Oleh Anselmus D. Atasoge
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka
Sentuhan mentari pagi di Kota Larantuka pagi itu cukup menyengat. Namun, terpaannya di lantai dua teras depan Biara Santu Arnoldus (BSA) Postoh Larantuka memberi kesejukan, mengademkan hati hingga menepis kegerahan. Di Biara Serikat Sabda Allah itu, saya menemui “sang maestro pers”, Pater Alex Beding, SVD di kamarnya seukuran kurang lebih empat kali enam meter. “Anak-anak kerja” di BSA menyapanya dengan panggilan “Opa”. Di “rumahnya” ini, Pater Alex menyambut saya dengan penuh keramahan.
Menurut catatan Buku Permandian di Paroki Lamalera (didirikan pada 1920), Pater Alex dilahirkan pada hari Rabu, 13 Januari 1924 di bawah Bintang Capricorn di Lamalera Atas. Ia lahir sebagai buah pertama dari pasangan Bapak Karolus Arakian Beding dan Mama Anna Nogo Nudek. Ia punya 10 saudara. Semua mereka terdiri dari 6 laki-laki dan 5 perempuan. Kini, tinggal 3 orang yang masih hidup. Pastor Yohanes Bosko Beding (penulis dan penerjemah berbagai buku, pernah berkarya di bidang komunikasi sosial SVD dan KWI serta pernah menjadi anggota Dewan Sensor Film Indonesia), Marcel Beding (wartawan KOMPAS, Anggota DPR Pusat, sudah almahrum), Sr. Benedicta, CIJ, Maria Salome Beding, Maria Salome Gelu, Frans Xaverius Beding adalah sejumlah saudara dan saudarinya. Yang lainnya meninggal ketika masih bayi.
Ia ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 24 Oktober 1951 di Gereja Paroki Nita. Pelbagai tugas dan karyanya dalam Serikat Sabda Allah (SVD), di antaranya, Rektor Seminari Todabelu Mataloko, Direktur Penerbit Nusa Indah Ende, Pemimpin Mingguan DIAN.
Pagi jelang siang, 12 Maret 2022, tersiar kabar bahwa ‘tokoh pers’ ini menghadap Sang Khalik. Kanal-kanal media social dibanjiri informasi tentangnya. Saya lalu membongkar file percakapan kami kala itu, 3 Maret 2017. Untuk mengenang kepergiaannya, 12 Maret 2022, saya mengulas kembali gagasan-gagasan yang tercurah kala itu sebagai ‘kenangan yang tak berkesudahan’ dari seorang tokoh yang saya sebut sebagai ‘tokoh perawat kehidupan’.
Keinginan yang Tak Pernah Mati
Kala saya menjumpainya, usianya telah mencapai 92 tahun. Namun, pikiran pastor yang nama lengkap keluarganya Alexander Koker Beding ini masih amat “segar”. Sebagai “insan pers”, Pater Alex banyak berkisah tentang suka dukanya dalam dunia pers.
“Saya menulis bukan karena hobi melainkan terutama karena panggilan. Panggilan untuk mewartakan kebenaran melalui tulisan,” tegas Beliau.
Banyak tema yang telah digarapnya menjadi tulisan. Namun, Beliau lebih suka menulis refleksi-refleksi tentang waktu dan sejarah tentang kekristenan. Saat usianya mencapai 92 tahun ia sedang menekuni tulisan tentang sejarah para misionaris Yesuit. Baginya, sejarah tentang kekristenan itulah yang membuat manusia mengenal peradaban.
Namun hal yang paling menarik yang saya dengar dari perkataan Beliau adalah keinginannya untuk menulis tentang kesalahan-kesalahan manusia yang kurang menghargai kehidupan. Dengan kata lain, ia ingin menulis tentang kebenaran. Sebuah keinginan yang syarat makna, serentak di sana ia menghadirkan dirinya sebagai ‘filosof’, pencari dan pencinta kebijaksanaan plus kebenaran. Misinya adalah mencari dan mengungkapkan kebenaran dan menjagai kebenaran itu. Akan tetapi, misinya tidak berhenti di situ. Ketika telah menemui kebenaran ia tetap terbuka untuk menyelidiki kebenaran-kebenaran lain sebagai jalan untuk mengurai kesalahan-kesalahan yang memperburuk situasi kehidupan. Bagi saya, inilah sebuah keinginan yang tak pernah dikalahkan oleh usia manusia, sebuah keinginan yang tak pernah boleh ‘meninggalkan kemanusiaan’.
Untuk mencapai keinginannya, jalan yang Beliau tempuh adalah masuk dalam dunia pers. “Melalui pers, saya menyampaikan ide tentang kebenaran. Ketika memberitakan tentang sebuah kasus pembunuhan, hal yang mau disampaikan adalah bahwa pembunuhan itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan kebenaran. Karena itu, melalui pemberitaan itu saya mau ajarkan kepada banyak orang untuk hidup secara baik dan benar. Dan, kebenaran itu tidak ditentukan oleh waktu,” tegasnya.
Menjadi ‘Dian’ bagi Dunia
Imam perdana Paroki Lamalera Lembata yang adalah juga pendiri DIAN sebuah majalah Mingguan yang beredar hampir di seluruh Indonesia ini, bersaksi bahwa melalui pers, dalam hal ini DIAN, ia bersama rekan-rekannya bekerja menyebarluaskan kebenaran. Baginya, melalui pers dapat dikisahkan sebuah kejadian yang sesungguhnya, bagaimana kisahnya ditampilkan sehingga orang biasa bisa mengerti. Baginya, melalui DIAN kebenaran tentang hidup bersama yang baik diberitakan. Untuk tugas ini, kiblatnya adalah Injil. Sebab, baginya, pewartaan Sabda menjadi fokusnya dan Injil itu adalah sebuah kebenaran.
Dalam pandangannya, sebuah majalah atau surat kabar yang baik memiliki dua prinsip. Pertama, harus komit pada visi dan tujuannya. Kedua, media itu berperan memperbaiki etika hidup manusia. “Karena itu perhatikan cara pemberitaannya. Ingat bahwa para pembaca itu ada yang bisa mau mengerti dengan baik namun ada pula yang punya kuasa atau kekuatan untuk menolak. Ketiga, iklan-iklan bukan satu-satunya jalan untuk mengatasi masalah keuangan. Karena itu, perhatikan isi pemberitaan kita. Sebab, sebuah surat kabar itu diterima masyarakat karena isinya. Ingat….biaya besar telah dikeluarkan untuk mencetak. Karena itu, biaya yang besar itu harus didukung oleh ajaran dan nilai-nilai yang benar melalui tulisan. Ambillah sisi positif yang berkaitan dengan kebutuhan hidup banyak orang, tegas Pater Alex.
Pesannya tegas dan terarah. “Setiap penulis dan wartawan harus memiliki visi. Komitlah pada visi itu. Penulis dan wartawan itu tidak hadir untuk sekedar menulis. Lebih dari itu mereka terlibat dalam kegiatan mewartakan dan membagi-bagikan hal-hal yang baik. Menulis karena panggilan. Ya….panggilan untuk mau buat sesuatu yang berguna untuk kehidupan”.
Di hadapan dunia internet yang berkembang pesat saat ini yang serentak menjadi tantangan bagi pers mainstreaming, Pater Alex menitipkan harapan. Baginya, internet itu sebuah kekayaan yang luar biasa. Apa saja bisa ditemukan di dalamnya. Karena itu, tidak setiap saat dan hari dia mengabarkan kebenaran. Internet itu bagaikan sebuah tempat sampah dan manusia yang mengunjunginya bagaikan seorang pemulung. “Di antara sampah-sampah itu ada barang-barang yang berguna. Meski demikian, internet itu membahayakan anak-anak jika anak-anak tidak diberi bimbingan. Anak-anak yang tidak dibimbing tidak menjadi seorang yang profesional dan bisa bertumbuh menjadi anak yang selalu tidak konsentrasi. Majalah dan surat kabar membuat kita tenang, konsentrasi sebab dia menyentuh diri saya dan menyentuh kehidupan kita,” kata Pater Alex.
DIAN yang diinisiasi oleh Pater Alex tidak mengabarkan berita-berita sensasional. Baginya, DIAN tidak bermaksud mencari uang, melainkan merupakan media sharing pengalaman, sharing ilmu melalui tulisan. DIAN justru hadir untuk menerangkan, mengklirkan, menjelaskan tentang kebenaran. Dia membuat kehidupan bercahaya. Di sinilah, dia hadir untuk merawat kehidupan.
Bagi saya, Pater Alex sendiri adalah ‘dian’ yang tak pernah pudar dalam mengusung cita-cita untuk mewartakan kebenaran. Secara sederhana, kebenaran itu adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Atau, sebaliknya, apa yang dilakukan dengan apa yang dikatakan. Kebenaran menjadi bagian integral dari makluk manusia dari kalangan mana saja: entah manusia sosial, manusia ekonomi, manusia budaya, manusia politik. Jika dia adalah bagian integral dari manusia maka dia menjadi jati diri manusia. Dia bukan sebuah tambahan atau alternatif pilihan: suka atau tidak, mau atau tidak! Sejatinya, kebenaran adalah hakekat dari manusia dan kemanusiaannya!
Pater Alex telah menunjukkan jalan itu. Mencari, mengungkapkan dan mengabdi pada kebenaran bukan hanya urusan kalangan tertentu saja, jurnalis-wartawan, misalnya. Aktivitas itu milik semua manusia: petani, nelayan, buruh, sopir, tukang ojek, hansip, pegawai (negeri maupun swasta), Komisi Pemilihan Umum, Pengawas Pemilu, polisi, jaksa, hakim, guru dan para muridnya, dosen dan mahasiswanya, biarawan-biarawati, rohaniwan-rohaniwati, politikus! Mari kita mencari, mengungkapkan dan mengabdi pada kebenaran! Dan, mari berkata benar dan bertindak benar serta benar bertindak dan benar mengatakan tentang tindakan itu! Selamat jalan, Pater Alex. Biarkan ‘dianmu’ bersinar di atas seluruh jalan yang kami tempuh! ***