Oleh : Robert Bala
Pemerhati Sosial. Tinggal di Jakarta.
Penulis buku: INSPIRASI HIDUP (Pengalaman Sederhana Sarat Makna). Segera Terbit di Kanisius Jogyakarta
Kematian Eliaser Yentji Sunur sudah akan segera diterima (meski berat). Bagi yang terlampau bersandar pada perannya, tentu merasa sangat kehilangan. Dan harus diakui, banyak masyarakat Lembata yang merasakan ‘tangan dinginnya’ mengubah wajah Lembata, tentu masih akan berduka untuk beberapa saat ke depan.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana peta politik Lembata ke depannya? Apakah ada perubahan yang besar antara ada dan tidak adanya Yentji?
Berubah?
Harus diakui, entah di terima atau tidak, sampai sebelum wafatnya, bisa dipastikan bahwa masa depan pempin Lembata ke depan ada di tangannya. Harus diakui, kepiawaian, kelincahan, hingga kecerdikan (termasuk kelihaian dan kelicikannya) adapa pada Yentji.
Lebih lagi dengan posisinya sebagai Ketua Golkar Lembata. Jelas ia pasti harus memastikan bahwa orang yang menggantikannya adalah orang Golkar. Dengan demikian, Yentji juga bisa tetap ‘aman’ tidak mudah digoyang. Ataupun kalau digoyang, ia bisa ‘menangkis’ sama seperti yang ia lakukan selama 10 tahun terakhir di Lembata.
Dalam skenario ini, bukan berlebihan kalau Yohanes de Rosari, alias Hoat, sangat diuntungkan. Bisa dipastikan, dengan ‘jamahan’ Yentji, Hoat akan melenggang ke Lembata 1.
Tetapi kematian pada 17 Juli sore itu mengagetkan. Siapapun tidak menyangka. Apalagi sakitnya si bupati ‘fenomenal’ itu juga seakan begitu dirahasiakan. Ketika sudah parah (permintaan donor plama covid dari puterinya) dan akhirnya wafat, semua orang baru tahu secara jelasnya. Memang itulah Yentji. Ia memiliki daya untuk mengontrol informasi. Bawahannya tahu kalau informasi itu bocor. Tentu ia akan kejar sampai ke manapun.
Pada konteks ini maka wafatnya Yentji ini tentu masih membuka kemungkinan bagi Hoat untuk laju ke Lembata 1 tetapi bisa dipastikan bahwa jalan itu tidak semulus selagi masih ada Yentji. Golkar yang berjaya sebagai partai pemerintah kini harus berusaha menyesuaikan diri lagi dengan Thomas selama 10 bulan ke depan dan setelahnya pun jalan terjal bakal dilewati.
Peluang bagi Thomas Ola
Peluang kini sebenarnya terbuka bagi Thomas Ola Langoday. Doktor ekonomi ini dengan segala kerendahan hati dan ketulusan seorang guru, lebih memilih berada di belakang layar. Malah dalam dua tahun terakhir, terlihat Thomas sepertinya sendirian. Pimpinan OPD misalnya akan lebih dekat dengan bupati ketimbang wakil. Kunjungan Thomas ke kampung-kampung kerap sepertinya pergi sendirian tanpa ditemani. Bukan kebetulan. Semua komando ada di tagan pimpinan.
Tetapi dengan bekal intelektualitas yang dimiliki, Thomas merupakan seorang pengamat jitu. Dengan berbekal kesederhanaan, ketulusan, dan kejujuran apa adanya, Thomas mengetahui apa yang harus dilakukan. Memang selama menjadi wakil ia ‘tahu diri’. Ada yang dilihat dan dirasakan tetapi tidak bisa dilakukan karena wewenang yang terbatas. Kini semua ada padanya. Bukan tak mungkin selama 10 bulan, Thomas akan mengadakan perubahan radikal, hal mana memberikannya kredit poin yang tidak sedikit untuk maju di pilkada berikutnya.
Tetapi perubahan ini tentu tidak mudah ketika berhadapan dengan pejabat birokrasi yang selama 9 tahun masa Yentji sudah dibentuk ‘sedemikian rupa’. Pada sisi lain, birokrat merupakan orang yang makan ‘asam-garam’ dalam politik dan lincah serta lihai dalam meramu sesuatu. Untuk hal ini, bisa saja orang yang bakal ‘digeser’ menerima tetapi sambil menyusun strategi demi ‘muncul’ lagi pada kepemimpinan berikutnya.
Tetapi itu mestinya tidak perlu ditakuti Thomas. Berbekal kejujuran dan ketulusan dan keberanian membenahi apa yang harus dilakukan akan memberikan nilai tambah yang besar. Bisa disebutkan bahwa gebrakan dalam 10 bulan ini akan menyejajarkan Thomas dengan Piter Manuk yang selama jangak waktu yang sama menjadi penjabat bupati. Keduanya, baik ‘trailer film’ akan menjadikan waktu yang singat ini sebagai momen untuk hunjuk identitas guna terpilih menjadi bupati.
Pada saat bersamaan, keberadaan Thomas tentu membuat peta parpol berubah. Nasdem yang terlampau cepat mendepak Thomas bisa saja menyesal. Mereka tidak menyangka perubahan itu akan terjadi seperti sekarang ini. Mereka terlalu melihat bahwa menjadi politisi harus ‘lincah’ (dengan sedikit licik dan nakal), tidaks seperti Thomas yang sebagai guru lebih mengandalkan ketulusan dan keikhlasan. Kini Nasdem seakan gigit jari. Kenyataan yang sama dihadapi Golkar yang tentu juga merasakan kehilangan Yentji bak ‘separuh jiwa hilang’. Ia tentu berpikir apakah masih tetap pada skenario sediakala ataukah harus berubah haluan?
Yang sedikit beruntung barangkali Demokrat. 10 bulan bisa menjadi momen yang menentukan agar mereka kian mengakar ke desa-desa. Hal itu bisa saja sejalan dengan perubahan di tingkat nasional. Tetapi juga tantangan yang tidak mudah. Mereka akan berhadapan dengan PDIP yang masih cukup kuat mengakar. Lebih lagi, bulan madu bersama Thomas hanya 10 bulan dan setelahnya harus ‘berusaha’ selama 2 tahun sesudahnya. Pilihan menjadikan kepempimpinan 10 bulan menjadi sangat berarti akan menjadi modal politik bagi Thomas dan Demokrat.
Terbuka Lebar
Wafatnya Yentji Sunur sesungguhnya membuka peluang bagi siapapun untuk menjadi pemimpin di Lembata. Peluang itu bakal terbuka termasuk bagi politisi lansia seperti Herman Loli Wutun, Piter Manuk, dan Sulaeman Hamzah. Herman Loli yang paling berumur dari semua calon, tentu akan mengkalkulasi ulang kekuatannya. Memang sekarang eranya pemimpin ‘lansia’, tetapi hal itu tida bisa menjadi ukuran. Tetapi kekalahan duakali bisa menjadi takaran apakah mau maju kembali atau mencukupkan diri dengan dua kali mencoba. Tetapi dari sisi gudang ide, kelihatan Herman masih sangat mungkin untuk maju, asalkan tim sukses harusnya selevel dengan Herman dalam hal ketulusan. Dalam kenyataan, harapan seperti ini nampaknya susah terbukti. Banyak pragmatisan yang mencari panggung dengan menjual Herman sementara mereka berusaha merancang apa yang bakal diperoleh. Hal inilah jadi pelajaran dalam dua kali pilkada.
Sinun Piter Manuk juga memiliki peluang. Keadirannya sebagai Penjabat bupati saat itu cukup menarik perhatian. Piter terkenal lincah dan gesit. Ia bisa cepat akrab dengan masyarakat dan lincah dalam komunikasi politik. Namun sejak pensiun dua tahun lalu, Piter kelihatan lebih memilih ‘diam’. Apakah itu berarti ia tengah menyusun strategi ataukah diam karena ia tahu bawha terlalu cepat melangkah ataukah ada ‘ganjalan’ yang bis yang menjadi ‘peluru’ bagi Yentji saat itu? Yang pasti, kini Piter punya peluang untuk maju terutama setelah melihat Hoat sebagai ‘anak emas’ tidak secerah bila masih ada Yentji.
Sulaeman Hamzah, politisi Nadem dari Papua, merupakan figur yang tidak banyak diperdebatkan. Tetapi dari sisi kualitas pribadi, Sulaeman bisa disebut orang yang sangat tepat. Pengalaman politik di Papua sangat mumpuni. Dari sisi agama, kalau Yentji wafat sebagai muslim, maka mestinya tidak ada masyalah bagi Sulaemen. Malah dari sisi karakter dan pembawaan, bisa disebut bahwa meski sebagai muslim, Sulaeman (yang meski muslim), mungkin saja lebih ‘katolik’ daripada banyak orang Katolik. Kesediaan dan kemurahan hati membantu siapapun juga menjadi keunggulan Sulaeman yang tentu tidak bsia dimiliki oleh calon lain.
Figur muda yang sebenarnya cukup energik adalah Paulus Doni Ruing. Kecerdasannya sebenarnya sangat potensial. Sayangnya, PDR belum pernah maju dalam perhelatan resmi. Sebelumnya hanya sebagai calon, tetapi itupun tidak lolos di KPUD. Apakah PDR tengah menyiapkan strategi? Tentu hanya ia yang tahu. Tetapi wawasan, strategi, dan kelincahan PDR dalam loby politik nasional menjadikan PDR menjadi figur yang mestinya diperhitungkan.
Figur calon pemimpin ke depan mestinya lebih dari nama-nama yang disebutkan. Ada segudang calon pemipin muda potensial yang masih bisa dicari dan ditemukan dalam 3 tahun ke depan. Perubahan konstelasi politik kini (pasca kematian Yentji) misalnya merupakan ‘blessing in diguise’ (berkat di balik malapetaka). Ia jadi momen agar bisa ‘mengelus’ calon pemimpin ke depannya. Darinya, peran pemikir dan cendekiawan Lembata sangat penting. Organisasi, diskusi yang inklusif, tanpa membuat group tertutup dengan tujuan ‘sampingan’ merupakan harapan yang sangat besar.
Memang ‘no free lunch’. Tidak ada makan siang gratis. Pada kondisi seperti ini tidak mudah membedakan gandum dan ilalang. Keduanya akan hadir bersama tinggal rakyat meneliti rekam jejak. Bila politisi yang berkoar-koar tetapi setiap kali pilkada dan pileg ‘pulang kampung’ mengadu nasib, maka sesungguhnya mereka tidak jauh lebih baik dari semua yang mencari kekuasaan. Tetapi dia antara para pencari kekuasana tentu saja ada yang baik yang bisa dilirik.
Kesempatan inilah yang sedang dibuka. Jelasnya, pilkda 2022 atau 2024 akan menjadi ajang duel terbuka. Di sana kelompok lama, lansia, akan berusaha ‘semir’ rambut jadi hitam bisa menyaingi energitas kaum muda. Pengalaman makan asam-garam akan jadi kekuatan. Tetapi kaum muda pun akan berlomba menampilkan kebijaksanaan yang bisa saja mencuri perhatian. Kita punya waktu untuk tidak saja membaca peta politik tetapi juga menghasilkan pemimpin yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. (*)