Oleh: Marianus K. Haukilo
Ketua DPD GMNI NTT
Dalam sepekan terakhir beredar melalui media massa, media daring dan media sosial sebuah video amatir, jenazah yang divonis positif Covid-19 “diambil paksa” oleh pihak keluarga dari rumah sakit. Peristiwa ini terjadi di salah satu rumah sakit swasta di Kota Kupang, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kejadian seperti ini bukan baru pertama kali, dan mungkin saja terjadi di beberapa rumah sakit atau puskesmas di kabupaten lain di NTT.
Saling beradu pendapat dan saling tarik menarik antara keluarga dan Satgas Covid menjadi tontonan bak orang sedang tarik tambang. Suasana duka seketika berubah jadi hiruk-pikuk. Satgas Covid-19 dengan APD lengkap, menghendaki agar pemakamanan jenazah dilakukan sesuai Protokol Covid. Sedangkan pihak keluarga bersikeras ingin menguburkan orang dekatnya yang meninggal itu di tempat pemakaman umum.
Berbagai spekulasi dan hipotesis bermunculan. Mulai dari dugaan kesalahan alat tes hingga dugaan rumah sakit “meng-COVID-kan” pasien yang sakit. Setiap orang secara leluasa berasumsi menurut kehendaknya.
Obrolan-obrolan ini tidak hanya selesai di warung-warung kopi atau emperan kios, tapi diekspresikan melalui akun-akun media sosial dan grup facebok. Kondisi makin riuh karena setiap orang bebas menanggapi dengan beragam komentar. Pada akhirnya nformasi yang benar serasa jauh panggang dari api.
Edukasi kepada Masyarakat
Beragam respon dari masyarakat bukan tanpa sebab. Pro dan kontra yang mengemuka melalui laman media sosial menandakan publik belum ada kesepahaman dan belum menemukan referensi yang jelas dan terukur yang mampu mengikat masyarakat secara kolektif.
Setiap orang mendefenisikan kebenaran sesuai versinya masing-masing tanpa ada pedoman pembanding untuk menjernihkan sekaligus menambah wawasan publik terkait Covid-19 dan penanganan yang benar. Ditambah lagi fenomena “diskresi effek” membuat warga semakin berani mangambil jenazah pasien Covid-19 dari rumah sakit demi keadilan perlakuan antara pejabat Negara dan warga biasa.
Globalisme yang menandakan suatu kemajuan zaman, menyisihkan pula segudang permasalahan yang terkait didalamnya dan fenomena ini sering berjalan beriringan. Selain sisi positif yang dinikmati sebagai bonus dari kemajuan, pil pahit dalam wujud residu negatif tak dapat dihindari. Kondisi ini mau tak mau, suka maupun tidak suka sudah menjadi keniscayaan yang akan dilalui oleh setiap bangsa di era kemajuan teknologi dan komunikasi digital sekarang ini.
Salah satu dampak yang dirasakan hingga saat ini adalah fenomena post -truth. Menurut Oxford Dictionaries, ‘post-truth’ diartikan sebagai istilah atau iklim yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif.
Kebenaran yang merupakan keseimbangan antara pikiran dan keadaan yang nyata menjadi jauh dari defenisinya yang hakiki. Artikulasi kebenaran menjadi terdistorsi tergantung kekuatan opini dan wacana publik yang berkembang dan dominan di masyarakat. Apabila satu tesis diyakini oleh mayoritas sebagai kebenaran, hal itu dengan sendirinya diamini sebagai kebenaran walau jauh dari fakta yang sesungguhnya terjadi. Inilah situasi global yang dihadapi bersama.
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir setahun lebih ini membutuhkan kesatuan kolektif agar bersama menghadapinya. Informasi terkait pandemi yang simpang-siur menjadi salah satu persoalan utama yang dihadapi bangsa ini. Tak jarang berita-berita hoaks tentang pasien Covid, pemakaman jenazah hingga proses vaksinasi bersilewaran melalui media-media yang tidak terpercaya dan ini menjadi konsumsi publik.
Masyarakat yang mengalami keterbelakangan sumber daya pengetahuan menjadikan informasi-informasi hoaks menjadi referensi sehingga timbul rasa antipati terhadap Covid-19 dan kecenderungan menjalani protokol kesehatan bukan karena kewajiban namun takut teguran atau sanksi oleh petugas. Seluruh perangkat mesti dikerahkan untuk mencerahkan masyarakat. Perlu upaya gotong royong tidak hanya dalam penanganan Covid-19 tetapi mengedukasi publik dengan informasi yang benar sehingga muncul kepekaan dari hati, bukan paksaan.
Pendekatan Kemanusiaan
Penanganan pasien covid-19 terutama yang telah meninggal harus mementingkan aspek kemanusiaan dari penegakan aturan. Karena seketat apapun aturan yang dibuat, tujuan utamanya adalah demi keadilan dan keselamatan umat manusia. Kejadian “pengambilan paksa” jenasah dari rumah sakit seperti dilansir media Kompas (21/7/2021) menunjukkan rasa kemanusiaan seperti terpental jauh dari praktek.
Dipandang dari segi iman dan ajaran agama yang menjunjung tinggi moral dan etika, setiap orang yang telah meninggal dunia diyakini hanya perpisahan secara fisik dari dunia tetapi jiwanya akan hidup kekal. Oleh karenanya, penanganan pasien Covid-19 yang tidak humanis, bahkan terjadi upaya paksa dan saling tarik antara keluarga dan Satgas Covid-19 tidak saja melukai keluarga yang berduka tetapi juga jenazah yang sudah meninggal.
Kemenkes telah mengeluarkan aturan terbaru tertanggal 12 Juli 2021 mengenai penanganan pasien positif Covid-19. Aturan itu semestinya disosialiasikan hingga menyentuh masyarakat kelas bawah. Tidak bisa hanya himbauan dari balik meja. Kerahkan seluruh perangkat kesehatan yang dimiliki. Sehingga penegakan aturan selayaknya dilakukan dengan komunikasi yang persuasif dan kesepahaman antara kedua belah pihak (Satgas dan keluarga pasien Covid-19) agar ketika aturan ditegakkan nurani kemanusiaan tidak dilukai. Semoga.(*)