Frater Rinto Djaga
Seminaris Ritepiret, Sikka
Pagelaran ETMC tahun 2022 telah menemukan juara, pasukan RORE, Perse Ende, dengan roh dari Marilonga telah menumbangkan tuan rumah Persebata Lembata, klub dengan kekuatan teriakan Baleo dari para Lamafa. Drama adu penalti yang mendebarkan, spekulasi atas keputusan wasit yang menciptakan debat, kompetisi antar suporter, serta berbagai keindahan permainan dan kerasnya pertahanan masing-masing tim untuk merebut takhta sebagai pemenang. Tetapi sepakbola tidak pernah berhenti ketika peluit tanda akhir pertandingan dibunyikan. Sepakbola punya sisi ajaib, juga taktik yang menembus dimensi sosial, ekonomi, bahkan budaya sebuah masyarakat.
Sepakbola mengaburkan kelas, mengumpulkan teman, bahkan memperkuat identitas. Tetapi dari mana semua keajaiban dari sepakbola itu datang, padahal itu cuma bola, yang mampu memberikan pengaruh besar ketika di sebuah lapangan tengah terjadi perebutan kemenangan. Sepakbola adalah gambaran kecil dari kehidupan tentang kekalahan, perjuangan, cinta dan amarah. Semuanya seperti menjadi satu sajian untuk direnungkan.
Tulisan sederhana ini tidak akan membahas soal-soal teknik, bagaimana bentuk serta strategi dari para tim untuk bertanding, tetapi ini tentang hal-hal yang ajaib, indah, dan reflektif yang terjadi di luar lapangan.
Nills Heveman, sebagaimana dikutip oleh Elvan De Porres dalam essainya “Sepakbola dan Kenikmatan Tentangnya” mengungkapkan bahwa sepakbola adalah suatu kultur, yang telah tumbuh dalam kebudayaan manusia era sekarang. Lebih lanjut, Heveman mengungkapkan bahwa sepakbola dapat menjadi cerminan sebuah masyarakat. Tetapi saya kurang setuju dengan Havemman jika sepakbola sebagai cerminan masyarakat, hanya menggambarkan keadaan sosial-ekonomi suatu masyarakat saja.
Heveman mengungkapkan, jika kondisi sepakbola suatu masyarakat berantakan, maka hal ini sama dengan realitas kehidupan yang lainnya, semisal sosial dan ekonomi. Bagi saya, sepakbola yang menjadi cerminan suatu masyarakat, juga berhubungan dengan identitas kultural suatu masyarakat. Semua ini ditunjukkan oleh para suporter. Logo yang menggunakan kekhasan kultural masing-masing daerah, jargon-jargon bercirikan lokal, ekspresi kreatif yang menggambarkan kekhasan daerah masing-masing.
Rore, Meju, Baleo, semuanya ingin menunjukkan kekhasan masing-masing. Tanpa disadari, hal ini menyelamatkan sesuatu yang pelan-pelan terlupakan, yaitu identitas Lokal. Logo, bukan sekedar gambar, tetapi ada latar belakang sosio-historis yang ada di balik sebuah gambar.
Logo para Perse mania dengan Ikon Marilonga serta teriakan Rore, begitu juga dengan Persebata yang menggunakan Ikan Paus sebagai ikon serta teriakan baleo yang menjadi jargon suporter. Hal-hal seperti ini menghubungkan orang-orang dengan konteks, sejarah, bahkan ientitas lokal masyarakat itu sendiri.
Ada hal yang menarik di anatara berbagai ekpresi kulutur dalam parhelatan ETMC 2022. Salah satu aksi suporter yang sempat ramai dan menjadi perbincangan hangat, adalah saat seorang suporter Persebata, Laba Making, menyanyikan syair adat.
Syair adat ini dalam kebudayaan masyarakat Lamaholot, disebut sebagai oreng. Oreng memiliki peran sebagai pewarisan cerita atau lantunan syair untuk memberi nasehat (Tena Nao), juga sebagai salah satu bentuk sastra lokal. Muatan yang ada dalam sebuah syair oreng adalah refleksi terhadap makna dari suatu peristiwa. Tetapi hal ini dikaitkan dengan praktek magis terhadap kekuatan supranatural yang akan mempengaruhi jalanya pertandingan.
Laba menyenandungkan oreng untuk pertama kali dalam perhelatan ETMC XXI 2022 saat laga Persebata Lembata menghadapi Persami Maumere. Setelah kemenangan Persebata melalui drama adu penalti, aksi Laba yang sedang melantunkan oreng ramai di media sosial dengan berbagai komentar. Ada yang menyindir, ada yang tertawa dan juga memuji. Semua tanggapan itu tidak perlu dipisahkan dengan klasifikasi benar salah, tetapi mari lihat semua itu sebagai warna untuk menciptakan diskusi atau dialog di ruang virtual. Yang penting, jangan menggunakan emosi buta kemudian saling mencaci, tetapi dengan komentar dan diskusi lepas, kita bisa jadi saling mengerti.
Apa yang ditunjukkan oleh Laba adalah salah satu bentuk warisan kekayaan lokal yang patut dipertahankan. Dalam berbagai kebudayaan kita dapat menemukan berbagai doa, jampi-jampi, atau mantra. Lantaran di dalamnya ada sesuatu yang pengharapan, janji, dan tekad, maka pilihan kata disusun sedemikian rupa agar terasa indah dan enak didengar. Jadilah segala doa, syair, tembang itu membentuk rangkaian kata, kalimat yang terasa indah yang menghadirkan suasana yang mencekam dan menggetarkan. Apa yang Laba lakukan, menyelamatkan sesuatu yang mulai tergerus dan dilupakan. Aksi Laba memberikan membuka ruang bagaimana kebudayaan lokal itu lebih dikenal. Sebelum diperjuangkan, setidaknya kebudayaan harus juga sering dibicarakan.
Selain itu, hal menarik lainnya yang terjadi adalah soal makna dari slogan Horo dari para supporter Persami Maumere. Banyak orang mengartikan kata Horo sebagai ungkapan yang digunakan dalam peperangan. Horo diartikan sebagai “potong”, padahal Horo! memiliki makna yang dalam dan berbeda.
Horo itu berarti terbang atau melayang, dalam kata ini ada refleksi bagaimana manusia mengatasi kelemahannya dan berusaha melampaui diri sendiri. Itulah keindahan sepakbola. Tidak hanya soal kemenangan tetapi persaudaraan dan rasa cinta.
Seperti yang saya katakan, komentar dan percakapan di ruang media tentang aksi, dan fenomena lain yang terjadi di luar lapangan, tanpa sadar, membuat kita saling berbagi pengetahuan, juga rasa saling mengerti dan menghargai kebudayaan masing-masing.
Itu adalah hal-hal indah yang terjadi bagaimana sepakbola ternyata juga berpengaruh pada kehidupan manusia. Mari kita berdamai dengan aksi dari suporter Perseftim, jangan karena aksi dari sekelompok oknum yang menciptakan keributan, memecah persaudaraan kita sebagai masyarakat NTT. Bukankah selama ini kita bangga sebagai contoh toleransi di Indonesia dengan budaya dan ungkapan yang menunjukkan rasa persaudaran yang tinggi? Jangan memupuk dendam, mari rawat solidaritas.
Tetapi selain keindahan, sepakbola juga menunjukkan keajaiban, sesuatu yang mungkin sulit untuk dijelaskan, dan tidak hanya terjadi di tataran lokal, kompetisi internasional juga memilikinya. Itu yang membuktikan sepakbola adalah keajaiban bahkan juga misterius. Mungkin hal-hal ini terjadi tanpa kita sadari, terkesan seperti kebetulan, tetapi menarik untuk dibahas.
Persebata Lembata, sebagai tim tuan rumah secara beruntun menapaki final, dengan kemenangan adu penalti semenjak babak 16 besar. Ketika melawan PS Malaka, Persami Maumere, serta Perserond Rote Ndao, bahkan hingga final kemenangan juga harus ditentukan oleh drama adu penalti. Tetapi sayang, keberuntungan itu dibatalkan oleh Perse Ende. Jika saja drama adu penalti ini dimenangkan oleh Persebata Lembata, maka hal ini mengingatkan saya pada perjalanan kemenangan Spanyol pada ajang Piala Dunia 2010.
Semenjak memasuki babak 16 besar, hingga menjurai piala dunia. Kala itu Spanyol harus menghadapai Portugal, Paraguay, di semi final dengan Jerman, dan final menghadapi Belanda. Semua kemenangan itu diakhiri dengan skor 1-0. Spanyol selalu menang dengan skor yang sama. Hal menarik lainnya, mitos tuan rumah yang akan menjuarai ETMC. Rumor atau mitos ini pasti berangkat dari sejarah, kita lihat dari tahun 2010 sampai 2019, atau enam kali berturut-turut hajatan ETMC digelar, yang selalu keluar sebagai juara adalah tim tuan rumah. PSK Kupang (2010), Perseda (2011), Persamba Manggarai Barat (2013), Persami Maumere(2015), Perse Ende(2017), dan PSK Malaka(2019). Namun mitos itu akhirnya dipatahkan oleh kemenangan Perse Ende atas Persebata Lembata.
Mitos atau mungkin sindrom tuan rumah ini sebetulnya terjadi dimana-mana, bahkan dalam perhelatan sekelas piala dunia. Di piala dunia, ada mitos, tetapi biasa disebut sebagai kutukan juara bertahan. Jika sebuah negara menjadi juara piala dunia, maka pada piala dunia yang selanjutnya, sang juara tidak akan lolos dari fase penyisihan grup. Kutukan ini bermula dari kekalahan Perancis di Korea dan Jepang, gagal lolos dalam fase group meskipun empat tahun sebelumnya, Perancis dengan gemilang menghancurkan Brasil 3-0 pada laga final.
Kutukan ini berlanjut pada Italia, gagal lolos pada fase penyisihan group walapun Juara di 2006. Spanyol juga bernasib sama, setelah keluar sebagai juara Piala Dunia tahun 2010, Spanyol kandas pada penyisihan grup Piala Dunia 2014 di Brasil. Spanyol bahkan dibantai oleh Belanda dengan skor telak 5-1. Jerman adalah korban keempat dari kutukan ini. Membantai tuan rumah Brasil di tahun 2014 dan mengalahkan Argentina pada laga final, tetapi hancur pada fase penyisihan grup Piala Dunia 2018 di Rusia. Bagaimana menjelaskannya, apakah ini hanya sebatas kebetulan?
Itulah sepakbola. Bagian dari cinta dan perjuangan manusia. Selalu memiliki kekuatan untuk mempengaruhi semua yang ada di luar lapangan, kisah kepahlawanan dan perjuangan yang memotivasi, perasaan bangga dan sedih ketika melihat para suporter harus mengalah pada kekalahan tim kesayangannya. Tetapi inilah sepakbola, keindahan dan keajaiban yang menjadikannya sebagai sesuatu yang menembus batas, permainan tanpa kelas, dan bisa dimainkan oleh siapa saja.
Seperti yang ditulis oleh Elvan De Porres, “Pada ihwal lain, sepakbola adalah filosofi yang berujung pada kemaslahatan hidup”. Ini bukan hal yang berlebihan, sang revolusioner Che Guevara menjadikan sepakbola sebagai cara efektif untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dia bahkan pernah melatih sebuah kesebelasan kuli jalanan di Chile untuk sebuah turnamen dan membeli tiket murah untuk menonton pertandingan Real Madrid Versus Milianorios di Bogota, Kolombia.
Tak hanya itu. Sang pahlawan, Didier Drogba, mantan striker Chelsea ini menjadi pahlawan negaranya Pantai Gading, karena berhasil menghentikan perang saudara yang terjadi di sana. Setelah perjuangan yang panjang, Drogba berhasil membawa kesebelasan The Elephants untuk lolos ke Piala Dunia 2006. Pantai Gading lolos ke Piala Dunia untuk yang pertama kalinya, perayaan terjadi di mana-mana, tetapi dalam sesi wawancara, Drogba menyampaikan pesan yang berbeda. Drogba meminta agar perang yang terjadi segera dihentikan, meminta senjata-senjata diletakkan dan bersama-sama merayakan sejarah kemenangan Pantai Gading ini.
Itulah sepakbola, mengharukan dan mendebarkan. Mendekatkan dan menyatukan. Mari menjadi pendukung yang suportif, silahkan menjadi penikmat yang reflektif. ***