Oleh: Yurgo Purab
Jurnalis di Larantuka
Guyur hujan deras semalam bikin got-got dipenuhi ringsekan sampah. Bahkan, sebagian sisi jalan beraspal di kota Larantuka, kini dipenuhi onggokan tanah.
Tanah itu terbawa oleh luapan banjir dan menganak persis di tengah jalan karena kemiringan aspal yang landai.
Sudah beberapa kali, selepas hujan. Saya melintasi lorong dan jalanan di sekitar Kota Larantuka. Saya temukan cukup banyak bangkai tikus mati, yang dibuang begitu saja di pinggir jalan.
Aneh, begitu kira-kira kata yang tepat saya sandingkan dengan mereka yang “sengaja” membiarkan bangkai tikus mati dilanggar pengendara hingga tubuhnya berangsur ringsek/rusak.
Kepingan darah dan tubuh tikus memipih setelah dilindas mobil atau motor. Saya menyaksikan peristiwa itu dengan emosi. Sebab, bukan pertama kali saja saya melihat peristiwa ini. Tapi berulang kali bahkan berkali-kali.
Sebenarnya, ada beberapa alasan mengapa saya menolak inisiatif luhur orang-orang yang membuang bangkai tikus di pinggir jalan.
Pertama, Dosa Ekologis.
Membuang bangkai tikus yang sudah mati adalah perilaku pencemaran lingkungan. Selain menimbulkan bau tak sedap, juga bangkai tikus itu dibuat “sengsara” berlebihan dengan membunuhnya berulang-ulang kali. Itu bagian dari Dosa Ekologis. Saya melihat dari kaca mata bagaimana relasi saya dengan alam, hewan, baik itu yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Bagi saya, membuang tikus ke jalan adalah bentuk penyiksaan secara keji terhadap keadaban binatang.
Dari situ muncul pertanyaan, mengapa bangkai tikus tidak dikubur atau dibuang ke tempat yang jauh dari pemukiman warga ?
Apakah ada motif memamerkan bangkai tikus atau melihatnya digilas mobil, pelaku merasa puas atau bangga berulang kali ?
Mengapa harus di buang di jalan raya, yang hemat saya adalah tempat umum. Apakah ada usaha mempertontonkan kegarangan manusia ? Ini sama halnya dengan orang-orang Farisi yang memamerkan doa-doa mereka di pinggir jalan.
Apakah manusia mau memamerkan kekuasaan dan kekejiannya?
Sekali lagi, kita perlu pertobatan ekologis. Kita harus ramah terhadap lingkungan, juga ramah menghargai “kematian” binatang/hewan.
Kedua, Malum Morale.
Moral kita seakan terdegradasi oleh penafsiran kita terhadap kitab suci, “Berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kek 1:28).
Ketiga, Merusak Pemandangan.
Kita berusaha membangun jalan yang sehat dan bersih. Di situ, ada aspek pulchrum (indah) di lihat atau dipandang elok.(*)