Oleh : Albertus Muda, S.Ag
Penyuluh Agama Non PNS pada Kemenag Kabupaten Lembata
Ada 3 (tiga) jenis hukuman mati yang dikenakan kepada orang-orang Israel khususnya kepada orang-orang jahat atau dipandang sebagai penjahat. Pertama, hukum rajam. Seseorang yang melakukan kejahatan atau kesalahan yang fatal, akan diikat tangannya dan dilempari batu sampai mati.
Kedua, dibuang ke laut. Badan seorang penjahat diikat pada sebuah batu kilangan dan dilemparkan ke tengah laut. Ketiga, dipaku dan digantung di atas salib. Inilah hukuman mati yang paling berat dan sangat hina terutama kepada para penjahat kelas kakap. Hukuman mati di salib, benar-benar meniadakan harga diri dan harga kemanusiaan seseorang.
Lukas dalam Injilnya, mengisahkan bahwa Yesus digiring bersama dua orang penjahat untuk dihukum mati dengan disalibkan. Yesus yang adalah orang benar, dikelompokkan dalam golongan para penjahat. Dalam situasi itu, Yesus tidak pernah takut akan bayang-bayang kematian yang akan menimpa diri-Nya. Ia tahu bahwa Ia akan mengalami suatu kematian yang paling ngeri. Ia akan mati dan turun ke dunia orang mati seperti diungkapkan dalam Syahadat Kristen.
Berhadapan dengan saat penderitaan yang mengerikan itu, setiap orang pasti memikirkan soal pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan bahkan penghapusan pelaksanaan hukuman kepada seseorang yang divonis bersalah. Apalagi bila dilihat dari sisi Yesus yang secara factual atau dalam kenyataan, Yesus tidak bersalah apalagi melakukan kejahatan.
Lukas secara sangat ringkas mencatat beberapa informasi yang juga terdapat dalam beberapa Injil yang lain. Ia menyebut pakaian Yesus yang mereka bagi-bagi, para pemimpin mengejek Yesus, para prajurit mengolok-olok Yesus dan mengunjukkan anggur asam kepada-Nya dan di atas kepala Yesus dipampang tulisan “Inilah raja orang Yahudi.”
Kita juga mendengar bahwa bukan hanya para prajurit yang mengolok-olok Yesus. Salah seorang penyamun yang disalibkan bersama Yesus juga ikut mengolok-olok Yesus. Namun, Yesus tidak menunjukkan sikap marah, menolak bahkan tidak menerima akan apa yang dikatakan penyamun tersebut. Yesus justru dengan hati yang lapang, jiwa yang sangat bersahaja dan tenang menghadapi semuanya.
Di atas tiang salib, Yesus memohonkan ampun kepada orang-orang yang menghukum dan sedang melancarkan proses pembunuhan terhadap diri-Nya. “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Yesus sungguh menyadari bahwa menyumpahi atau mengutuk bukan jalan keluar yang tepat karena para prajurit hanya menjalankan perintah untuk mengeksekusi diri-Nya karena diperintahkan oleh otoritas Romawi.
Dari atas salib, Yesus menyadari bahwa meskipun hati telah terluka oleh ejekan, olokan bahkan terhunus oleh tombak serdadu, hati mestinya tetap meluapkan ampunan, cinta, kedamaian dan kebahagiaan. Pada salib, manusia yang tersiksa dan bersengsara mestinya merasakan semangat hidup baru. Manusia yang lemah dan tak berdaya mestinya memperoleh kekuatan. Manusia yang putus asa mestinya memperoleh dan mendapatkan harapan.
Dan karena daya kekuatan dan harapan dari salib itu, maka penyamun yang disalibkan di sebelah kanan Yesus merasakan kekuatan pengampunan, cinta, kedamaian dan kebahagiaan dari Yesus. Dengan menyadari keadaan dirinya dan merasakan semua yang akan menimpa dirinya, ia justru meminta kepada Yesus, agar Yesus tetap mengingatnya apabila Yesus datang sebagai raja.
Sekali lagi, Yesus dinyatakan sebagai orang yang benar. Penyamun itu menyatakan bahwa Yesus tidak berbuat sesuatu yang salah. Atas kerinduan hati yang mendalam dari penjahat itu, Yesus lalu memberikan jaminan kepadanya bahwa hari itu juga, ia akan bersama-sama dengan Yesus di dalam Firdaus atau Yerusalem abadi atau surga.
Salib merupakan simbol dari orang-orang yang merasa cemas, terjepit bahkan tertinggal lalu berseru seperti Yesus di salib, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Oleh karena itu, di satu sisi, salib tidak hanya menggambarkan seluruh penderitaan manusia, melainkan lebih dari itu, seorang Katolik mesti menghayati salib sebagai sumber hidup, kebahagiaan dan kemenangan.
Dalam perjalanan salib hidup kita masing-masing, hati kita mesti tetap terbuka seperti Yesus, yang tetap mengalirkan pengampunan. Melakukan suatu kesalahan itu sebuah tindakan yang sangat manusiawi namun, ketika kita membuka hati memaafkan, kita akan menemukan sebuah kekuatan ilahi di dalam tindakan yang kita lakukan. Mengampuni berarti melepaskan atau membebaskan seseorang dari kesalahan. Ada campur tangan Ilahi di dalamnya.
Selain itu, hidup kita mesti mengalami transformasi atau berubah dan mau diubah. Refleksi, introspeksi, sadar akan kesalahan dan kelemahan diri, mesti terus kita bangun dalam perjalanan hidup kita. Seperti penjahat yang di sebelah kanan, menyadari penuh akan kesalahannya sehingga berani menegur penyamun yang lain di sebelah kiri.
Belajar dari penyamun di sebelah kanan, kita diajak untuk menyadari daya karunia Roh Kudus yang dianugerahkan Allah kepada kita. Karunia yang paling mendasar adalah takut akan Allah. Takut akan Allah berarti takut akan penghukuman Tuhan. Dengannya, kita akan mengalami kerahiman Allah. Kita akan selamat dan tak akan terpisah dari Allah. Kerinduan kita untuk berada bersama Yesus di dalam Firdaus akan terpenuhi. ***
Ya Bapa berkatilah Bpk.Albertus Muda, sebab ia rindu akan kebersamaan bersamaMu di dalam firdaus dan takut akan penghukumanMu.
Allah-Ku, Allah-Ku, jangan Engkau meninggalkan Bpk.Albertus Muda dalam setiap karya dan pelayanannya. Amin🙏🏻🤲🙏🏻