Bahasa, untuk mendapatkan masukan kawan-kawan panitia. Semua sepakat dengan TOR yang ada. Maka, pergerakan pun saya lakukan. Kebetulan abang Thomas B. Ataladjar, penulis sejumlah buku tentang sejarah beberapa daerah, termasuk buku Lembata dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya, sedang ada di Lembata. Maka, orang pertama yang saya minta kesediaan menjadi pembicara adalah Abang Thomas Ataladjar, saat bertemu di tempatnya menginap.
Saya mengantar istri saya, Fince Bataona, yang diajak abang Thomas Ataladjar untuk bergabung di tim penulis modul muatan lokal berbasis budaya. Saat itu, ada juga abang Yoseph Yapi Taum. Tapi, dosen Universitas Sanata Dharma Jogjakarta ini sangat padat, dan hampir tidak punya waktu kosong selama di Lembata. Selesai memandu lokakarya penulisan modul, ia langsung balik ke Jogjakarta, untuk aktivitas di kampusnya. Kaka Thomas punya waktu longgar pada tanggal 20 Oktober 2022. Maka, saya meyakinkan teman-teman untuk menggelar seminar pada tanggal itu, sesuai kesiapan narasumber yang saya “bajak” ini. Apalagi, abang Thomas pun antusias bicara soal guru tulis menulisnya, sekaligus dosennya di Unika Atma Jaya Jakarta, semasa ia menyelesaikan studi S-1 disana.
Orang kedua yang saya hubungi adalah anggota DPR RI, Dr. Andreas Hugo Parera (AHP). Sayang, pada tanggal 20 Oktober, AHP sudah punya agenda kegiatan lain. Saya harus putar otak untuk mendapatkan narasumber lain yang berkompeten, tapi tidak harus menguras biaya. Maklum, panitia tidak punya modal sama sekali. Kadis dan Sekretaris DKP sudah terbuka menyatakan bahwa anggaran di dinasnya nihil untuk membiayai kegiatan yang kami rancang bersama itu.
Muncul ide untuk memunculkan testimoni keluarga dalam forum seminar. Maka, saya coba menghubungi dr. Nina Keraf, putri mendiang almarhum Prof. Dr. Gorys Keraf. Ternyata disambut hangat. Bahkan, ia bersama adiknya, Willibrordus Gregorius Adhyartha Usse Keraf, ST., M.M., M.TI., bersedia datang menyampaikan testimoni soal ayah mereka.
Sementara dua pembicara lainnya, Yoris Wutun dan Emanuel Prason Krova, S.Fil, M.Si., dua anak muda Lembata yang saya tahu kutu buku. Yoris Wutun baru saja menjadi wakil Indonesia untuk berbicara tentang pendidikan di masa darurat dalam forum Global Feminist Coalition for Gender Transformative Education, di New York, Amerika Serikat. Sedangkan, Eman Krova, seorang kolektor buku, yang saya yakini punya sejumlah informasi dahsyat tentang pemikiran seorang Prof. Dr. Gorys Keraf.
Setelah semua pembicara menyatakan kesiapan untuk tampil dalam forum Seminar Bulan Bahasa, saya sampikan kepada semuanya, bahwa ini kegiatan “gratis”. Saya harus jujur pada dokter Nina dan Adhy Keraf, bahwa panitia tidak mampu membiayai tiket pesawat mereka berdua. Juga, penginapan dan lain-lain selama di Lembata. Dokter tidak keberatan, dan memastikan akan hadir bersama adiknya, Adhy Keraf. Klop.
Pembuatan flayer dilakukan. Yoris Wutun tak cuma jadi pembicara. Anak muda ini pun harus buang waktu mengerjakan flyer. “Saya catat lima kali lakukan perubahan,” celetuk Yoris, setelah flyernya saya setujui untuk disebar. Maklum saja, nama, foto, dan teks yang ditampilkan harus mengalami beberapa perubahan agar sesuai perkembangan lapangan. Begitulah!
Yang terakhir, forum seminar ini harus mendunia. Setidaknya, orang Lembata di luar negeri harus tahu soal forum Seminar Bulan Bahasa di Lembata. Saya minta Fince Bataona menghubungi omnya, Pater Bruno Dasion di Nagoya, Jepang, untuk menmulis puisi tentang Prof. Dr. Gorys Keraf, agar dibacakan saat pembukaan seminar. Pater Bruno bersedia, dan esoknya langsung mengirim teks puisi melalui pesan whatsapp. Fince menghubungi Nia ‘Arundaty’ Liman untuk membacakan puisi itu.
Berikutnya, agar forum ini harus bisa diikuti warga Lembata dan pencinta Prof. Dr. Gorys Keraf di berbagai belahan dunia, maka harus live streaming. Disinilah Broin Tolok, owner channel You Tube Legan TV, saya minta memainkan perannya.
Dan, sebagai acara selingan, butuh sentuhan music. Ricko ‘The Blues’ Wawo, gitaris Lembata Akustik, menyatakan kesiapannya. Begitu juga, sang vokalis Felly Kamalera. Malah, ada tambahan amunisi gitaris, Alfred Wurin. Maka, lengkap sudah semuanya.
Yang terakhir, peran Paulus Ama Duli, untuk design dan cetak baliho. Dua lembar baliho berukuran 2X2m dan 2X3 meter disiapkan “3Telur Digital Printing”. Dan, wajah ruangan aula Perpustakaan Daerah pun berubah. Tampak megah untuk menggelar seminar, sekalipun doi. Dan, seminar pun berjalan dengan antusiasme peserta yang sungguh menakjubkan.
“Terus terang, kami tidak punya anggaran untuk bikin kegiatan ini. Dokter Nina dan Pak Adhy Keraf juga datang ke Lembata dengan biaya sendiri. Ini pengalaman pertama saya bekerja di pemerintahan dan bikin kegiatan tanpa doi. Kolaborasi kami dengan Komunitas Literasi sungguh luar biasa,” ungkap Sekdin Kearsipan dan Perpustakaan, Raymundus Beda, saat acara pembukaan seminar. (freddy wahon / bersambung)