Laman facebook penuh dengan ungkapan duka atas kepergiannya. Seniman hebat kelahiran Larantuka, 65 tahun silam, itu menghembuskan nafas terakhirnya pukul 07.45 Wita di RSUD Lewoleba, Lembata. Beberapa waktu belakangan ini, ia memang sempat dirawat di Rumah Sakit St. Damian, Lewoleba. Dia baru masuk ruang isolasi Covid-19 RSUD Lewoleba pada 18 Juli 2021 setelah dinyatakan reaktif Rapid Test Antigen. Dan, dua hari kemudian, 20 Juli 2021, divonis positif Covid-19 berdasarkan hasil Swab PCR.
Emil Diaz, begitu orang Lembata memanggilnya. Bapa Satu, juga nama sapaannya di lingkaran keluarga Istana Raja Larantuka. Ya, Emiz Diaz memang satu-satunya putra Bapak Piet Diaz dan Mama Lelly. Ayahnya, Piet Diaz adalah seorang birokrat tulen bagian keuangan yang bertugas di Ende, kemudian pindah tugas ke Lembata, semasa Hendrikus Antonius Labina menjadi Kordinatorschap dengan sekretarisnya Drs. Bonefasius Lega Boli Tobi sekitar tahun 1968-1971.
Kendati berdarah biru, bagian dari istana Raja Larantuka, Emil Diaz sama sekali tak menampakkan itu dalam kesehariannya di Lembata, sejak masa muda hingga di ujung waktu hidupnya. Dia lebih menampakkan diri sebagai seorang seniman. Ya, pemain musik, penyanyi, pencipta lagu, pelukis dan pematung. “Saya ini seniman, bukan pekerja seni”, ujarnya, suatu waktu.
Baginya, seniman berkarya untuk seni itu sendiri. “Sedangkan, pekerja seni berkarya untuk menghasilkan sesuatu bagi hidupnya”, jelasnya.
Fransiskus Roy Lewar alias Sarly menyebut, darah seni Emil Diaz mengalir dari darah seni keluarga Diaz Vera de Godinho (DVG), baik dari guru Palu Diaz Vera maupun Raja Larantuka, Raja Servus DVG.
Darah seni Emil Diaz memang mulai tampak sejak masa mudanya. Emil Diaz menampatkan SMP di SMPK Santu Pius X Lewoleba, seangkatan dengan Prof. Dr. Alo Liliweri, MS, Yosep Meran Lagaur, S.Kom., almarhum Bediona Feliks, S.P. Pertemanan mereka tak pernah lekang dimakan waktu.
Setamat SMP, Emil Diaz melanjutkan ke SMAK Suradikara, Ende, Flores. Selepas SMAK Suradikara, dia melanjutkan studi ke Makasar, Sulawesi Selatan. “Bung Emil kuliah di dua fakultas berbeda. Jurusan Arsitek di Fakultas Teknik, dan Fakultas Kedokteran. Bung Emil kuliah dua-duanya sekali jalan”, ucap Yoppie Latul, penyanyi kondang yang kini sudah almarhum, dalam sebuah perbincangan saat tampil pada kunjungan Megawati Soekarno Putri di SoE, Kabupaten Timor Tengah Utara, tahun 2000 silam.
Ketika itu, Megawati sebagai Presiden RI mencanangkan Pekan Penghijauan Nasional. Emil Diaz didatangkan secara khusus dari Lewoleba, Lembata, untuk melukis gambar Megawati sedang berkampanye. Gambar berukuran enam lembar tripleks itu dikerjakan Emil Diaz dalam tempo sekejap. Tak butuh setengah hari untuk menuntaskan gambar, yang dikerjakan di markas DPD PDI Perjuangan NTT itu.
Frans Lebu Raya, ketua DPD PDI Perjuangan NTT, waktu itu, memintanya melukis lagi gambar Bung Karno bersama Megawati di masa kanak-kanak. Emil Diaz menuntaskan dengan sekejab pula. Dia menuliskan namanya, dan membubuhi tanda tangannya. Gambar inilah yang mempertemukannya kembali dengan bekas anak didiknya, Yoppie Latul. “Dulu, kaka suka pukul beta pake bambu. Sekarang beta jadi begini. Pance (Pondaag) juga sudah hebat di Jakarta. Katorang pi Jakarta saja kaka”, ungkap Yoppie Latul seolah merayu Emil Diaz untuk pindah base ke ibukota negara.
Tak cuma Yoppie Latul. Petinggi PDI Perjuangan, Theo Safei dan Agnita pun kepincut dengan talenta seni yang dimiliki Emil Diaz. Mereka terkagum melihat lukisannya, dan keterampilannya memainkan tuts keyboard, sembari melantunkan lagu-lagu blues. Theo Safei bahkan menawarkan rumah beserta fasilitas di Jakarta atau Bali. Tapi, Emil Diaz lebih memilih tinggal di Lewoleba, Lembata. Beberapa hari di Kupang dirasakan terlampau lama. “Mungkin saya maniak rumah, No…”, ujarnya, melukiskan kerinduannya akan rumahnya, waktu itu, di Kota Baru, Lewoleba.
Ayahanda Andmesh Kamaleng, Yes Kamaleng (almarhum) pun mengaku kagum pada sosok guru musiknya ini. “Kaka Emil, beta pung guru organ. Beta tahu main keyboard dari beliau, waktu kaka dorang main band di Kalabahi, Alor, saat Pak Danres pung anak nikah. Sambil tunggu kapal pulang Larantuka, kaka Emil ajar beta main keyboard”, ungkap Yes Kamaleng, dalam perbincangan di Room Café Hotel Sasando.
Yes Kamaleng mengaku kalau dirinya semula adalah seorang drummer. Tapi, berkat Emil Diaz, ia bisa muncul sebagai keyboardis. Bahkan, sampai dikontrak di Hotel Sasando, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Emil Diaz tak cuma mahir sebagai pemusik. Dia juga seorang perupa. Patung Santu Damian di RS Damian, Patung Paus Pius X di depan SMPK Santu Pius X, dan Patung Don Bosco adalah bukti karya agungnya. Juga, Salib Yubelium yang sempat diarak keliling Pulau Lembata, adalah bukti talenta seninya.
Tak habis disitu. Duplikat arca Tuan Ma di Larantuka, adalah mahakaryanya yang lain. Arca Tuan Ma buah tangan Emil Diaz sempat diarak keliling Kota Reinha Larantuka.
Dari semua patung yang dikerjakan, mana yang paling sulit dibuat? “Patung Damian. Karena gambar-gambarnya yang ada hanya dari samping. Tidak ada foto atau gambar wajah depan”, ujarnya, polos.
Bagaimana membayangkan untuk bisa mendapatkan gambaran wajahnya? “Perhatikan dagunya. Dan, cari foto-foto orang-orang yang satu asal dengan Santo Damian. Dari dagu torang bisa dapat gambaran wajah seseorang”, ungkap Emil Diaz, dalam sebuah perbincangan.
Sebelum ada tukang foto di Lembata, Emil Diaz adalah jalan keluar bagi keluarga yang kehilangan anggota keluarga. Butuh gambar wajah orang mati, maka Emil Diaz bisa melukiskannya secara cepat. Dalam bentuk sketsa wajah ataupun gambar utuh.
Menariknya, Emil Diaz baru bisa menuntaskan pekerjaannya jika terkejar waktu. “Jangan bilang masih lama, nanti tidak ada semangat. Kalau geroe (buru cepat-Red), itu cepat jadi tuh No”, ujarnya, suatu waktu.
Ah… Emil Diaz. Dua lengan dengan jemari membentuk love beserta tulisannya yang terbuat dari fiber adalah karya besarmu yang tertinggal. Engkau seniman segala jaman. Perkembangan teknologi bahan baku maupun peralatan sama sekali tak menjadi alasan bagimu untuk menciptakan karya seni. Entah, sudah berapa banyak lagu yang kau ciptakan sekalipun tidak menuliskan namamu.
“Yang penting itu, orang bisa menikmati karya seni kita, bukan orang kenal kita pung nama. Tata kalau menyanyi harus ada yang nonton, kalau terada ei terada semangat menyanyi le. Beda dengan tata Valens (Fernandez) yang bisa nyanyi sendiri dalam studio”, ungkapnya, saat ditanya kenapa tidak mau rekaman.
Emil Diaz pernah berangan untuk membangun patung besar di Pulau Siput Awololong. Dan, berharap pemerintah membangun titian dari darat menuju Pulau Siput Awololong. “Jika ini terlaksana, entah kapan waktunya, maka maha karya itu akan menjadi daya tarik terhebat untuk Kabupaten Lembata yang terkenal kaya potensi wisata ini”, ungkap Emil Diaz seperti dikutip Pos Kupang, 2 September 2015 silam.
Kini, Emil Diaz sudah berpulang. Selamat menjumpai sahabat lamamu yang juga sudah berpulang. Doakan kami yang masih berziarah di dunia ini. Doakan, kaka perempuan dan ade-ade di rumah. Kak Emil… Selamat Jalan Seniman Multy Talent. Ya, selamat jalan seniman sejati. (fredy wahon)
Ada afiknya pak emil. Tinggal d bekasi om wim diaz