Oleh: Anselmus D. Atasoge
Agustus ke-76 telah tiba. Untuk ketujuh puluh enam kalinya momen bersejarah bangsa, momen pembebasan dari kolonial yang “merampas” hak dasar bangsa dan warga Indonesia kembali dikenang. Ini kali kedua di masa pandemi covid-19.
Kenangan tidak terbatas pada mengibarkan sang merah putih dan mengulang kembali pembacaan naskah proklamasi. Mengenang sekaligus menimba spiritnya: spirit kemerdekaan, spirit tujuh belas Agustus sekaligus memperbaharui komitmen keindonesiaannya, Indonesia yang identitasnya adalah kemajemukan yang multidimensional: kultur, bahasa dan agamanya!
Identitas ini membuat Indonesia memiliki nilai yang unik dan spesifik. Namun, tak jarang keunikan dan spesifik ini dicorengi aksi-aksi tak sedap, di antaranya ekstrimisme, vandalisme, hate speech, hate spin yang membangkitkan radikalisme sempit demi kepentingan segelintir orang. Ya…Indonesia yang lantaran keinginan dan kehendak segelintir orang dicoba digiring oleh hermeneutika despotik: mengunci kebenaran-kebenaran spesifik dan memaksakannya kepada universalisme. Ketika kebenaran mengalami nasib demikian, pihak yang satu akan bangkit melawan pihak yang lain. Di titik ini, identitas ke-Indonesia-an sedang diuji. Perbedaan bukan lagi jadi sumber kekayaan. Perbedaan jadi pembeda kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Kala Agustus ke-76, menjadi saat berahmat untuk merapatkan kembali spirit tujuh belasan sembari merenungi jati diri ke-Indonesia-an kita. Kita berbeda namun tetap satu. Perbedaan bukan jadi penghalang pluralitas-mulitidimensi melainkan anugerah terindah bagi bangsa ini. Semoga orang-orang dari tradisi budaya dan agama lain selalu bisa mengajarkan sesuatu yang berharga bagi tradisi-tradisi kita sendiri. Biarkanlah hati dan budi kita mendengarkan dan berbicara dengan orang lain tentang perjuangan mereka untuk berusaha hidup dengan kebenaran tertinggi yang mereka ketahui, akui dan imani. Saat Agustus ini menjadi saat dihadirkannya kembali kesempatan untuk mendapatkan perspektif lain tersebut melalui persahabatan sejati. Persahabatan sejati dibangun di atas dasar kesaling-akraban menuju Allah yang akbar meski melalui jalan yang berbeda-beda. Persahabatan sejati mengarahkan setiap sahabat ke tujuan yang sama meski dengan cara yang khas dan unik menurut masing-masing agama.
Dalam kacamata KH Didin Hafidhuddin (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan (Wantim) Majelis Ulama Indonesia (MUI), inilah saat bagi warga beragama Indonesia untuk berjuang menjadi umat pilihan, umat yang terbaik, umat yang adil, umat yang wasathiyah, umat yang selalu menempatkan sesuatu pada tempatnya secara pas dan simetris. Sebuah saat menuju Indonesia yang lebih inklusif, Indonesia yang warga dan umatnya tidak fanatik atau terobsesi buta oleh satu pandangan keagamaan seseorang atau kelompok saja, tanpa mempertimbangkan pandangan keagamaan orang atau kelompok lainnya. Atau, dalam perspektif Ajaran Sosial Gereja, saat Agustus menjadi saat membangun kembali sebuah etika publik yang berlandas pada solidaritas, kerja sama nyata serta dialog persaudaraan demi hadirnya kesejahteraan universal serta kehidupan sosial yang lebih bebas dan berkeadilan.
Di titik inilah, kita bersama menggendong Indonesia menuju bangsa yang tangguh dan bangsa yang bertumbuh subur menuju kemajuan bersama. Happy birthday, Indonesiaku! Ad multos annos! Jadilah Indonesia yang bersahaja, Indonesia yang memiliki spirit tujuh-belasan, Indonesia yang multidimensi, Indonesia yang integratif, Indonesia yang berjiwa human fraternity (persaudaraan manusia) sebab kita semua fratelli tutti (semua bersaudara)!(*)
Kita berbeda namun tetap satu. 👍👍👍💪🇮🇩🇮🇩🇮🇩