Bahkan setelah apa yang terjadi di kota Zoi,
hingga meninggalkan tempat itu, aku masih tetap mencintaimu.
Setelah berjalan menelusuri hutan yang gelap. Setelah membiarkan segala kenangan mati diinjak. Bekas-bekas langkah tertinggal sepanjang jalan. Mata ku terpejam, panjatkan madah dan harap, agar segala yang terjadi tetap berharga. Dan, yang akan terjadi sesuai rencana. Zoi kan selalu membayangi langkah. Kalupi kan menerangi setiap tapak.
Sudah sepekan kami tinggal di tempat ini. Kalupi, sebuah kota yang disebut kota kematian. Kota seluas ini hanya dihuni oleh kami. Bertujuh saja. Pandangan benar-benar telah tertutup oleh tembok menjulang kota Zoi. Jika mengintip sedikit dari tembok maka yang kita temui hanyalah tanah tandus yang sama sekali kering. Bagaimana tidak? Limbah pabrik dibuang ke sebuah kolam yang mampu mencemarkan udara, air dan tanah sekaligus. Namun kau tak akan menduga betapa indah Kalupi setelah engkau berjalan hingga tak lagi melihat Zoi.
“Jim… berkemaslah. Kita akan pergi berburu pagi ini”
Suara Frank memanggilku, melempar sebilah tombak. Aku bangkit berdiri, meregangkan otot, menarik napas sedalam-dalamnya dan menghembuskan dengan perlahan.
“Ayo, kita berangkat!”
***
Hutan yang tidak dijamah selama kurang lebih 20 tahun ini menyimpan banyak sekali persediaan makanan, mulai dari yang paling buas sampai yang paling lugu.
Suara ranting patah merangsang telingaku. Aku menoleh mendapati seekor rusa yang sedang memakan rumput. Aku berjalan mendekat, bersembunyi di balik pohon, mengukur jarak, mengambil siaga dan hop!! Lemparanku mengenai paha kanannya. Tembus bagian sebelah. Aku segera mendekat, dan dengan sekejap menebas kepalanya dengan sebilah parang.
“Lemparanmu luar biasa. Aku pikir satu ekor ini cukup untuk makan malam hingga esok pagi kita.”
“Kau benar. Ayo kita segera pulang.”
Semua senjata yang kami gunakan dibuat oleh Frank. Kalupi, kota kematian 20 tahun lalu pun merupakan ladang serta tempat tinggal para warga sebelum wabah menyerang. Kami menggali di beberapa tempat dan menemukan besi yang sangat cukup untuk membuat senjata berburu. Perburuan akan terjadi dengan jadwal bergilir, jika hari ini aku bersama Frank, maka besok yang bertugas ialah Dino dan Tekla, dua pemuda yang murni melakukan kejahatan di kota Zoi. Mereka mencuri sejumlah uang untuk membeli sebuah Gedung dan menjalankan bisnis dengan modal bermimpi hendak menjadi kaya.
Ayah sudah tidak kuat lagi untuk berburu. Oleh karena itu, setiap harinya ayah bersama ibu dan Yuni akan bertugas merawat tumbuhan herbal yang mampu menjaga tubuh kami dari serangan virus mematikan.
Calya, tumbuhan herbal itu dinamai ibu. Dan kami pun menyebutnya calya yang berarti cahaya. Merawatnya tidak begitu sulit, ia termasuk kelompok kaktus. Tumbuhan ini memiliki batang yang menyimpan air, daunnya kecil dan berduri. Batang yang mengandung air inilah yang kemudian digunakan ibu dan ayah untuk menyembuhkan kami. Khasiatnya luar biasa. Namun tumbuhan ini mulai langkah sehingga dirawat dengan baik oleh kami. Menanti cabang baru kemudian di tanam lagi.
***
Malam yang cukup dingin. Api membara menghangatkan tubuh kami. Kami melingkari api sambil menikmati hasil buruan dan beberapa cerita ayah yang menghibur. Sebagai yang tertua Ayah memiliki segudang ceritera dibalik pahit manis hidupnya.
Bintang berhamburan seperti permata. Air yang mengalir dan menetes dari sebuah air terjun kecil dekat tempat kami berada begitu teduh. Damai sekali kota Kalupi. Entah bagaimana kedamaian di tempat ini dulu, jauh dari jamahan teknologi Zoi. Kutatap Yuni di celah-celah api yang membara, parasnya secantik bintang, senyumnya seteduh bunyi tetes air, dan tatapannya lebih hangat dari api yang menyala di hadapanku, menghangatkan hingga ke kerapuhan jiwaku.
Hunian ini begitu damai. Tidak ada malam yang mencekam dengan mimpi yang mencengkram harap. Ayah, Ibu dan Yuni yang membicarakan mimpi kami untuk menyelamatkan Zoi dari bualan-bualan kepemimpinan. Frank menikmati malam dengan dengan mengasah besi-besi tua, sedangkan Dino dan Tekla menikmati malam dengan mengumbar masa jaya mereka ketika sempat menjadi orang kaya sebelum akhirnya kisah pencurian mereka terkuak.
Kalupi. Kota ini pernah Jaya. Menyimpan kedamaian. Meneduhkan segala luka penduduknya, mulai dari alam yang menjanjikan hingga perkembangan zaman yang meliteraturkan bangsa, seperti terdapat bekas gedung perpustakaan dan beberapa buku yang tertinggal dan gedung-gedung sekolah.
Aku menikmati malam dengan membayangkan keagungan Kalupi dulu dan kelak.
***
Sinar matahari menorobos dedaunan pohon yang tinggi menjulang, membangunkan kami dari kantuk yang lelap. Kami berjemur santai, menikmati sisa daging sebelum kemudian berburu lagi.
Paras wajah Yuni sungguh membuat jiwaku berhamburan. Seluruh tatapku kan menyatu pada tujuh mata yang melirik; Yuni. Telah kusembunyikan rapat-rapat segala kagum sekaligus jerit-jerit cemburu tatkala ia bergurau bersama Frank atau Dino dan Tekla. Telah kusematkan dia menjadi yang utama, tak apalah tak menyelamatkan warga kota Zoi yang terlanjur dibodohi, yang penting aku bisa bersamamu. Sedalam apapun kusembunyikan perasaaan itu, tak mampu kusembunyikan dari ibu. Ibu menyadari arti tatapku pada Yuni.
“Nak, kau sudah besar sekarang. Buatlah keputusan dalam hidupmu. Apapun itu. Setialah pada keputusanmu dan jangan sekali-sekali kau menyesalinya”, kata ibu sambil mendekatiku.
“Berapa lama lagi, waktu untuk menetralkan limbah pabrik yang meracuni separuh kota Kalupi?” Tanyaku mencoba mengalihkan sekaligus menyiasati kapan aku akan menyatakan semuanya pada Yuni.
“Hingga saat ini, telah cukup untuk menetralkan virus dari limbah tersebut, tetapi perlu tambahan lagi untuk benar-benar membuat imun seluruh warga kebal terhadapnya. Zoi memiliki aturan yang jelas dengan penduduk hunian yang tidak lebih dari 80.000jiwa. Jika sebatang calya mampu menyelamatkan 10 orang maka dibutuhkan lebih dari 800 tumbuhan calya. Nak, kita telah mencapai target”.
Aku bergirang senang, “ Lantas apa yang kita tunggu?”
“Kita perlu menunggu sepuluh hari kedepan untuk merawat kondisi calya agar kandungan air dalam batangnya benar-benar dapat digunakan.”
Aku tersenyum lebar, sepuluh hari lagi, setelah semuanya selesai, aku akan menyatakan cintaku. Kuangkat tombak. Berdiri dengan tegak dan mengajak Dino dan Tekla untuk mulai berburu. Bukan jadwalku untuk berburu, tetapi aku terlalu senang dan ingin perjamuan malam yang nikmat.
***
Kami melesat cepat menuju ke arah sumber suara setelah beberapa kali memastikan ada suara seseorang di pinggir hutan seperti tempat ayah, ibu dan yang lainnya menemukan aku dan Yuni. Dari kejauhan aku melihat dua pemuda dengan peralatan khas seorang yang dibuang dari kota Zoi. Aku sama sekali tidak mengenali wajah mereka di kota Zoi.
Mereka terkejut ketakutan melihat kami. Penampilan kami kumuh dan sepertinya menakutkan bagi mereka.
“Kesalahan apa yang kalian lakukan di kota Zoi ?” tanyaku langsung, setelah memastikan peralatan bagi pembuangan lepas dari kota Zoi.
“Kami mencuri sebuah toko perhiasan, kami ingin membantu ayah yang sulit menafkahi kehidupan kami, kalian siapa?”
“Kami pun seperti kalian, kami dibuang dari kota itu. Aku Jim, ini Tekla dan ini Dino”
“Aku Kun dan ini Nai”
“Selamat datang di Kalupi saudara, tempat kau akan menelukan segala rahasia Zoi” Sambut Dino dengan tangan terbuka merangkul mereka.
Kami ke hunian sambil berceritra tentang keadaan Zoi hingga pada kesalahan yang telah mereka lakukan. Aku memikul seekor rusa hasil buruan kami, sementara Dino dan Tekla menghibur mereka dengan hal-hal menarik yang ada di Kalupi. Mereka menyadari bahwa pengusiran mereka hanyalah agar mengurangi populasi yang meningkat.
Peraturan semakin diperketat, mereka yang lahir dengan keadaan tidak normal akan dibunuh. Kematian mereka dianggap sebagai pengorbanan paling mulia. Kehidupan mereka adalah untuk kehidupan para warga di kota Zoi. Kejam memang. Mendengar itu napasku memburu, darah menderuh, aku ingin menghancurkan kejayaan Zoi oleh tangan kotor Dr. Kim, Pak Hen dan yang lainnya.
***
Kami mulai saling mengenal satu sama lain, Nai dan Kun adalah kakak beradik yang terpaksa mencuri untuk membantu ayah mereka. Begitu cerita yang aku tahu dari mereka. Ayah mereka menderita kanker otak dengan biaya operasi yang sangat mahal, sehari sebelum mereka dibuang, ayah mereka tewas bunuh diri menyadari bahwa ia pun tak akan lagi menemui anaknya dan meyakini bahwa anaknya akan mati juga di luar sana. Ini sudah hari kedelapan mereka bersama kami. Mereka sudah mengetahui semua tentang calya dan rencana kami untuk meruntuhkan Zoi. Sebagai seorang perempuan, Nai bergabung bersama dengan Yuni, Ibu dan Ayah untuk menjaga dan merawat calya, sedangkan Kun akan ikut berburu bersama kami.
Beberapa malam terakhir setelah makan dan kami menikmati kehangatan unggun, aku melihat Kun dan Nai yang sedang berdebat, entah apa itu, tetapi aku mendengar mereka mengucapkan calya. Malam ini setelah menikmati santapan malam, aku mendapati lagi hal yang serupa, kali ini bukan lagi calya tetapi aku juga mendengar mereka menyebut nama Yuni. Ahh, sudahi pikiran tak penting ini. Ini hari kedelapan dan sebentar lagi misi akan kami jalankan. Bathinku menghardik keingintahuanku perihal apa yang mereka perdebatkan.
Aku menikmati malam dengan membayangkan halaman rumah dengan ayah dan ibu, dekapan hangat Yuni yang membungkus tubuh, langkah anak-anak yang berlari-larian tanpa ada lagi tembok menjulang dengan barisan tentara. Indah sekali, semua imajiku melebur dalam mimpi yang begitu sempurna hingga aku tak lagi menyadarkan diri. Aku tidur dengan pulas malam ini.
***
Langit cerah menyapa. Hari ini Kun akan berburu bersama Tekla. Aku, Dino dan Frank akan membantu membawa air dari mata air yang ada di belakang hunian untuk menyiram calya dan sebagai kebutuhan kami.
Terik matahari semakin menyegat. Kami terkejut, Kun pulang dengan badan penuh bercak darah.
“Tolong, kami diserang beruang hutan, Tekla melindungiku dan dia dibabat habis, sebelum aku pun diserang ia menyuruhku lari menyelamatkan kami.”
Kami semua terkejut. Dino yang mendengar itu langsung mengambil panah, melempar tombak padaku dan Frank, berlari menyusuri hutan. Ayah dan Ibu yang seketika panik pun berlari mengejar hendak mencegah kami. Kun meminta Yuni untuk tetap di rumah merawatnya. Dino berlari dengan pipi bermandi air mata, sahabatnya telah diserang.
Sepuluh menit kami berlari, tidak juga mendengar suara amukan beruang ataupun bunyi yang menandakan telah terjadi sesuatu di tengah hutan. Kami berhenti sesaat, mencari jejak hingga Frank melihat bercak darah di dedaunan.
“Hei, kemarilah ini jejak darah Kun”, teriak Frank memanggil.
Kami mengikutinya hingga akhirnya menemukan jenazah Tekla. Kepalanya dipenggal, sayatan pada lehernya masih mengeluarkan darah yang segar. Ini bukan serangan beruang, ini pembunuhan. Kun membunuh Tekla.
“Ini bukan serangan, ini sayatan bukan bekas cakar ataupun gigitan beruang. Kun membunuh Tekla”, ucap ayah setelah melihatnya.
Dino yang sedang bersiaga menyusuri pandangan pada sekitar mencari beruang tersebut terkejut. Napasnya memburu, lebih cepat, mukanya merah menandakan ia sedang sangat marah.
“Kun, aku akan membunuhmu”. Dino berlari kembali mengejar Kun yang telah membohongi kami. Aku tak percaya, Kun melakukan ini hingga aku menyadari perdebatan mereka malam kemarin. Calya, Yuni. Mereka merencanakan ini.
Aku segera berlari mengikuti Dino. Ayah, Ibu dan Frank menggotong jenazah Tekla. Aku tiba di hunian, tak ku lihat Kun dan Nai, sementara Dino terus mencari sambil mencaci Kun. Aku segera ke ladang, benar dugaanku, beberapa calya telah dicabut. Sial, menyadarinya aku segera mencari Yuni.
“Yuni…, Yuni… di mana kau?” Aku berteriak sekuatku. Namun tak juga ada suara sahutan dari Yuni. Yuni tidak ada. Tidak, dia tak boleh mati.
Aku berlari menyusuri hutan sembari memanggil Yuni. Namun nihil. Usahaku sia-sia. Aku tak menemukannya. Aku kembali ke hunian dengan tangisan. Ibu memelukku dengan tangisan yang membekas pada belah pipinya.
“Kun dan Nai merencanakan ini Nak”. Ibu berbisik sambil memegang sebuah kertas yang berisikan pesan dari Kun. Pesan itu adalah tawaran Kun dan Nai untuk menukarkan Calya dengan Yuni.
Aku meredahkan tangisan. Dino begitu bersedih atas kematian sahabatnya. Ayah dan Ibu pun begitu. Keputusan bagaimana yang harus kami ambil? Seketika itu aku teringat ucapan Ibu. “Nak, kau sudah besar sekarang. Buatlah keputusan dalam hidupmu. Apapun itu, setialah pada keputusanmu dan jangan sekali-sekali kau menyesalinya.”
Aku mencintai Yuni dan tak mau kehilangan dia. Namun Calya adalah cara terbaik untuk meruntuhkan Zoi. Tak ada siasat. Calya dapat ditanam kembali. Penyelamatan kota Zoi akan ditunda. Hidup Yuni hanya sekali, kami akan memberi calya untuk Yuni.
“Tak ada petunjuk di mana dan kapan pertukaran itu terjadi”, ujar Frank setelah membaca pesan tersebut.
“Kita siapkan saja calya, Kun pasti akan datang untuk menukarkannya. Entah apa yang ia inginkan dari tumbuhan ini”, kata Ayah sebagai keputusan kami semua.
***
Malam itu, kobaran api tak mampu mengeringkan tangisan kami. Dingin udara tak menyejukkan debaran dada kami. Kami berduka dengan amarah membara. Selamat jalan saudara kami Tekla.
***
Calya telah kami panen dengan jumlah yang cukup banyak di hari kedua setelah Kun dan Nai menjalankan rencana mereka. Tak ada perburuan. Tak ada tawa beruntung hingga hari ini mulai tak ada lagi air mata.
“Apakah kita hanya dibodohi oleh Kun?” tanya Dino yang terengah-engah letih bekerja.
“Kun melakukan semua ini untuk mendapatkan calya. Dia sangat terobsesi pada tumbuhan ini. Dia pasti datang kembali untuk calya.”
Ayah benar, Kun dan Nai pasti akan datang lagi untuk calya.
Suara derap langkah terdengar begitu cepat. Mendekat. Ada yang datang dengan langkah yang setengah berlari. Menyadarinya, aku, ayah dan Dino segera berlari keluar.
“Yuni !” Aku berlari menghampiri dan memeluknya. Yuni datang bersama Nai. Nai saja, dimana Kun?
Dino dengan napas memburu menodong tombak pada leher Nai. Amarah jelas terlihat pada tatapnya yang tajam.
“Kalian membunuh Tekla. Kalian merencanakan ini. Di mana Kun?” Bentak Dino dengan nada tinggi yang membuat Frank dan Ibu pun lekas bergegas menghampiri kami.
“Kun telah mati. Maafkan kami. Kun benar-benar terobsesi pada harta, ia berencana menjual calya pada Pak Hen oleh karena khasiat tumbuhan itu yang sangat mujarab.”
“Bodoh, kalian tidak tahu alasan aku dan suamiku dibuang. Kami dibuang karena menemukan cara untuk membunuh virus mematikan akibat limbah pabrik itu, agar kepemimpinana mereka abadi. Mereka tak akan segan-segan menyingkirkan semua hal yang mengganggu mereka.” Marah Ibu setelah mendengar cerita Nai. Ibu mendorongnya hingga terjatuh.
“Aku minta maaf. Aku diminta oleh Kun untuk memantau dari pinggir hutan sambil menjaga Yuni untuk sewaktu-waktu akan kami gunakan untuk menukarnya dengan calya. Aku mengetahui otak busuk Kun, ia berencana menjualnya sendiri, dan akan pergi bersama uang yang ia dapat, namun kami terkejut melihat ia ditembak oleh ketua pasukan keamanan.”
Nai tak kuasa menahan tangis. Air mata tumpah membasahi pipinya. Hati kami luluh. Yuni memeluknya, membantu dia berdiri kembali. Tatapan Dino penuh belas kasih, tak lagi memegang tombak. Kali ini ia pun membantu Nai untuk bangkit berdiri.
“Ahh tidak! Terbongkar semua, mereka telah mengetahui keberadaan kita. Mereka tahu rahasianya. Kita harus meninggalkan tempat ini.” Keluh ayah penuh sesal dan membuat keputusan: sebuah pelarian.
Tidak ada pilihan lain, bersembunyi di tempat ini seperti halnya menjemput kematian. Kami berkemas, membawa calya semampu tenaga kami, membawa tombak dan parang, catatan-catatan ibu, serta membawa janji. Suatu hari nanti, seluruh kejahatan di kota Zoi akan kami akhiri.
THE END