(Perayaan Pembukaan Pertemuan Keluarga Se-Dunia Tingkat Keuskupan Larantuka)
Oleh Anselmus D. Atasoge
Pada tanggal 19 Maret 2021, tepat pada Pesta Santo Yusuf dan tepat lima tahun diumumkannya Seruan Apostolik Amoris Laetitia, Paus Fransiskus mengumumkan Tahun Keluarga Amoris Laetitia yang akan ditutup dalam Pertemuan Keluarga se-Dunia X di Roma pada tanggal 22-26 Juni 2022.
Pada pertemuan ini, Paus Fransiskus menggagaskan tema “Kasih Keluarga: Panggilan dan Jalan Kekudusan” sebagai pergumulan bersama umat Katolik yang dipimpinnya.
Bersamaan dengan ini, Paus mengajak semua keluarga se-dunia untuk mengadakan pertemuan dalam keuskupannya.
Menjawabi ajakan Paus, Keuskupan Larantuka melalui Komisi Keluarga menggelar pertemuan Keluarga Se-Dunia (World Meeting Families) Keuskupan Larantuka sebagai puncak Perayaan 5 tahun Seruan Apostolik Amoris Laetitia, dalam kerjasama lintas komisi di tingkat Sekpas-Keuskupan Larantuka, paroki-paroki dan para pihak untuk saling berbagi sukacita dan dukacita keluarga, Jumat, 24 – Minggu, 26 Juni 2016.
Menurut Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Larantuka, RD. Bernardus Belawa Wara, menyadari betapa luhurnya institusi keluarga yang direncanakan Allah sejak dari semula, dan pelbagai keprihatinan yang melanda kehidupan perkawinan dan keluarga dewasa ini di seluruh wilayah Keuskupan Larantuka, dan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan karena kemurahan hati dan kesetiaan begitu banyak keluarga Kristiani dalam menanggapi panggilan dan perutusan keluarga, yang dilaksanakan dengan sukacita dan iman, bahkan ketika hidup sebagai keluarga harus menghadapi hambatan, kesalahpahaman dan penderitaan.
Dalam kotbah ekaristi pembukaan pertemuan yang digelar di Rumah Bina Saron San Dominggo, Jumat (24/6/2022), Uskup Larantuka, Monsigneur Fransiskus Kopong Kung menegaskan bahwa kasih Tuhan bagaikan seorang gembala yang baik yang tidak sampai hati kalau ada domba yang tersesat atau hilang. Hati Tuhan begitu besar menaruh kasih peduli sehingga meskipun cuma seekor domba yang hilang Tuhan bergerak untuk mencari, tidak membiarkan hilang atau binasa.
Hal inilah yang membangkitkan sukacita dan kegembiraan yang luar biasa. Mgr. Fransiskus berharap agar keluarga-keluarga zaman sekarang memiliki gerakan hati seperti gembala untuk turut membantu mencari jiwa-jiwa keluarga yang sedang terluka dan membantu keluarga supaya kembali temukan sukacita dalam hidup.
Sementara itu, dalam arahan awalnya, Mgr. Fransiskus mengajak para peserta untuk melihat dan menyadari bahwa keluarga penting dan istimewa. Bagi Mgr. Fransiskus, Tuhan menciptakan lembaga pernikahan dan keluarga dengan rencana istimewa bagi keluarga yakni panggilan kepada kekudusan.
“Bahwa panggilan kekudusan itu bukan privilege khusus bagi para klerus biarawan-biarawati melainkan semua anggota Gereja dan semua keluarga dipanggil kepada kekudusan itu. Ketika kita sadari panggilan ini kita berusaha bersama untuk memberikan penghargaan pertama kepada kesucian (kemurnian) dari hidup perkawinan dan keluarga,” harap Mgr. Fransiskus.
Untuk menanamkan hal-hal ini, Mgr. Fransiskus berharap agar calon-calon pasangan suami istri menghargai kekudusan sejak awal atau membangun nilai-nalai kesucian sejak awal.
Hadir dalam pertemuan ini Uskup Keuskupan Larantuka, Lembaga dan Komisi-Komisi dalam Sekpas Keuskupan Larantuka, Para Romo/Pater penghubung Komkel di masing-masing Dekenat, Utusan Dekenat (5 pasang suami-istri), utusan Komunitas Pemerhati Keluarga (ME, PASUKRIS) dan utusan Biara-Komunitas Suster yang berkarya di Keuskupan Larantuka.
Sejatinya, di dalam keluarga, ada sukacita dan cobaan, cinta yang mendalam dan hubungan yang kadang dapat terluka. Keluarga sungguh merupakan “sekolah kemanusiaan” (GS. 52) yang sangat diperlukan saat ini. Meski banyak tanda krisis dalam lembaga keluarga di berbagai wilayah di seluruh penjuru dunia, keinginan untuk menikah dan membentuk keluarga tetap bergetar, terutama di kalangan orang-orang muda, dan berfungsi sebagai dasar kebutuhan Gereja.
Keluarga menjadi sangat penting bagi Gereja, ketika semua orang beriman diajak untuk memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Dan karenanya, keluarga perlu ditemukan kembali sebagai pelaku utama karya evangelisasi dan kesaksian perutusan dari begitu banyak keluarga. Dalam kasih keluarga, kekudusan ditemukan, dirasakan dan dihayati secara nyata. ***