Aksinews.id/Lewoleba – Politisi asal Ile Ape, Drs. Rafael Rabu Nihan mengajak semua pihak untuk berpikir positif terhadap Seremonial Perutusan Lewo Kaka Ari yang digelar Pemerintah Kabupaten Lembata di Larantuka, kabupaten Flores Timur. Diharapkan agar acara itu tidak dinilai semata-mata sebagai upaya politik Bupati Thomas Ola menuju Pilkada Lembata 2024 mendatang.
Ya, “Terakhir seremoni baru saja dilakukan di Larantuka oleh Bupati Lembata Thomas Ola bersama Pemda Flotim dan Raja Larantuka sebagai tradisi Lamaholot yang dulu kita bersama satu rumah besar dan harus mekar untuk pendekatan pelayanan musti perat amet (bahasa Lamaholot) supaya terhindar dari segala masalah,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari Whats App Grup AMMAPAI dan Forkoma PMKRI Lembata, Sabtu (14/5/2022).
Mantan aktivis PMKRI Cabang Kupang ini menanggapi pemberitaan media ini yang mengutip pernyataan delegasi Tim Perjuangan Otonomi Lembata 1999, Yohanes Vianey Burin, SH soal seremonial perutusan Lewo Kaka Ari.
Vian Burin mempertanyakan kegiatan seremonial perutusan Lewo Kaka-Ari antara Pemkab Lembata dan Pemkab Flores Timur yang terjadi Larantuka, tanggal 12-13 Mei 2022. Dia menilai kegiatan ini lebih pada pencitraan yang dibuat Bupati Lembata yang akan berhenti tanggal 22 Mei 2022 mendatang.
“Selaku pejuang dan salah satu delagasi rakyat Lembata yang masih hidup, saya tidak pernah dimintai pendapat atau informasi. Jadi ini mereka baru ngarang. Bupati Thomas Ola bilang menghargai pejuang kenapa membelakangi kami,” ungkap Vian Burin, heran, Jumat (13/5/2022).
Sebagai salah satu pejuang Otonomi Lembata, Vian Burin merasa kecewa dengan pemerintah kabupaten Lembata dibawah kepemimpinan Bupati Thomas Ola. Menurut dia, perjuangan otonomi Lembata telah melewati semua proses.
Ya, “Semua proses dulu setelah otonomi sudah kita lalui. Seremonial perutusan apa? Ini satu gejala baru sindrom kebudayaan yang fatal. Memutarbalikkan sejarah yang sudah dilakukan kami perjuangkan. Ini omong kosong semua, buat sesuatu tidak punya pendasaran, seolah-olah yang kami buat dulu itu salah jadi mau diluruskan,” ungkap praktisi hukum ini.
Dirinya khawatir akan terjadi hal-hal yang lebih fatal kedepannya bagi rakyat Lembata. “Dulu kita sudah pamit bahwa kita tetap kakak dan adik. Kami pamit untuk membangun diri sendiri dari hasil perjuangan kami. Dan restu itu sudah diberikan saat itu. Ini pergi buat ulang minta perutusan mau utus siapa? Sementara waktu tinggal menghitung hari ini. Kalau mau pergi minta restu untuk maju lagi jadi bupati ya silahkan saja tapi jangan dibungkus dalam narasi yang membingungkan begini,” tegas Vian Burin.
Disampaikan, sebagai kabupaten baru saat itu, para pemangku kepentingan sudah melewati semua proses termasuk berpamitan secara baik dengan kabupaten Flores Timur.
Ya, “Sudah kita pamit baik- baik, bukan pelepasan. Istilah itu kami tidak pakai waktu itu. Alasan bahwa kita itu satu secara budaya. Membangun sama. Dulu satu periuk, kini jadi dua periuk. Ade sudah punya periuk sendiri jadi ade pamit untuk urus diri tetapi tetap dalam bingkai Lamaholot,” tutup Vian Burin, yang juga mantan PMKRI Kupang yang menuntaskan pembinaan di PMKRI Cabang Denpasar, Bali, ini.
Rafael Rabu Nihan rupanya tak sejalan dengan Vian Burin. Dia mengingatkan agar tidak terlalu sempit menilai kepentingan pribadi Thomas Ola dalam perhelatan seremonial Lewo Kaka Ari tersebut.
Ya, “Kebetulan Thomas Ola Bupati Lembata yang akan berhenti tinggal dihitung hari. Apakah ini ada kepentingan pribadi, jangan terlalu sempit menilai untuk Pilkada Lembata 2024, semua punya hak untuk menyatakan diri maju Pilkada Lembata yang hanya bisa tergantung kepercayaan masyarakat Lembata. Mari kita semua berpikir positif,” tandas mantan politisi PDI hingga PDI Perjuangan, yang sempat banting stir ke Partai Demokrat ini.
Tak berhenti disitu. Rafael Rabu Nihan juga mempersoalkan klaim pejuang Otonomi Lembata. Menurutnya, semua pihak harus jujur soal siapa yang berhak menyandang predikat pejuang otonomi daerah Lembata.
Ya, “Jika kita jujur maka pejuang-pejuang otonomi daerah Lembata adalah para pencetus otonomi daerah yang semuanya telah tiada, mereka berjuang tanpa pamrih dengan baik secara materiil maupun jiwa dan raga kemudian diteruskan kembali tahun 1999 oleh seorang putra daerah Lembata, Ama Sulaiman L. Hamsa dengan materiil yang tidak ternilai,” ujarnya.
Dia mengisahkan soal dana sebesar Rp 10 juta untuk memback up Tim Penilai Kemendagri pada tahun 1999. “Saat tim Depdagri turun ke Lembata terakhir untuk melihat langsung kita butuh dana saat itu senilai Rp 10 juta karena Ama Sulaiman masih di Papua maka di Jakarta untuk dana sebesar itu tidak bisa ditalangi maka Kelompok Arisan Ile Ape meminjamkan dana sebesar Rp 10 juta dan akhirnya diganti kembali ama Sulaiman saat delegasi dari Lembata masih di Jakarta,” ungkap Rabu Nihan.
“Saat itu, tokoh Lembata di Jakarta Bapa Anton Tifaona, Bapa Piter Boli Keraf sedang menjabat anggota DPR RI. Bapa Dr. Suke Salverius dan lain-lain. Ama Sulaiman sampai saat ini tdk pernah menyatakan dirinya pejuang Lembata. Kita heran sebagai delegasi saja dikatakan pejuang,” ucap Rabu Nihan, seolah mencibir.
Asal tahu saja, selama ini semua orang yang terlibat dalam perjuangan otonomi Lembata, baik tahun 1954 maupun tahun 1999, senantiasa disebut sebagai pejuang otonomi Lembata oleh media massa. Orang yang tinggal di Lenbata maupun di luar Lembata, tapi punya andil dalam perjuangan otonomi Lembata, disebut sebagai pejuang otonomi Lembata. (AN-01)