Gara-gara pilkades, dua orang bakal calon kepala desa bertarung sengit. Rivalitas keduanya pun melejit setelah visi misi mereka dipaparkan pada warga. Sama-sama punya intelektual yang baik, juga akuntabel dan transparan. Soal relasi sosial kemasyarakatan, apa lagi.
Bakal calon Kepdes A, sebut saja, Rensus. Ia punya segudang ide, yang bakal ia terapkan jika terpilih. Bakal calon B, sebut saja, Komar. Ia punya sepak terjang kepemimpinan yang tak diragukan lagi. Hal itu yang membuat dirinya memiliki taktik serta manuver yang lihai dalam mengatur strategi politik.
Setelah cukup lama, pemilihan Kades pun dimulai. Bandul kemenangan berpihak pada Kades B. Sang Kades pun meraih suara terbanyak pada perhitungan kali ini. Hanya sekali libasan, ia meraih kursi kepala desa. Mereka pun akhirnya merayakan pesta demokrasi itu dengan makan bersama.
Pesta itu dimulai. Tenda berjejer panjang menjuntai hingga ke tepi jalan. Bahkan, menghabiskan dua ekor kambing, 3 ekor babi dan puluhan ekor ayam serta ikan. Pesta digelar dua hari dua malam. Full musik. Banyak warga ikut goyang sampai mabuk.
Sementara itu, tim sukses calon kepdes A yang gagal pun merayakan pesta. Mereka menggelar tiga hari pesta siang dan malam. Bahkan, menghabiskan 4 ekor babi dan 6 ekor kambing. Belum lagi ikan dan ayam. Pesta itu mereka racik lebih milineal dengan soundsystem yang keras, memekak telinga. Lebih meriah ketimbang pesta sang pemenang.
Setelah dicari tahu, ternyata Rensus hanya ingin mengadakan pesta. Ia mencari-cari alasan agar ada pesta. Ia pun melamar jadi kepala desa. Dengan begitu, proses pun berjalan dan pasti ada pesta. Baginya, kalah dan menang tetap pesta.
Apalagi, ia tahu teman rivalnya punya trik yang tidak bagus jelang pilkades. Ia malah merasa lebih kompeten pada pertarungan kali ini. Baginya, Ia telah memenangkan kejujuran.
Kisah di atas hanyalah sebuah gambaran. Bahwa menjadi kepala desa bukan sekadar melekatnya jabatan melainkan sebuah tanggungjawab moril dan sosial bagi warga yang memberikan kursi.
Mengambil sisi pelayanan dalam teologi Katolik, Tuhan sendiri menjadi pelayan. “Aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani”.
Menjadi pelayanan berarti mengingkari diri sebagai tuan dan menjadi hamba, sahabat, rekan sekerja dengan liyan (yang lain).
Di situ, terkandung sebuah epifani, dalam bahasa Filsuf Levinas, sebuah perjumpaan dengan wajah yang lain, wajah penderitaan, kemiskinan. Di situ, seorang pelayanan memecahkan roti hidupnya, pengabdian untuk banyak orang. Roti adalah simbol pengabdian diri, pelayanan dan cinta.
Di sini, teologi (Ilmu mengenai Tuhan) menempatkan diri, pun mendapat bentuknya. Setiap kades perlu merawat wajah penderitaan warganya menjadi wajah sukacita.
Sukses buat seluruh kepala Desa.(*)
(Tulisan ini merupakan refleksi pribadi penulis terhadap pelantikan Kepdes Flotim dan Lembata.)