Salam Olahraga! Apa kabar para penggemar setia sepak bola di bumi Lamaholot? Terlepas dari kekisruhan dan kegagalan tim kebanggaan kita, Perseftim, melaju ke fase semifinal ETMC di Lembata, akhir-akhir ini begitu marak pemberitaan di media online yang memberitakan mengenai daftar perolehan trophy El Tari Cup (ETC)/El Tari Memorial Cup (ETMC) sejak pertama kali digelar hingga tahun 2019.
Di situ (pemberitaan media online-Red) tertera bahwa Perseftim baru dua kali (2 X) merengkuh Trophy ETC/ETMC, yakni pada pagelaran Edisi Perdana tahun 1969 dan Edisi 2009. Benarkah demikian?
Sebagai putra dari salah satu legenda sepak bola Perseftim dan NTT, almarhum ‘Cor Monteiro’ dan mengatasnamai seluruh keluarga besar mantan pemain Perseftim era 1970-an yang telah mengharumkan serta menorehkan tinta emas dalam sejarah persepakbolaan NTT, seperti Stanislaus Kopong Kia, Om Sinyo Temaluru (Alm), Om Bebe Corebima, Om Dei Lela, Om Pora Kumanireng (Alm), Om Alfons Riberu, Bapak Izak Hormu, Bapak Valens Fernandez (Alm), Om Gius Ola Padak, Om Stanis Mangu, Om Lamber Labi (Alm), dan masih banyak lagi yang mungkin tidak sempat saya sebutkan satu persatu baik yang masih hidup ataupun yang telah mendahului kita semua. Dari lubuk hati yang terdalam merasa sangat KECEWA terhadap pemberitaan tersebut, karena sesungguhnya berita tersebut sangat bertolak belakang dan tidak sesuai dengan sejarah dan kenyataannya.
Prestasi manis nan membanggakan yang telah mereka torehkan dan diperjuangkan dengan begitu susah payah demi martabat bumi Flores Timur, seakan sirna dari rekam jejak sejarah. Entah karena para awak media pada masa kini begitu minim akan referensi dan narasumber, ataukah memang benar-benar TERLUPAKAN dan bahkan DILUPAKAN?
Oleh karena itu, maka alangkah baiknya saya mengajak kita semua untuk sedikit jauh ke belakang di era tahun 1970-an, dimana waktu itu El Tari Memorial Cup (ETMC) masih menggunakan format lama, yaitu El Tari Cup (ETC).
El Tari Cup edisi perdana sejatinya pertama kali digelar di tahun 1968 (bukan 1969 seperti yang diberitakan). Ketika itu, Perseftim Flores Timur berhasil keluar sebagai juara untuk pertama kalinya.
Atas pencapaian tersebut, maka Perseftim didaulat sebagai Tim Kabupaten Pertama dari daratan Flores yang berhak mewakili NTT mengikuti seleksi di Jember, Jawa Timur, tahun 1969 (setara seleksi liga 2 Indonesia sekarang).
Dua tahun berselang, tahun 1970, ETC edisi ke-II kembali digelar, dan Flores Timur dipercayakan sebagai tuan rumah. Masih dengan barisan skuad yang tidak jauh berbeda, seperti Stanislaus Kopong Kia, Sinyo Temaluru, Lamber Loli, Rauf, Ola Baga, Kwegeng, Nama Paji, Bua Tokan, dan Nuen Bahi. Para pemuda laskar Lamaholot ini berjibaku demi mempertahankan trophy ETC.
Sayangnya, Perseftim harus mengakui keunggulan lawannya. PSN Ngada berhasil keluar sebagai juara. Tahun 1972, ETC digelar di Bajawa, dan Perseftim lagi-lagi harus puas menempati posisi ke-3 setelah terhenti di semifinal. Juaranya, ketika itu, adalah PSK Kupang.
Tahun 1974, ETC diselenggarakan di Maumere, dan pada momen inilah seorang pemuda kota Larantuka yang kala itu masih berusia 23 tahun dan baru saja kembali dari pendidikannya di STO (Sekolah Tinggi Olahraga) Surabaya, di bawah panji Perseftim berhasil ikut menghantar Perseftim sebagai Juara ETC ke-2 kalinya.
Tak cuma mengantar Perseftim menjadi juara. Dia juga menggemparkan jagat sepakbola NTT dengan membukukan namanya sebagai pencetak gol terbanyak, sebanyak 16 gol. Prestasi top skore yang sampai sekarang belum terpecahkan sejak tahun 1974 itu.
Pemuda itu adalah Cor Monteiro (almarhum). Sepupu kandung dari legenda sepakbola Indonesia, Sinyo Aliandoe, ini, didaulat oleh panitia El Tari Cup, 1974, sebagai Top Score/Goal Getter terbaik NTT. Capaiannya itu bahkan hingga kini belum ada satu pemain pun yang berhasil memecahkan rekornya, mencetak 16 gol dalam satu turnamen ETC/ETMC.
Setelah berhasil menjuarai ETC 1974 di Maumere, maka di tahun berikutnya 1975, Perseftim kembali dipercayakan mewakili NTT mengikuti seleksi 8 besar juara provinsi se-Indonesia di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Jika lolos, maka akan berhak mengikuti Liga Utama Indonesia kala itu.
Namun apes bagi Perseftim karena harus tergabung dalam Grup Neraka bersama Persebaya, Persema Malang dan Persiba Banjarmasin. Klub-klub itu mayoritas pemainnya kala itu adalah pemain-pemarin profesional jebolan PSSI. Tentu saja, skill dan jam terbang mereka jauh di atas pemain Perseftim Flores Timur. Akhirnya sekalipun harus tersingkir dan mengakui keunggulan lawannya, Perseftim tetap pulang dengan kepala tegak dan penuh dengan rasa bangga.
Tiga tahun berselang di tahun 1978, ETC kembali diselenggarakan di Kupang. Perseftim kembali berhasil keluar sebagai juara untuk ketiga kali. Atas pencapaian dan prestasi tersebut dan dengan memperhitungkan bahwa Perseftim adalah kabupaten pertama yang berhasil menjuarai El Tari Cup sebanyak 3 kali, maka Komda PSSI Provinsi NTT memutuskan untuk menyerahkan Trophy Asli El Tari Cup (ETC ) untuk dibawa pulang dan menjadi milik masyarakat Flotim.
Setibanya di Larantuka, kontingen berkumpul di Gedung Balai Gelekat dan menyerahkan trophy tersebut langsung ke tangan Bupati yang menjabat saat itu Bapak Drs. Anton Buga Langoday secara ceremonial sederhana.
Saat ini, trophy asli tersebut ditahtakan di ruangan kerja Penjabat Bupati Flores Timur. Dan, untuk MENGGANTIKAN TROPHY ASLI tersebut sekaligus mengenang Bapak Gubernur El Tari yang meninggal dunia setahun berikutnya, maka dibuatlah Trophy Baru yang diberi nama El Tari Memorial Cup (ETMC) yang pada akhirnya masih tetap diperebutkan hingga saat ini.
Bertolak dari sejarah ini, maka sesungguhnya Perseftim Flores Timur sudah 4 kali menjadi juara (3 kali ETC 1968, 1974, 1978 & 1 kali ETMC 2009). BUKAN 2 KALI seperti yang ramai diberitakan di media online akhir-akhir ini!!
Demikianlah sejarah dari perhelatan kompetisi sepak bola terakbar di NTT ini. Sungguh miris memang, sejarah manis dan prestasi yang telah ditorehkan dengan jerih payah oleh putra-putra terbaik Lamaholot ini, ibarat suatu Mahakarya Mozaik yang terpisahkan dari kepingan kepingannya, hingga hanya menyisahkan celah dan ruang kosong di antaranya.
Mereka (para pelaku sejarah) tidak meminta untuk dihormati, mereka hanya menginginkan agar apa yang telah mereka perjuangkan ini DIHARGAI, dan disimpan rapi dalam ingatan maupun Lembaran sejarah.
Bagi kaka ade masyarakat Flores Timur pada umumnya, dan pada khususnya semua yang merasa menjadi bagian dari angkatan Keluarga Besar Perseftim Era 1970-an, yang mungkin diantara sekian nama yang saya sebutkan masih memiliki hubungan pertalian darah, mari… atas nama Flores Timur torang bantu share artikel ini supaya generasi generasi torang berikutnya tahu tentang betapa hebatnya kisah perjuangan para Laskar Lamholot ini, dan juga agar kedepannya berita yang dimuat harus berdasarkan referensi yang jelas, dan berasal dari nara sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, baik saksi sejarah maupun pelaku sejarah. Terima kasih. ***
Catatan :
Semua dokumentasi yang saya sertakan adalah asli peninggalan almarhum ayahanda Cor Monteiro yang hingga kini masih saya simpan dengan baik di rumah, bukan hasil saduran dari google. Semua informasi ini saya dapatkan langsung dari para pelaku sejarah dan telah mendapatkan izin untuk dipublikasikan, termasuk cerita yang dikisahkan langsung oleh ayah saya semasa hidupnya.
Dikutip dari : Sandro Monteiro (https://www.facebook.com/alessandro.monteiro76)
Saya Arifudin Anwar tinggal di desa Adonara dan saya sangat SETUJU dengan tulisan ini. Saya termasuk saksi hidup di tahun 1978. Ketika itu saya tinggal di Sandominggo rumah kakek saya Markus Da Silva dan saya kls 6 SDK 4 SANTU DONBOSKO. Kami yang masih ingusan itu menyaksikan para pemain Perseftim (om Cor dkk) turun dari kapal AMA (Kapal besi milik Missi Larantuka) di dermaga lama Larantuka, membawa piala Eltari yang saat itu menjadi piala tetap karena Perseftim sudah 3x juara. Dan itu masih melekat diingatan saya. Piala itu diarakan ke Balai Gelekat Lewo tanah dan kami anak-anak mengikuti iringan itu.
Masa itu Perseftim dengan om Cor sangat terkenal ,populer dan berjaya, terlebih dikalangan kami pencinta bola. Kalau di Argentina ada Maradona maka di Flotim ada om Cor Mentero.
Maka selanjutnya dengan ini saya tegaskan pula, jangan menjadi pengkhianat sejarah dan pembohong publik, rubah tulisan yang keliru itu, kita jangan pernah melupakan sejarah
Saya Marciano Peurape, orang Kedang-Lembata yang tinggal di Lewoloba dan bekerja sebagai guru di SMPS Katolik Mater Inviolata. Saya sangat suka dg tulisan sejarah masa kejayaan PERSEFTIM. Ketika masa jayanya PERSEFTIM, kala itu saya masih di bangku SD. Beberapa nama pemain hebat seperti Kota Manteiro, pak Pora, kiper BEBE itu selalu jadi sosok pesepakbola Flotim. Kami sangat mengidolakan mereka. Termasuk om Sinyo Fdz, pemain belakang PERSEFTIM yang selalu menendang bola dengan gaya mengekor. Juga om Kor Montero yang kala itu dikenal sebagai pemain miden. Semoga tulisan di atas membuka sejarah masa jaya PERSEFTIM pada porsi dan sejarah sesungguhnya. Bangga juga setelah salah seorang anak muda dari Kedang yang pernah memperkuat skuad PERSEFTIM era 80an yakni NIMUS BUYANAYA yang kemudian pernah memperkuat skuad PSK Kupang ketika menjadi mahasiswa UNDANA.
Salut buat PERSEFTIM. Mari belajar dari para punggawa PERSEFTIM masa lalu untuk mengulang prestasi masa depan.