Aksinews.id/Lewoleba – Sudah hampir satu minggu pasca rangkaian bencana di 16 Kabupaten/ Kota di NTT, pemerintah masih belum menetapkan status darurat bencana nasional. WALHI NTT menilai bahwa dengan respon tanggap darurat belum cukup untuk menangani bencana yang terjadi di NTT. Melihat kondisi di lapangan, persyaratan penetapan status darurat bencana nasional sesuai amanat UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, sudah dapat ditetapkan sebagai Bencana Nasional.
“Kami sangat menyayangkan pernyataan yang dikeluarkan Kepala BNPB Doni Monardo dalam konferensi persnya bahwa bencana yang terjadi di NTT statusnya belum bisa ditetapkan sebagai bencana nasional karena aktivitas pemerintahan di daerah belum lumpuh. Pernyataan ini menguburkan fakta bahwa pemerintah daerah sebenarnya gagap dalam hal penanggulangan bencana”, tandas Koordinator Desk Kebencanaan WALHI NTT, Dominikus Karangora dalam press realisenya yang diterima aksinews.id, (Kamis 8/4/2021).
“Hal ini terlihat dari koordinasi antar lembaga baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi yang buruk dan lamban. Sampai saat ini, baru ada 2 kabupaten yang sudah menetapkan status darurat bencana dari 16 kabupaten/kota terdampak, yaitu Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Lembata. Sementara pemerintah provinsi sendiri seperti masih acuh dalam mengambil sikap pada proses penanggulangan bencana ini saat ini”, tandasnya.
Tidak adanya sikap tegas dari pemerintah provinsi dalam menetapkan status bencana, kata dia, menunjukan bahwa pemerintah provinsi pun gagap dalam hal penanggulangan bencana. “Jika pemerintah kabupaten dan provinsi gagap maka pemerintah pusat wajib bertanggungjawab sebab sumber daya pemerintah pusat sangat mempuni untuk proses penanggulangan bencana dan rekonstruksi pasca bencana”, ungkap Dominikus Karangora.
Secara regulasi, menurut dia, sudah seharusnya pemerintah pusat mengambil alih penanggulangan bencana. “Sebab situasi di NTT sudah memenuhi indikator penetapan status bencana nasional yang diatur dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.”
“Kita berharap bahwa jumlah korban tidak menjadi alasan dalam penetapan bencana nasional bahwa angka jumlah korban harus tinggi seperti penetapan bencana nasional sebelumnya. Dalam konteks bencana yang terjadi di NTT, indikator ini sangat tidak relevan. Alasannya adalah pertama, pembaharuan data korban di lapangan sulit ketahui karena akses komunikasi terputus dan banyak wilayah yang hingga saat ini masih terisolir. Kedua, evakuasi sulit dilakukan karena akses transportasi banyak juga yang terputus. Apalagi melihat kondisi geografis NTT sebagai provinsi kepulauan”, tandasnya.
Indikator ini juga tidak memiliki standar yang ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden sebagaimana yang dituangkan dalam pasal 7 ayat 3 UU Penanggulangan Bencana, seperti berapa jumlah korban, berapa luasan wilayah terdampak, berapa kerugian harta benda hingga bagaimana dampak sosial ekonomi yang terjadi. Tidak adanya standar atas indikator dalam Peraturan Presiden maka pemerintah tidak punya alasan untuk tidak menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional.
“WALHI NTT mencatat sebaran bencana yang terjadi di NTT mencapai 73% dari total 22 Kabupaten/Kota. Artinya, hampir sebagian besar wilayah NTT terdampak, namun sampai saat ini masih ada kabupaten yang sulit dijangkau untuk penyaluran bantuan contohnya kabupaten Malaka, Sabu Raijua dan Rote Ndao”, papar dia.
Bencana ini juga telah banyak merusak rumah warga hingga sarana prasarana seperti rumah sakit, rumah ibadah, sekolah, jembatan, jalan dan bendungan hingga situs adat. “Kerugian seperti ini akan sulit ditanggulangi oleh pemerintah daerah mengingat kemampuan keuangan daerah yang sangat terbatas”, ungkap Dominikus Karangora.
Selain itu, rusaknya wilayah kelola rakyat yang berdampak pada ketahanan pangan. Di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah dan Malaka, ratusan hektar sawah masyarakat terendam banjir dan ternak hanyut terbawa banjir. Banjir bandang yang terjadi di Adonara dan Lembata merusak perkebunan milik masyarakat. Banjir Rob di Kabupaten Rote, Manggarai Barat, Sumba Timur yang merusak perahu milik nelayan membuat aktivitas nelayan terganggu.
Sementara di Kabupaten Kupang, bajir rob juga merusak tambak garam milik masyarakat. Masyarakat juga mulai mengeluhkan kesulitan terhadap air bersih untuk saat ini. Tidak sampai disitu, kelangkaan BBM hinggaa kenaikan harga bahan pangan dan barang-barang juga tengah terjadi. “Melihat situasi ini, WALHI NTT mendesak pemerintah untuk segera menetapkan status bencana nasional atas bencana yang terjadi di NTT demi pemenuhan Hak Masyarakat yang menyeluruh agar tidak menimbulkan dampak lanjutan yang buruk bagi masyarakat”, tutup Dominikus Karangora, Koordinator Desk Kebencanaan WALHI NTT.(fre)