In Memoriam Ama Fransiskus Lebu Raya – Gubernur NTT ke – 7
Oleh: Y.B. Januar Bala Lamablawa
Tangguh bagai batu…dengan senyum yang memikat
Dilahirkan dari Rahim Ibunda tercinta Maria Wae Peka pada 18 Mei 1960, Frans kecil dibesarkan dengan ketangguhan ama Paulus Ola Samon di atas bebatuan desa Watoone. Ia tumbuh menjadi petarung sejati oleh duka derita di kampung halaman hingga ditempa jadi “baja” oleh kerasnya hidup dan perjuangan di atas cadas – batu karang kota Kupang. Perjuangan hidupnya boleh keras dan membuat ia kokoh seperti batu, tapi ia juga tetap menjadi pria yang murah senyum dan ramah. Bagi banyak orang, senyumnya ama Frans Lebu Raya telah menjadi jembatan pemikat hati untuk lebih mudah bersahabat, bersaudara dan berkawan. Ini adalah satu kekuatan gesture yang sungguh melekat dalam dirinya, yang pada gilirannya telah sangat membantu ia dalam membangun komunikasi termasuk dalam seluruh proses di ruang politik.
Dinamika perjalanan hidupnya yang nekad di kota Karang telah menghantar dia perlahan-lahan tampil di depan sebagai pemimpin mulai dari ketua umum senat fakultas pada tahun 1988 hingga memimpin Gerakan Mahasiwa Nasional Indonesia cabang Kupang. Aktivitasnya sebagai pemuda dalam organisasi kepemudaan membentuk wawasan, pemahaman, cara pandang, dan kemampuan untuk bisa menjadi bagian solusi di tengah berbagai kesulitan hidup. Kepeduliannya akan kondisi masyarakat nusa tenggara timur yang masih mengalami keterbatasan dalam banyak hal membuat ia berani mendirikan YASMARA (Yayasan Masyarakat Sejahtera) untuk membantu masyarakat dalam bidang kesehatan terutama berkaitan dengan perbaikan gizi dan penangangan HIV/AIDS.
Politik sebagai gerbang masa depan
Hidup dalam seni gerakan dan kepedulian terhadap masyarakat melalui YASMARA telah menjadi modal sosial yang besar untuk masuk dalam kancah politik. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan materi dalam perjalanan yang tidak singkat di berbagai lini di kota Karang telah menjadi lorong-lorong kecil menuju panggung politik yang kemudian menjadi gerbang besar masa depan pelayanan kepada rakyat.
Ia lalu terpanggil untuk masuk dalam barisan Partai Demokrasi Indonesia dan Pada tahun 1996, Frans Lebu Raya menjadi ketua di Kupang. Memang politik itu penuh tantangan. Di tahun yang sama, terjadi pergolakan dalam tubuh PDI dan partai ini terpecah jadi dua kubu yakni kubu Megawati dan Kubu Suryadi yang didukung pemerintah. Dalam kemelut ini, dengan tidak gentar sedikit pun ia memilih untuk ada pada jalur historis dan ideologis PDI yakni kubu Megawati yang kemudian membarui perjalanan partai dengan menggunakan nama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ini adalah sebuah pilihan yang sangat berani di tengah situasi politik yang sungguh dideterminasi oleh pemerintah kala itu. Ia ada jalur yang penuh risiko, ancaman terakhirnya adalah keselamatan diri. Tapi keyakinan pada ideologi partai yang ditanamkan oleh Pendiri Bangsa ini tidak membuat ia dan teman-teman mundur selangkah pun. Maju dan siap mati, bukan mundur dan siap lari. Ia akhirnya terpilih menjadi Sekretaris PDI-P cabang NTT. Di atas liku-liku perjuangan seperti ini, ia telah merekatkan detak-detak perjalanan untuk terus meringsek maju membela kaum tertidas dan terpinggirkan.
Kepiawaiannya mengelola sumber daya dan jaringan politik pada waktunya menghantar dia menjadi anggota DPRD Provinsi pada tahun 1999 sekaligus menjadi salah satu pimpinan yakni wakil ketua DPRD. Pada tahun 2000 ia terpilih sebagai Ketua PDI-P NTT menggantikan Bpk Anton Haba dan terus berada di pucuk pimpinan partai hingga mengakhiri masa jabatannya sebagai Gubernur.
Gubernur yang suka Anggur
Kecerdasannya dalam ketenangan diri menjadi suatu kekuatan luar biasa dasyat bagi Pak Frans Lebu Raya untuk memenangi beberapa kali pertempuran di medan laga politik untuk menjadi pelayan rakyat NTT. Pada tahun 2003-2008 ia menjadi wakil Gubernur berpasangan dengan Bpk. Piet Alexander Talo sebagai gubernur yang ketika itu masih dipilih oleh Anggota DPRD. Keberadaannya sebagai wakil gubernur memberi kesempatan yang semakin luas dan besar untuk melakukan konsolidasi dan membangun jaringan serta silaturahim dengan berbagai komunitas dan kelompok kategorial.
Pendekatan dan kedekatan dengan kelompok muda di kota Kupang kelompok arisan berbasis daerah asal menjadi menu istimewa untuk konsumsi politik yang bermartabat. Kehadiran dalam berbagai kegiatan oraganisasi kepemudaan kemudian tumbuh menjadi simpati dan apresiasi yang membawa keuntungan secara politis dalam hajatan pilkada di kemudian hari.
Karena PDI-P di NTT lahir dan besar dari cucuran keringat dan perjuangan beliau, maka barisan PDI-P di seluruh NTT paling tidak mengingat jasa dan kerja kerasnya. Fakta ini menjadi satu factor yang membantu kerja lapangan tim untuk menghantar Frans Lebu Raya untuk dua kali menduduki kursi jabatan sebagai gubernur NTT.
Pada periode pertama, ia berpasangan dengan Bpk Eston Foenay untuk masa bakti 2008-2013 dan pada periode kedua ia berpasangan dengan Bpk Beni Litelnoni untuk masa bakti 2013-2018. Yang menarik dari masa kepemimpinan ini adalah bahwa ia dan pasangannya dipilih langsung oleh rakyat dan bukan oleh lembaga DPRD. Ini adalah angin segar demokrasi sekaligus ujian elektabilitas. Logikanya sederhana. Kalau di periode pertama mayoritas masyarakat tidak suka akan kempemimpinan ia dan wakilnya maka hampir pasti ketika maju untuk periode berikut mungkin tidak meraih lagi suara terbanyak. Tapi kenyataan perhelatan demokrasi membuktikan bahwa ia terpilih lagi, walau dengan wakil yang berbeda.
Pertanyaannya: apa yang terlihat dan dirasakan signifikan dari kepemimpinannya ini? Mungkin jawaban atas pertanyaan ini masih terus diperdebatkan, tapi paling tidak ada hal yang dominan/ unggul untuk bisa manjadi batu loncatan ke periode dua. Secara personal saya meyakini bahwa pola pengganggaraan ala anggur merah adalah sesuatu yang sangat positif dari spirit keberpihakan kepada kaum miskin / marginal di NTT. Anggur Merah (Anggaran untuk rakyat menuju sejahtera) adalah satu pola pendekatan pembangunan yang sungguh memberi ruang kepada desa untuk bisa membangun ekonomi masyarakatnya. Secara kebijakan, program ini sangat berpotensi untuk produktif, walaupun di lapangan masih terdapat kekurangan sana sini. Anggur merah adalah bukti uang rakyat untuk rakyat. Anggur merah telah menyelamatkan banyak warga di desa yang kesulitan mencari akses finansial untuk merintis atau melanjutkan usaha mereka. Tanpa anggur merah, rakyat di desa-desa terpencil sulit mengerti dan memahami bahwa ada uang untuk rakyat sebelum adanya dana desa. Anggur merah telah sedikit lebih dahulu menyembuhkan luka ketimpangan pembangunan Indonesia, di mana warga desa di Indonesia timur sulit melihat yang namanya uang dari pemerintah yang bisa langsung dikelola di desa dari tahun ke tahun. Anggur merah juga sebenarnya menjadi suatu artikulasi dari keberpihakan dan kepedulian seorang pemimpin akan sesame (rakyatnya) yang sudah dibangunnya dalam pergumulan hidup yang tidak sekali jadi. Ia peduli maka ia ingin jadi pemimpin, ia cinta rakyat NTT maka ia mau menjadi gubernur.
Hidup telah pergi tapi cinta tetap tertinggal
Saat ini NTT telah kehilangan lagi seorang putera terbaiknya dari Pulau kecil Adonara yang telah mengabdi rakyat sebagai gubernur yang ke tujuh di umur 61 tahun. Bagi pemazmur, ini adalah umur yang belum layak untuk kembali kepada Tuhan. Pemazmur bilang, umur manusia itu 70 tahun, 80 jika kuat (Kitab Mazmur 90:10). Tapi sebagai orang yang beriman, kita yakin bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan (Kitab Ayub 1:21).
Ama Frans Lebu Raya boleh pergi untuk selamanya, tapi cintamu akan rakyat NTT melalui karya pelayanan sebagai Gubernur dan budi baik personal sebagai pemimpin yang ramah, santun, rendah hati, lembut, sederhana dan pekerja keras akan tetap kami kenang dalam lembar lembar kehidupan di NTT tercinta.
Finis Vitae Sed Non Amoris – Hidup telah berlalu tetapi tidak untuk Cinta
Selamat jalan Ama Frans Lebu RayaDoa kami mengiringi kepergianmu…..Bahagia dalam Rumah Bapa.