Aksinews.id/Dikesare – Ini bukan bagian dari Eksplorasi Budaya yang digelar Pemkab Lembata melalui Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga. Masyarakat desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, rela tinggal di kampungnya dalam kondisi gelap gulita tanpa secercah cahaya sama sekali selama tiga malam sejak Sabtu (19/2/2022).
Kondisi gelap gulita itu merupakan bagian dari ritual adat ‘Lede Lewu’. Ritual adat yang digelar masyarakat adat Lewolein, Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur menggelar itu merupakan ritual memanggil hujan dan mengusir sial, sepeti sakit penyakit dan roh jahat lainnya dari kampung.
Satu-satu sumber cahaya yang kelihatan dalam kampung Lewolein, desa Dikesare, Sabtu atau malam Minggu, itu hanya cahaya lampu gardu listrik PLN. “Gardu tidak bisa dimatikan, karena masyarakat juga butuh listrik untuk cas barang elektronik. Tapi televise dan tape tidak boleh dinyalakan,” jelas Bartolomeus Bosi Paliwala, Lewonimun Tana Alap (tuan tanah/pemangku adat) Dikesare.
Menariknya, perokok pun tidak bisa leluasa menyalakan api untuk membakar rokok. Karena cahaya api dari pemantik atau korek api tidak boleh terlihat oleh orang lain. Begitu juga, cahaya api rokok. Tidak boleh dilihat orang lain.
Begitu juga bunyi-bunyian. Semua dalam keadaan hening. Praktis sejak malam Minggu, hari Sabtu (19/2/2022), desa Dikesare dalam keadaan sunyi senyap dan gelap gulita. “Orang tidak boleh bicara besar-besar (suara tinggi) sampe terdengar di luar rumah,” jelas kepala desa Dikesare, Fransisko Raing alias Sisko Making.
Selama tiga malam itu pula, kampung Lewolein, Desa Dikesare diselimuti kegelapan dan kesunyian. Tidak ada kebisingan. Tidak ada penerangan. Semua warga dilarang menyalakan lampu di kampung ini. Aparat linmas menjaga ketat di semua pintu masuk kampung. Selain menjamin ritual berjalan tanpa gangguan, juga menjamin kenyaman kampung dari aksi pencurian.
Sebelum menggelar ritual Lede Lewu, Sabtu (19/2/2022) sekitar pukul 16.30 Wita, masyarakat adat Lewolein terlebih dahulu melakukan pembersihan sumur tua dan naga (jimat tahan hujan). “Ada dukun yang bertugas mengambil naga (jimat hujan). Seringkali naga dipasang oleh nelayan dari luar yang mencari di perairan sini,” jelas Sisko Making.
Sang dukun (molan, sebutan masyarakat setempat) hanya menunjuk. Yang mengambil anak laki-laki kampung. “Kalau disuruh gali, kami gali. Disuruh selam juga kami selam. Disuruh ambil di atas pohon, kami panjat. Dan harus cepat sebelum naganya berpindah tempat,” jelas Sisko Making.
Setelah ritual pembersihan sumur dan naga, barulah digelar ritual Lede Lewu. Waktunya ditentukan dalam musyawarah desa. Kepala desa bertugas mengundang warga masyarakat. “Tidak boleh pake surat undangan. Hanya diperbolehkan menggunakan pengeras suara untuk meminta masyarakat berkumpul. Dalam rapat itulah diputuskan waktu pelaksanaan ritual,” jelas kades Dikesare.
Dalam ritual Lede Lewu, setiap keluarga menyiapkan sokal (wadah yang terbuat dari ancaman daun lontar) berukuran kecil. Setiap keluarga menyediakan dua sokal kecil. Satu sokal kecil untuk arwah perempuan, dan satunya lagi untuk arwah laki-laki.
Sesuai waktu yang sudah ditentukan, tua adat membunyikan seng atau benda lainnya di rumahnya, diikuti warga lainnya. Riuh rendah dan hingar-bingar pun terjadi di dalam Kampung Lewolein. Ini dimulai pukul 16.30 Wita, Sabtu (19/2/2022).
Tradisi menggelar Ritual Lede Lewu ini dipercayai menjadi ritual mengusir sial, mengeluarkan semua sakit penyakit dan roh jahat lainnya dari dalam rumah untuk dibawa dan dibuang di laut.
Kemudian, masing-masing keluarga membawa dua sokal yang di dalamnya sudah diisi biji kewakat (biji bakau), biji asam, buah sirih dan buah pinang.
Bahan yang ada di dalam sokal kecil itu dipercayai sebagai bekal para arwah leluhur menuju alam mereka yang oleh masyarakat adat setempat disebut “Lewo Nitu Heri Neda”.
Setelah dibawa menuju ke laut, sokal kecil tadi lalu digantungkan pada tiang bambu yang telah disediakan oleh tua adat yang bertugas dalam ritual ini.
Setelah itu, semua warga kembali ke rumah dan menyiapkan diri menyambut malam yang harus dilalui dalam kegelapan selama tiga malam.
Bartolomeus Bosi Paliwala, Lewonimun Tana Alap, yang juga pemilik ulayat menjelaskan, Ritual Lede Lewu telah ditanamkan sejak nenek moyang di kampung ini dan dilanjutkan oleh anak cucu.
Ritual Lede Lewu bertujuan meminta kepada leluhur untuk memberikan curah hujan karena curah hujan tidak mencukupi di musim tanam tahun ini.
Selain itu, ritual Lede Lewu juga bertujuan untuk mengusir ‘Maya Epu Angi’, segala macam penyakit yang ada di dalam kampung agar keluar dari kampung supaya masyarakat tidak lagi mengalami sakit ringan, bencana, maupun musibah.
“Ritual Lede Lewu harus kami gelar karena selama hampir tiga minggu belakangan ini musibah selalu dialami warga. Ada yang jatuh, kecelakaan di jalan. Kejadian hampir tiap hari,” katanya.
Penyebab kesialan dipercayai karena ritual Lede Lewu sudah direncanakan sejak Januari, namun karena hujan sudah mulai turun, sehingga belum dapat dilaksanakan.
Akibatnya, leluhur yang sudah terlanjur mendengar rencana itu sudah menunggu bagian mereka, namun tak kunjung dibuat, maka musiba terus dialami warga.
Akhirnya, kata dia, difasilitasi pemerintah desa, digelarlah pertemuan bersama tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk menentukan waktu pelaksanaan ritual Lede Lewu.
“Pantangan dalam ritual Leda Lewu, masyarakat jaga ketertiban, tidak ribut di malam hari dan semua cahaya dipadamkan selama tiga hari berturut-turut,” jelasnya.
Setelah tiga hari, pada subuh di hari ketiga akan dibuang semua kelelahan, keletihan, secara bersama.
Keistimewaan diberikan kepada ibu menyusui dan warga yang sakit berat.
Bagi mereka dapat menyalakan lampu, tapi diletakkan di wadah agar cahayanya tak sampai ke luar rumah.
Ia menjelaskan, dalam ritual Lede Lewu, yang memegang peran adalah Kapitan Duli, Kapitan Lewu, Paliwala Kote Watan, Paliwala Koro, dan Paliwala Ikun.
Mereka yang berhak duduk di pantai dan menjaga ‘Nama Wate Ai Kene’ dan apabila ada ikan besar yang mati, maka menjadi bagian mereka.
Sedangkan dirinya sebagai Paliwala Koten Kiwan untuk urusan ritual Nuba Nara termasuk tanah adat di desa.
Masyarakat Dikesare mengakui Paliwala Koten Kiwan sebagai pemegang ulayat di wilayah mereka.
Kepala Desa Dikesare Fransiskus Raing alias Sisko Making mengatakan, setelah dilantik, ia menggagas digelarnya ritual Lede Lewu.
Gagasannya mendapat sambutan tokoh adat setempat setelah digelar pertemuan bersama BPD, tokoh masyarakat, dan tokoh adat. Setelah digelar pertemuan, langsung turun hujan, sehingga sempat ditunda pelaksanaanya.
Namun menyadari seringnya musibah terjadi, akhirnya disepakati untuk segera menggelar ritual Lede Lewu dan disepakati digelar Sabtu ini.
Ritual Lede Lewu ini, lanjutnya, merupakan kewenangan tokoh adat. Pemerintah hanya memfasilitasi agar ritual ini dapat dilaksanakan. Kedepan, pemerintah desa akan terus memfasilitasi agar Ritual Lede Lewu ini digelar kembali sesuai tradisi yakni pada bulan Desember dan harus rutin dilaksanakan. (freddy wahon)