Salah satu kegiatan SimpaSio Institute yakni menggelar lingkar belajar. Sejumlah orang muda, umumnya perempuan berkumpul, menggagas dan melaksanakan berbagai kegiatan seperti riset pengobatan tradisional, pangan dan makanan tradisional. jelajah jejak sejarah dan budaya, tenun ikat, perubahan iklim, literasi, dan lain sebagainya.
Hasil lingkar belajar itulah yang dipamerkan pada tanggal 22 – 23 Juli 2022 di Taman Kota Felix Fernandez Larantuka dengan memampang judul : Pameran Rupa Nagi, alias Wajah Larantuka Dulu dan Kini.
Pameran ini dimaksudkan untuk mengajak masyrakat, khususnya orang Nagi Larantuka menemu-kenali dirinya sendiri, dan bagi generasi muda dapat memahami akar budaya dan memastikan orientasi ke masa depan. Tak kalah penting, yakni untuk sebuah hiburan bermakna bagi siapa saja yang hendak mengisi waktu luang atau yang sedang berlibur ke Larantuka, kota tua yang telah mengalami penyuburan budaya Barat sejak abad XV.
Umumnya, yang ditampilkan di ruang Rupa Nagi yakni foto-foto yang dikerjakan seorang kurator muda Titin Wulogening jebolan DenPasar2021 : Rising SEA dan kepala divisi media dan publikasi SimpaSio Institute. Foto-foto jelajah jejak sejarah dan budaya Nagi Larantuka, box film dengan video dan film dokudrama produksi SimpaSio Institute, intalasi tenun ikat dan herbarium tanaman obat, foto-foto Larantuka Hari-Hari ini, buku–buku tentang Larantuka arsip SimpaSio Institute, pangan lokal dan makanan tradisional, ArtShop, kampanye stop fast fashion.
Menarik dari wajah Larantuka Hari-Hari Ini, yakni bangunan-bangunan yang mubazir seperti pasar buah di kelurahan Sarotari, tentang sampah yang berserakan, pengendara sepeda motor tanpa mengenakan helm.
Selain sejumlah hal yang dipamerkan, kegiatan itu pun menampilkan sejumlah kegiatan seperti diskusi pangan lokal dan perubahan iklim dengan menghadirkan Mama Sorgum, Maria Loretha, seorang penggiat kampanye dan aksi ketahanan pangan dan pangan lokal, juga Bapak Bernard Tukan seorang guru, penulis, dan pengamat sosial budaya.
Seru juga diskusi ini ketika beberapa anak muda seperti Marina Fernandez, Juan Fernandez dan Hery Sogen berbagi pengalaman mereka tentang perubahan iklim. Ternyata kaum muda memiliki potensi dan merupakan kelompok strategis bagi kampanye dan aksi-aksi pengurangan risiko bencana.
Dilaksanakan juga mini workshop melukis kanvas bagi anak dan remaja bersama Obby Tukan dari Timore Art Graffiti Kupang. Luar bisasa! Antusias anak- anak, bahkan numpang juga orang muda, berimajinasi tentang Nagi ketika sesi live mural bersama.
Ada sudut-sudut kota yang belum sempat dibidik SimpaSio, dihadirkan oleh anak-anak dalam corat-coret mereka. Ruang dan peluang berkreasi perlu diciptakan di luar bingkai kurikulum pendidikan formal. Orang tua yang menyaksikan even itu, mengungkapkan kebanggaan mereka, betapa anak-anaknya memliki kebolehan.
Di luar dugaan dan rencana, tampil Zaeni Boli seorang seniman dan guru seni budaya di SMK Sura Dewa membawakan puisi yang spontan ditulisnya tentang Rupa Nagi. Juga, Lexan tampil memperlihatkan kebolehannya memainkan Sesando, alat musik tradisional masyarakat Rote. Tak ketinggalan orang muda dari Kampung Melayu Kota Sau, Gita Sagara, tampil membawakan lagu daerah Ole Lau Ura dan Doan Kae. Luar biasa! Orang muda butuh panggung. Sempat juga diselenggarakan sharing orang muda tentang Nagi Hari Ini.
Banyak pihak mengucapkan proficiat dan apresiasi terhadap pameran Rupa Nagi. Banyak yang tidak menyangka, kalau sekelompok orang muda di SimpaSio Institute dapat menyelenggarakan pameran seperti biasa dilakukan di kota-kota besar.
Diakui pengungjung bahwa pameran seperti ini baru terjadi di Larantuka, sederhana namun mewakili wilayah Nagi sesungguhnya, walau masih banyak lagi yang perlu ditampilkan. Dianjurkan untuk sering diselenggarakan kegiatan pameran seperti itu. Bahkan dari kalangan para guru, menganjurkan supaya SimpaSio menggelar pameran itu di sekolah sebagai bagian dari pembelajaran kurikulum muatan lokal.
Banyak pihak mengajak berkolaborasi. Bagi pengunjung yang berasal dari Makasar, Bali dan Jakarta yang sedang menikmati liburan di Larantuka, mereka senang karena sejenak dapat mengenal wajah Larantuka, kota tua tepi pantai ujung Timur pulau Flores.
Pameran itu ternyata berdampak bagi peningkatan pendapatan masyarakat. Keesokan harinya beberapa pengunjung mendatangi ibu-ibu penenun di Waibalun. Mereka ingin mendapat cerita lebih banyak tentang pembuatan tenun ikat, dan membeli produk ibu-ibu itu. Ada yang penasaran mau membeli minyak urat, obat khas orang Nagi Larantuka yang terbuat dari berbagai ramuan.
Ya, banyak manfaat dari sebuah pameran untuk informasi, inspirasi dan motivasi. Tercatat di buku tamu sekitar 600 pengunjung, belum lagi yang tidak sempat mengisi buku tamu.
Demikian Pameran Rupa Nagi, persembahan orang muda yang tergabung dalam SimpaSio Institute. Modal mereka adalah semangat dan kerja keras. (Humas SimpaSio Institute)