Oleh Yohanes Sudarmo Dua
Orang Kedang, Mengajar di Prodi Pendidikan Fisika Universitas Nusa Nipa Maumere
Tentang kegiatan “Sare Dame” di Lembata, sudah begitu banyak pro kontra yang mewarnai diskursus di ruang publik, terutama di kalangan para pemerhati geliat pembangunan di kabupaten pulau yang dulu bernama Lomblen itu. Terdapat setidaknya dua alasan mendasar mengapa gagasan “Sare Dame” yang dilontarkan Bupati Lembata, Thomas Ola ini menuai beragam tanggapan. Pertama, ketidakjelasan konsep dan esensi “Sare Dame” yang sampai ke ruang publik. Bahkan, hingga saat ini, terdapat pihak yang mempersoalkan keakuratan makna frase “Sare Dame” secara etimologis: benarkah kata ‘dame’ merupakan istilah asli dalam tutur masyarakat Kedang atau Lamaholot di Lembata?
Soal kedua, berkaitan dengan anggaran fantastis yang digelontorkan untuk kegiatan ini. Tidak tanggung-tanggung, Pemda menggelontorkan anggaran Rp 2,5 miliar untuk kegiatan ini. Nilai uang ini bisa setara dengan sekian kilometer jalan ke wilayah selatan Lembata yang beberapa waktu lalu diperbaiki secara swadaya oleh komunitas Taman Daun yang dimotori Jhon S. Batafor, Cs.
Setelah mengikuti beragam diskusi terkait “Sare Dame”, saya mencoba melihat secara cermat beberapa flyer promosi yang ditampilkan ke ruang publik. Dalam sebuah flyer – dari tampilannya, saya duga adalah official flyer Pemda Lembata – saya menemukan foto Bupati Lembata (ukuran paling jumbo), beberapa foto masyarakat Lembata yang mengenakan pakaian adat Lembata, juga foto sejumlah batang gading, keris, gong, dan beberapa foto lain. Judul flyer itu jelas: “Sukseskan Eksplorasi Budaya Lembata 2022”. Di bagian paling bawah, tercantum delapan jenis kegiatan yang hendak dilakukan dari 7 Februari hingga 7 Maret 2022.
Saya membaca secara teliti ke-delapan jenis kegiatan itu dan secara eksplisit tidak saya jumpai kegiatan “Sare Dame”. Muncul pertanyaan: Apakah “Sare Dame” adalah ‘nama payung’ untuk delapan jenis kegiatan itu? Atau “Sare Dame” yang dimaksud adalah Ritual Adat Komunitas Adat, salah satu dari delapan jenis kegiatan dalam Eksplorasi Budaya Lembata? Hingga saat ini, tidak ada jawaban yang jelas. Yang pasti, secara terminologi, pemerintah Lembata tidak sedang membuat kegiatan yang namanya “Sare Dame”. Yang dibuat Pemda Lembata adalah Kegiatan Eksplorasi Budaya dengan total anggaran senilai Rp 2,5 Miliar.
“Sare Dame” dalam Eksplorasi Budaya
Bila “Sare Dame” yang dimaksud adalah Ritual Adat Komunitas Adat maka posisi “Sare Dame” tidak terlalu berbeda dengan Carnaval Budaya, Tarian Kolosal Lembata, Seminar Budaya, dan empat jenis kegiatan lainnya dalam Eksplorasi Budaya Lembata 2022. Dengan begitu, posisi “Sare Dame” adalah “Sare Dame” yang sekedar sebagai bagian dari kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata.
Dalam konteks ini, “Sare Dame” bukanlah fokus utama kegiatan. Pertanyaan paling mendasar adalah: mengapa “Sare Dame”-lah yang selama ini disodorkan ke hadapan khalayak seolah-olah “Sare Dame” adalah “roh kegiatan” dengan anggaran yang fantastis itu? Bahkan, ada akademisi yang ikut ‘turun gunung’ guna memberikan pendasaran ilmiah mengapa “Sare Dame” perlu segera dilakukan di Lembata.
Ujung-ujungnya: “Sare Dame” hanya sekedar sebagai ‘pengisi acara’ dalam panggung besar yang bernama Eksplorasi Budaya Lembata 2022. Jangan-jangan, “Sare Dame” yang secara adat dan budaya orang Lembata merupakan istilah yang sakral memang sengaja dicatut ke publik guna menarik empati dan simpati publik? Nyatanya, nama “Sare Dame” sekedar digunakan untuk memberi corak beda pada warna dasar kegiatan yang sebenarnya “lama”.
Bila kita melihat ke belakang, ‘warna’ kegiatan Eksplorasi Budaya Lembata 2022 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan Pemda Lembata yang lalu-lalu. Festival Tiga Gunung, misalnya. Mirip. Selain sama-sama dikemas dalam bentuk gerakan, kegiatan-kegiatan ini juga memakan anggaran yang tidak sedikit. Di satu sisi, kita tidak tahu apa urgensi pelaksanaan kegiatan-kegiatan itu bagi rakyat Lembata.
Jadi, bila ada sebagian publik yang tampak geming mengkritisi penggelontoran anggaran yang demikian besar untuk kegiatan Eksplorasi Budaya 2022, bisa jadi orang-orang ini risau, jangan-jangan alokasi anggaran yang demikian besar itu akan nir-manfaat. Bukankah lebih baik bila anggaran Rp 2,5 Miliar itu digunakan untuk pos lain yang lebih urgen? Lembata memiliki stok persoalan dasar yang membutuhkan anggaran tidak sedikit untuk diselesaikan.
Eksplorasi Budaya dalam “Sare Dame”
Dalam kolom opini di nttsatu.com, 4 Februari 2022, Dr. Hipolitus K. Kewuel, dosen Antropologi Filsafat di Universitas Brawijaya menulis, “Sare Dame Untuk Lembata, Apa Urgensinya?” Dr. Hipolitus mencoba mengajak publik untuk memahami konteks “Sare Dame” dan terutama tidak perlu mempersoalkan besaran anggaran yang digelontorkan Pemda Lembata untuk kegiatan “Sare Dame”.
Secara konteks, Dr. Hipolitus mengajak publik untuk memahami “Sare Dame” sebagai “kearifan hidup nenek moyang masyarakat Lembata” yang kembali dimunculkan dalam situasi Lembata yang sedang dilanda bencana fisik maupun mental.
Dalam hal diskursus anggaran, Dr. Hipolitus membingkainya dalam seruan: butuh perubahan paradigma. “Reaksi-reaksi yang muncul di seputaran anggaran gerakan “Sare Dame” ini menunjukan dengan jelas paradigma berpikir yang belum berkembang, bahkan masih teguh memperlihatkan pola kerja lama yang berlawanan dengan paradigma berpikir pemberdayaan” (nttsatu.com, 04/02/2022). Cukup Keras!
Saya sama sekali tidak keberatan dengan pendapat Dr. Hipolitus di atas bila Dr. Hipolitus bisa memastikan bahwa yang dilakukan oleh Pemda adalah: Eksplorasi Budaya dalam kegiatan “Sare Dame”.
Artinya: Pemda sedang menempatkan “Sare Dame” (baca: ritual “Sare Dame”) sebagai pusat kegiatan. Apa indikatornya? Bila Pemda menjadikan “Sare Dame” sebagai pusat kegiatan maka yang pertama dan utama diperhatikan Pemda adalah kesakralan kegiatan “Sare Dame”. Sehingga tujuan kegiatan “Sare Dame” yang oleh Thomas Ola dianggap krusial untuk mengatasi aneka soal di Lembata saat ini terwujud. Minimal, diyakini bisa terwujud. Esensi “Sare Dame”lah yang terlebih dahulu harus ditonjolkan. Dengan begitu, Pemda dan segenap masyarakat Lembata dapat menimba inspirasi dan mengeksplorasi Budaya (baca: nilai-nilai hidup) dari kegiatan “Sare Dame”.
Dalam hal anggaran, bila “Sare Dame” telah benar-benar dijadikan fokus kegiatan maka saya sangat sepakat dengan apa yang disampaikan Dr. Hipolitus. “Besaran anggaran tidak perlu kita persoalkan!”.
Bila sebaliknya, mungkin Dr. Hipolitus perlu mengecek ulang: “Apakah yang dilakukan Pemda Lembata saat ini benar-benar telah menempatkan “Sare Dame” sebagai fokus?”. Bila Iya, soal anggaran memang tidak perlu kita persoalkan. Bila sebaliknya, Dr. Hipolitus tentu perlu melihat ulang statement-nya yang cukup keras terhadap para pengkritik yang keberatan akan gelontoran dana yang besar itu.
Tunggu Saja
Apakah posisi “Sare Dame” dalam kegiatan Rp 2,5 miliar selama sebulan di Lembata itu adalah “Sare Dame” dalam Eksplorasi Budaya atau Eksplorasi Budaya dalam “Sare Dame”? Rakyat Lembata yang sudah sangat cerdas harusnya sedang mengarahkan rubrik penilaiannya pada kegiatan dengan anggaran yang fantastis ini. Catat dan ingat siapa penggagas kegiatan ini! (*)