Perayaan Panca Windu Imamat RD Dominikus Luro Kelen, di kampung halamannya akan dilakukan pada Jumat, 24 September 2021. Kepada umat yang ingin mengikuti acara ini, silahkan mendaftarkan diri. Sebab kita harus Rapid Test sebelum berangkat. Di sana, kita diatur penginapan dan sebagainya. Kelompok koor Christo Regi Paroki Kristus Raja Wangatoa (PKRW) sudah pasti ikut. Itu permintaan khusus dari romo.
Demikian Ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP) Kristus Raja Wangatoa, Karolus Kumbala dalam beberapa kesempatan sebelum hari keberangkatan. Rapid tes itu wajib. Meski pemberlakuan wajib Rapid sebagai syarat perjalanan sudah tidak berlaku lagi belakangan sejak dibukanya PPKM masa pandemi Covid-19. “Ini karena kita akan mengikuti kegiatan bersama. Banyak umat”, begitu Ketua DPP menegaskan.
Sebagai Ketua Seksi Komsos PKRW, moment seperti ini seperti hal wajib yang harus didokumentasikan. Sepanjang 40 tahun sebagai imam, 27 tahun waktu tugas Romo Domi ada di Lembata. Bahkan, masa TOP 2 tahun, dijalaninya di Lembata. Jadi 29 tahun di Lembata dan hampir 10 tahun, berada bersama umat di PKRW. Perayaan imamat begini, tentu saja ingin diikuti banyak orang. Tapi jika mereka tidak bisa hadir, Komsos bisa live streaming. Cek jaringan internet, tanya sana sini dan katanya, bisa. Sekali lagi, katanya bisa. Jadi? Komsos siap berangkat!
***
Kampung halaman RD Domi itu di Basira. Nama desanya Patisirawalang. Salah satu desa di Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Basira itu, letaknya paling utara Pulau Flores. Ketika meneliti di peta, Patisirawalang tampak berada persis di batok kepala burung.
Basira! Pernah membaca tulisan tentang betapa terisolirnya desa ini, bertahun yang lalu (saya lupa). Yang menulis kalau tidak salah adik-adik API RR, kelompok mahasiswa Katolik Keuskupan Larantuka di Kupang, yang melakukan kegiatan Kemah Kerja Kitab Suci Lewotana (K3SL) di desa tersebut.
Ketika jadi jurnalis Pos Kupang yang bertugas di Kabupaten Flores Timur antara tahun 1996-1997, yang saya tulis dari wilayah Tanjung Bunga adalah jambu mete. Wilayah tersebut penghasil jambu mete. Dan, konflik batas wilayah hingga perang tanding berdarah. Saya meliput hingga Waiklibang dan menulis semua itu. Basira? Saya tak pernah tahu. Sulitnya akses ke seluruh daerah Flotim, menyulitkan saya melakukan peliputan hingga pelosok. Karena itu “nebeng” kunjungan kerja Bupati ke semua wilayah adalah kesempatan emas buat saya. Apalagi, almarhum Bupati Hengky Mukin yang saat menjabat memastikan diri menginjakan kaki di seluruh desa di Kabupaten Flores Timur (termasuk Lembata), adalah tipikal pemimpin yang akrab dengan wartawan tapi tak ambil pusing dengan kerja wartawan. Kemana-mana selalu dibawanya wartawan tetapi tidak diwajibkan harus menulis ini dan itu sesuai “arahan” pemerintah. Menulis apa katanya, apa yang terjadi saat kunjungan, tentu saja pasti dilakukan wartawan. Tetapi lain-lain yang dilakukan wartawan saat berada di desa yang dikunjungi, bukan urusan beliau. Tapi Basira? Tidak ada dalam pengalaman kunjungan–yang saya nebeng—selama saya tugas di Flotim.
Ke Basira? Tulisan yang saya baca bertahun-tahun lalu itu berkelebat. Basira itu terisolir. Tapi dengan mudah saya “positifkan”.
“Sudah begini lama, pasti sudah berubah ka. Apalagi internet sudah bisa tuh.”
Begitulah saya menenangkan.
“Jalan masih parah ke Basira. Tapi kendaraan bisa lewat sampe kampung. Di titik tertentu yang parah dan kalau takut, turun jalan kaki saja.”
Begitu informasi lainnya dari anggota koor Christo Regi saat kami bicara soal keberangkatan ke Basira.
Kamis (24/9/2021), rombongan berangkat Larantuka. Kurang lebih 40 orang. Ketua DPP, anggota koor CR PKRW, dua frater, dua suster dan beberapa umat.
***
Larantuka yang panas kurang lebih pukul 10.00 Wita, Kamis (23/9/2021) kami tiba di Dekenat Larantuka, depan gereja Katedral yang anggun. Mantan Pastor Paroki Wangatoa, RD Wenceslaus Herin menyapa kami hangat. Minum sejenak di ruang makan lalu diajaknya kami menunggu jemputan dari Basira. “Kendaraan dari Basira. Jalan baik. Bisa sampe kampung,” begitu kata Rm Wens meyakinkan kami. Seorang bapak dari Basira yang sedang bersama romo Wens di pendopo–kemudian saya ketahui adalah guru di SMAN 1 Larantuka, Thomas Lewar– menjelaskan lebih rinci sambil ulang-ulang bilang,” jangan bawa sepeda motor. Medannya sulit. Hanya mereka yang di sana yang bisa.” Beberapa dari rombongan kami memang membawa sepeda motor dari Lewoleba dan memilih perjalanan dengan sepeda motor ke Basira.
Saya mulai “terganggu” dengan ucapan-ucapan guru Thomas. Kepada romo saya bertanya lagi soal ucapan guru Thomas. “Ah kaka, tidak apa-apa. Aman saja,” ujar Rm Wens tersenyum.
Dan saya terus menyimpan rasa penasaran tentang Basira. Juga, semua yang tampak bersemangat saat masuk kapal cepat di Pelabuhan Lewoleba pagi tadi.
Cukup lama menunggu. Kebosanan mulai merayapi. “Lama yannngggg,” ucapan-ucapan mengeluh mulai terdengar. Kontak dengan panitia di Basira? Sudah sampai di mana kendaraan yang jemput? Coba cek? Siapa yang bisa dihubungi? Rm Domi di mana? Dan lain-lain pertanyaan yang ‘enggan’ dijawab Rm Wens. Beliau terlihat santai menunggu bersama kami semua dan tampak mengabaikan pertanyaan-pertanyaan kami. Belakangan baru saya paham, itu cara menenangkan terbaik. Termasuk meyakinkan, medan baik, bisa sampai Basira!
Dua Pick up tanpa tenda masuk halaman dekenat. Ini jemputannya! Bergegas. Semua naik. Di pick up satunya warna putih, hanya satu kursi depan. Saya! Tidak kuat duduk di belakang, itu alasannya. Dalam situasi begini, pilihan nyaman bagi diri sendiri tampaknya egois. Sebab membiarkan anggota rombongan lain duduk di bak belakang dengan segala resiko panas dan debu. Tapi, mau bagaimana lagi? Maafkan saya..
Perjalanan pun dimulai. Matahari masih panas. Hampir pukul 14.00 wita. Perjalanan pesisir pantai dengan ombak yang menghempas hingga badan jalan selepas Delang, cukup bikin mata segar. Laut memang selalu menenangkan buat saya. Entah buat yang “di belakang” mobil.
Di Waimana 1, kami berhenti sejenak karena deker, sedang dalam pengerjaan. Debu dan saya ingat sahabat-sahabaat yang duduk di belakang.
Waimana 2 terus Welo, kebun sayur tampak menghijau di sisi jalan. Sumber sayur di pasar Larantuka, dari sini, kata om sopir Gus Tukan. Jalan relatif baik, jalan lama.
Selepas Weol melewati Riangkoli, Waiklibang, Beloaja pendakian ke Lamanabi hotmix dengan belokan-belokan yang memabukan.
Lewokoli lalu ujung aspal menurun ke Koten, jalan sengsara mulai terasa. Medan berat yang tadi disebut-sebut, mulai tampak depan mata.
Saya bertanya banyak hal pada sopir, om Gus Tukan. Sudah 6 tahun bolak-balik Basira-Larantuka dengan pick up yang saya tumpangi itu. Tarifnya? PP rp 100 rb. Muatan karung harganya Rp 20 rb. Kalau jambu mente berkarung-karung? Biasanya borong kendaraan.
“Ke Basira itu medannya parah. Jangan pake sepeda motor. Kecuali kami yang sudah paham medan,” ujarnya lagi.
“Seberapa berat?”
“Sangat berat,” jawabnya.
“Dari dulu saya dengar cerita begitu. Apakah tidak ada wakil rakyat dari sana yang kalian pilih untuk memperjuangkan nasib Basira?” Saya bertanya lebih jauh, mengajaknya bicara tentang mereka.
“Pemilu kemarin ada kami punya orang, Andreas Harut Soge. Kami semua kerja untuk dia. Suara banyak tapi suara partai sedikit jadi tidak masuk,” ujarnya.
Nama Andreas Harut Soge itu tidak asing bagi saya. Di FB sering baca. Lebih-lebih musim kampanye Pemilu kemarin. Caleg nomor 4 PKPI. Aktivis. Komitmen pada perjuangan untuk kepentingan rakyat jangan ditanya. Tidak perlu diragukan sepak terjangnya. Tanpa duduk di gedung DPRD Flotim saja, sudah banyak yang dibuatnya untuk kampung halamannya. Apalagi, ruang itu dia punyai. Tapi, begitulah dunia politik.
“Sayang sekali tidak masuk,” ujar saya kemudian
“Iya, kami juga menyesal,” ujar om Gus
Melewati kali cukup lebar dengan sedikit air yang menggenang, saya menoleh ke arah om Gus.
“Ini kalau sedang hujan lebat?”
“Kalau bisa lewat, kami lewat saja.”
Saya diam tak lagi berkomentar. Membayangkan jadi penumpang yang lewat di sini setiap kali, mungkin jadi terbiasa tapi pasti tetap mendebarkan.
Tiba di Kotenwalang. Nama Desanya Latun Liwo 1. Ini pusat paroki. Pastor paroki, Pater Patris Witin, CP sedang menunggu rombongan bersama beberapa tokoh umat dan pengurus. Juga, yubilaris RD Domi Luro Kelen yang sudah sehari berangkat dari Lewoleba. Yang menggunakan sepeda motor dan mobil BNPB Flotim yang ditumpangi suster dan Bpk Petrus Toda Atawolo juga sedang duduk istirahat. Istirahat sebentar di sini lalu kita ke Basira, kata om Gus.
Di bawah rindang pohon Jembulan, kami duduk melepas lelah. Makan yang nikmat dengan ikan hasil tangkapan orang di kampung. Ini pastoran Koten. Gereja tak jauh dari tempat kami istirahat. Depan kami berbatasan dengan jalan, ada bangunan gedung SMP Negri 1Tanjung Bunga. Persis pinggir pantai. Sembari menunggu rombongan pick up hitam yang dikendarai om Eman Tukan, kami jalan-jalan ke pantai. Pantai dengan hamparan batu warna-warni dominasi warna hitam.
Dulu, kisah om Gus, jalur laut adalah satu-satunya transportasi dari Larantuka ke wilayah Koten dan sekitarnya, termasuk Basira. Ada kapal motor penumpang seminggu dua kali dengan laut yang tidak selalu teduh. Sebuah bekas tambatan perahu tampak tidak selesai dibangun.
“Mengapa tidak selesai dibangun? Atau sudah rusak?”
“Tidak tau lagi kenapa. Tapi orang yang kerja juga sudah di penjara,” ujar seorang bapak menjawab saya.
Rombongan lengkap. Yang sepeda motor harap ‘jalan’ dengan joki orang dari kampung. Semua naik mobil saja, begitu arahannya. Lepas Koten masih rata meski bebatuan dan sedikit debu. Jalan sengsara dimulai perlahan. Bebatuan lepas. Melewati jalur kali kecil. Menanjak dengan bebatuan lepas dan sebelahnya tebing terjal. Tuhan, kepadaMu kami serahkan nyawa kami. Nyali benar-benar di uji di titik ini. Yang takut–benar seperti kata mereka– turun dan jalan kaki. Mendaki.
Yang dalam mobil, tak boleh berteriak, nanti sopir kaget, begitu ujar penumpang warga Basira yang ikut serta. Jalan maut begini? Masih ada di Flotim. Iya! Di jalan menuju Basira.
Hari kian senja, Matahari pas turun saat tiba di puncak dengan jantung berdebar. Teman-teman yang turun dan jalan kaki dengan napas tersengal juga tiba di puncak. Sebagian menangis. Tak kuat alami gunjangan dan ketakutan luar biasa melewati titik paling kritis ke Basira.
Tapi, cobalah menoleh ke arah laut. Sunset yang indah nian dinikmati dari ketinggian. Indah nian. Titik kritis yang mendebarkan, sirna tak berbekas. Saya merekam momen Sunset dengan hati riang penuh syukur. Terima kasih Tuhan, kami selamat dari ‘ jalan maut’
“Sedikit lagi kita tiba Basira. Jalan masih jelek tapi lebih baik dari ini,” ujar om Gus. Saya memuji nyalinya dan om Eman. Tiap hari berjibaku dengan ‘jalan maut’ ini. Para sopir hebat!
Melewati pantai, kami berhenti. Di lokasi inilah, dekat pantai, hidup bapak, mama dan ponakan Rm Domi, selesai. Korban tsunami 1992. Mereka di pondok. “Saya mendengar berita ini sehari setelah bencana. Waktu itu, saya masih di Delsos Keuskupan Larantuka,” ujar Rm Domi setelah menyalakan lilin di sebuah batu besar yang tersisa dari pondok di kebun mereka. Dia mengenang bapa, mama dan ponakannya yang hilang.
Perjalanan dilanjutkan dengan debar yang berkurang karena meskipun jalan masih jelek, tidak separah yang sudah kami lewati tadi.
Tiba di Basira, gelap sudah menyelimuti. Tetapi umat di Basira sudah menunggu. Upacara penyambutan di pintu masuk. Ada barisan anak sekolah berseragam. Banyak umat. Mereka menyambut imam perdana dari kampung mereka yang sudah 40 tahun membiara. Menyambut RD Dominikus Luro Kelen yang 40 tahun lalu ditahbiskan jadi imam dan akan merayaakan syukuran 40 tahun bersama mereka. Pengalungan selendang, makan sirih pinang, dan minum tuak dilakukan dengan sempurna dalam bahasa setempat yang saya tangkap “setengah-setengah”. Rombongan lalu diarak masuk ke sebuah tenda. Sudah siap dengan meja altar untuk misa keesokan harinya.
Kami duduk melepas lelah. Ceritera menangis karena lewat “jalan maut’ masih jadi topik sebelum kami dibagi ke rumah-rumah umat untuk istirahat.
Lelah?
Trauma jalan tadi belum hilang?
Live Streaming? Saya mencoba jaringan dan menemukan fakta: Di hp tulis 4G tapi internet tdk bisa terbuka sama sekali. Live Streaming tidak bisa dilakukan, kata saya pada Ketua DPP.
Kita dokumentasikan saja.
Kepada RD Tisto dan adik saya Paul Goran, saya mengabari dari Basira: Tidak bisa live. Bantu kami rekam saja. Terima kasih untuk Komsos Keuskupan Larantuka.
Malam yang ramai karena persiapan acara untuk Romo Domi. Untuk umat setempat, kami memutar kembali aktus panggilan RD Dominikus Luro Kelen yang diperankan anak-anak seminari Hokeng dari Paroki Wangatoa dan anak-anak Sekami Sekar, juga diiringi akuistik Lembata. Mereka mengaku, tidak tahu banyak kisah perjalanan panggilan romo. “Dulu jalan kaki setengah mati untuk sampe Hokeng,” tutur Rm Domi.
Imam yang kuat dari Basira. Malam di Basira adalah kisah perjalanan melewati jalan-jalan sengsara dan jalan maut.
‘Jalan maut’, itu masih ada di Kabupaten Flores Timur. Iya! Di jalur menuju Basira. Kampung ujung utara Pulau Flores yang letaknya di peta, persis seperti di batok kepala burung. Basira! (fince bataona)
Terima kasih banyak Ina Fince Bataona atas catatannya. Salam hangat dari kami Orang Basira.