Di sebuah tempat bernama bumi, dengan satu daratan yang dikelilingi lautan.
***
Barisan tentara berdiri tegak membentang sepanjang pos jaga sudut-sudut kota. Tembok lingkar menjulang, membatasi dua wilayah berbeda. Tidak, bukan lagi wilayah tetapi dua dunia yang berbeda. Seperti berada di langit, ini adalah surga dan di luar wilayah ini neraka, lebih untung langit masih ada, sebagai tempat penyucian, sedangkan di sini hanya dua ; Zoi dan Kalupi.
Aku lahir dengan keadaan normal. Jari kaki hingga ujung rambut lengkap tak kurang tak juga lebih. Zoi adalah kota kelahiranku. Dibesarkan, dididik dan juga ladang pekerjaanku. Hingga liang lahad pasti akan tetap berada di kota ini. Semua orang yang berada di tempat ini pun begitu. Luar kota Zoi disebut daerah Kalupi. Kota penuh dengan kematian. Di kota ini, seluruh umat manusia serta lingkungannya telah terinfeksi wabah mematikan. Sekali terkena kita akan merasa kesakitan dan mati dalam waktu yang singkat. Telah dua puluh tahun kota ini berdiri kokoh dan sepanjang usianya, wabah virus mematikan itu melanda seluruh negeri. Telah dua puluh tahun pula segala usaha dikerahkan untuk menemukan vaksin melawan virus tersebut. Namun sia-sia belaka.
Zoi, kota keselamatan. Mempunyai satu aturan yang wajib dipatuhi seluruh masyarakat. Dinding yang membentang mengelilingi kota adalah pembatas gerakmu, sekali keluar dan Anda tidak akan diperbolehkan masuk lagi. Kejam memang kedengarannya, namun aturan tersebut habitus, menyelamatkan kurang lebih 80.000 jiwa umat kota ini. Tidak pernah sekalipun ada yang mencoba keluar dari kota ini dengan sengaja. Namun selalu ada yang disengajakan keluar sebagai wadah percobaan vaksin yang dibuat oleh para ahli. Mereka yang dilepas bebaskan dari kota biasanya adalah para tahanan, kelompok penjahat yang telah melakukan pelanggaran hukum.
Pernah sekali seorang yang kukenali dilepaskan sebagai uji coba vaksin. Frank, namanya. Dia seorang ahli besi yang dituduh telah mencuri besi dari perusahaan medis. Satunya-satunya perusahaan medis dengan otonom penuh. Bebas menentukan siapa yang harus menjadi tumbal percobaan riset mereka. Frank pergi dengan peralatan medis serta kamera pemantau yang terus memantau keadaanya di luar. Dua minggu setelah kepergian Frank, perusahan mengumumkan kematiannya. Setelah kematiannya diumumkan, seluruh tim medis kembali bekerja melakukan riset-riset untuk kemudian mencoba. Lagi dan lagi.
Aku tidak begitu tahu seperti apa sistem serta mekanisme tim medis bekerja, bagaimana mereka melakukan riset, ledakan-ledakan kecil percobaan, apa yang terjadi ketika beberapa senyawa digabungkan atau bagaimana pun itu, aku tidak pernah tahu. Bahkan aku tidak ingin mencari tahu. Lagi pula di sini aku hanya seorang cleaning service, membersihkan yang kotor, merapikan yang berantakan, menerima gaji bulanan dan hidup sesuai gaji yang kuterima setiap bulan. Seadanya memang, tapi cukup membahagiakan buatku seorang. Sendirian tanpa siapapun lagi.
***
Siang menjamu kulit dengan teriknya mentari yang bersinar lebih terang dari segala penerang yang pernah ku temui, lampu stadion atau balon-balon lampu laboratorium yang sering aku lihat.
“Ahh, siang ini panas sekali” keluh Yuni, perempuan yang selalu menjadi tempat setiap lirikku menuju. Dia adalah salah satu pekerja di perusahaan ini. Bukan seorang ahli tetapi ia memiliki kedudukan dalam perusahaan yang cukup baik. Kami telah berteman sejak kecil. Entah apa aku baginya, tetapi bagiku, ia adalah telaga tandus jiwaku sebagai anak yatim.
“Kau benar, ayolah kita pergi membeli minuman yang segar, seperti biasa kau yang membayar, hhehehe.”
“Ya sudah, ayo ke kantin.”
Dingin jus menyerbu membasahi dinding-dinding gerah. Segar sekali rasanya. Di kota ini cukup perjalananku saja yang dibatasi dinding kota. Jangan pandanganku pada Yuni, untuk lamunanku bersamanya yang tiada henti. Aku tak sanggup lagi bertahan bila hal itu pun dibatasi.
“Jim, aku ingin menceritakan sesuatu, berjanjilah kau akan merahasiakan ini.”
Suara Yuni berat, ingin menyembunyikan setiap kalimatnya dalam kecil lubang telingaku saja.
“Ceritakanlah”
“Ini tentang Frank, semuanya telah direncanakan, Jim. Tentang pencurian besi-besi itu, semuanya telah direncanakan oleh Pak Hen dan Kepala Ahli Tim Medis Dr. Kim.”
“Apa maksudmu?” aku sedikit terkejut dengan raut tak mengerti. Menatap Yuni dengan heran.
“Kasus itu direncanakan. Kau tahu bahwa laboratorium kita hanya dapat dibuka oleh sidik jari mereka berdua saja. Aku melihat Pak Hen yang tengah asyik mengobrol bersama Frank di cafe malam sebelum ia ditangkap. Esok paginya, aku juga melihat Dr. Kim yang menaikan beberapa tiang besi dari kantor, saat itu aku pulang terlambat Jim, aku melihatnya tanpa disadari oleh Dr. Kim. Lagi pula, kita sama-sama mengenal Frank. Dia tidak mungkin mencuri. Frank adalah orang yang sangat ingin hidup dengan damai ; sendiri dan bebas masalah.”
“Sejujurnya aku juga setuju denganmu. Aku menyadari kejanggalan ini. Tuduhan kepada Frank adalah sesuatu yang amat ganjil. Tapi Yuni, akan sangat berbahaya jika kau mengungkit hal ini. Mereka pasti akan mengincarmu. Kau, bisa jadi korban selanjutnya setelah Frank.” Rasa kuatir menyergapku. Aku takut Yuni mengalami hal yang sama dengan Frank. Jadi obyek uji coba.
Dengan tegas aku melarang Yuni untuk tidak lagi membicarakan hal ini pada siapapun.
Jam istirahat siang telah selesai, kami pun kembali ke kantor dan mulai bekerja lagi.
***
Sebatang rokok ku tarik sedalam mungkin, kepulan asap mengudara, bermekaran indah kemudian hilang. Malam ini cukup dingin. Aku masih duduk santai menikmati segelas kopi. Satu rahasia kecil yang aku ketahui dari Dr. Kim tentang keluargaku ialah bahwa orang tuaku dulu adalah bagian dari ahli medis yang kemudian ditangkap karena mencoba mencuri beberapa alat medis untuk menjualnya. Kedua orang tuaku dilepaskan dari Zoi tanpa pengaman apapun, bahkan telah dinyatakan tewas setelah dua jam mereka dilepaskan. Dr. Kim selalu mengingatkanku agar memulai hariku dengan baik dan mengakhirinya juga tanpa masalah.
Orangtuaku meninggal ketika aku berusia tiga bulan, sejak itu aku dirawat oleh pihak pemerintah dengan status anak yatim. Fasilitas yang kami terima cukup untuk kehidupan kami sendiri, pendidikan yang kami terima tak lebih dari bangku sekolah menengah pertama, alhasil kami pun berakhir pada pekerjaan sederhana dengan gaji seadanya. Kebanyakan pria yatim di kota Zoi tidak menikah, kecuali mereka menemukan cinta dengan wanita yang memiliki penghasilan baik.
Malam makin gelap, dingin makin menyengat, kasur dan selimut pun menjadi sandaran lepas penat.
***
Sesungguhnya yang lebih lihai mencuri adalah berkas-berkas sinar surya, Mampu mencuri indah mimpimu melalui celah-celah jendela. Hari sudah pagi, mimpiku berhamburan kemana-mana, hilang dan tak lagi membekas dalam ingat. Aku pergi bekerja seperti biasa. Baru saja aku tiba di gerbang, Yuni datang dengan uraian air mata berhamburan, memelukku, erat sekali.
“Jim, aku tertangkap”
Seluruh isi dadaku bergemuruh hebat, sesak rasanya. Telapakku terbuka lebar mengelus kepala Yuni, menyandarkan kepalanya pada bidang dadaku. Berakhir sudahkah kebersamaan kami?
Setelah mengakses daftar hadir, suara Pak Hen terdengar menyampaikan sebuah pengumuman melalui pengeras suara di tiap-tiap ruangan. Nama Yuni dan aku dipanggil untuk menemui beliau di ruangannya. “Aku pun korban kah?” Dadaku bergemuruh. Resahku melaju. Ketakutan menghantui, “ahh, lagi pula aku seorang diri di sini, siapa juga yang akan bersedih?”
***
Ruang Pak Hen cukup luas. Sebagai pemimpin, tentu beliau memiliki fasilitas yang super mewah bagiku. Duduk di sebelahku Yuni dengan mata sembab karena air mata yang terus berderai. Pendingin ruangan berfungsi dengan baik tapi aku merasa gerah.
“Yuni kau tahu kan tentang jebakan Frank?” Pak Hen membuka percakapan dengan tatapan serius.
“CCTV merekam jelas tingkahmu yang berpura-pura bersembunyi untuk menyaksikan semuanya, kau tahu keistimewahanku? Aku tidak saja mengontrol tingkah kalian di kantor ini, tetapi aku juga mengontrol riwayat hidup kalian di kota ini. Kota Zoi mutlak hanya mampu menampung 80.000 jiwa. Itu artinya jika ada yang dilahirkan maka harus ada yang dimatikan.” tegas Pak Kim menjelaskan.
Yuni terdiam mencerna perkataan Pak Hen, entah apa yang dia pikirkan. Aku pun begitu, tetapi seluruh isi kepalaku penuh cacian kepada orang ini.
“Kalian berdua akan dibebaskan satu jam ke depan. Tenang saja kalian akan diberi alat pelindung diri, setidaknya untuk beberapa hari ke depan kalian masih bisa merekam kisah hidup yang menyedihkan itu”.
Tangis Yuni pecah, Dadaku bergemuruh semakin cepat. Aku menanyakan kesalahanku dengan nada tinggi pada Pak Kim.
“Hei Jim, kau ditangkap karena mendengar cerita Yuni. Sejak penangkapan Frank dia telah diawasi agar membuka peluang yang lain pun terjebak karena mengetahiu hal tersebut darinya.”
Mendengar itu, tangis Yuni semakin keras. Ia dipenuhi rasa ketakutan dan penyesalan. Ia menggenggam tanganku dengan erat. Penuh makna genggaman ini, permohonan maaf sekaligus permohonan agar tak melepaskan genggamannya.
“Sialan kau ! Keparat!” sontak aku membentaknya. Aku akan dibebaskan ke alam liar, tak peduli, ini terakhir kalinya di sini. Aku tak sudi menghormatinya.
“Hei Jim, ini terakhir kali kau di kota ini. Kalian akan ditahan di sini hingga sejam ke depan akan dibebaskan. Biar ku beri tahu kalian sebuah fakta kota ini, khususnya kau, Jim. Akan kubuka juga fakta tentang orangtua mu.”
Mendengar orang tuaku disebut, telinga ku berdiri.
“Kota ini adalah kota harapan penuh kesejahteraan dengan sistem kehidupan jumlah penduduk yang stabil. Ketersediaan sumber makanan seimbang dengan jumlah penduduk yang ada. Virus yang tersebar di Kalupi memang benar adanya, kamilah yang menciptakan virus tersebut.”
Aku dan Yuni sontak terkejut. Aku semakin geram.
“Keadaan bumi akan semakin parah bila jumlah penduduk yang terus meningkat tidak sebanding dengan kapasitas alam yang menunjang kehidupan. Sebuah revolusi benar-benar terjadi, virus tersebut sangat berbahaya, setengah umat penduduk meninggal karena terinfeksi virus tersebut, dan tak ada yang mampu menemukan vaksin untuk mengatasinya hingga kami yang belum terinfeksi pun membangun kota ini. Lihatlah betapa sejahtera hidup kita di sini. Atas dasar kenyamanan ini, kami pun sengaja melakukan percobaan membuat vaksin yang sebenarnya sangat mustahil itu, kemudian menjadikan orang bersalah untuk menjadi wadah percobaan yang sia-sia. Awalnya memang mereka yang benar-benar salah yang akan digunakan sebagai bentuk hukuman karena melakukan pelanggaran, namun penduduk pun memiliki ketakutan hingga tak ada lagi yang membuat kesalahan. Keseimbangan antar penduduk dan kapasitas alam harus tetap terjaga. Aku, Dr. Kim dan beberapa anak buah ku pun mulai menjalankan sistem jebakan untuk mengurangi jumlah penduduk di kota ini. Kami berhasil sampai sejauh ini, mereka yang dibebaskan adalah bentuk cinta paling ikhlas yang pernah ada, pengorbanan untuk kehidupan baru. Inilah kesejahteraan yang hakiki.”
“Kau berbohong! Tanganmu dipenuhi darah, jiwamu bermadikan keserakahan, mengalir deras sekali mengotori kota ini. Kau pembunuh!” Aku sungguh tak menyangka berani mencela Pak Hen dengan begitu kasar.
“Aahhh aku hampir lupa segelintir rahasia paling menarik yang ada. Perihal orang tuamu Jim, mereka sangat cerdas. Merekalah satu-satunya yang mampu menciptakan vaksin untuk membasmi virus tersebut, mereka pun mengetahui tentang kesengajaan kami untuk menciptakan virus tersebut. Ahhh hahaha, kami sungguh kewalahan waktu itu, mereka ditangkap atas tuduhan mencuri alat medis, kemudian dibebaskan dan tentu saja berakhir seperti yang lainnya.”
Pak Hen bercerita dengan pebuh kebanggaan, bak memenangkan undian terbesar yang pernah ada.
“Bajingan kau Hen! Kau tidak layak hidup!” Aku meludahinya dengan penuh amarah, seraya menyumpahinya dalam dada.
Wajah Pak Hen merah menyala, tidak terima wajahnya diludahi. Ia keluar membanting pintu didikuti beberapa anak buahnya yang masuk membawa borgol dan menutup mulut kami dengan semacam masker yang akan mengalirkan sengatan listrik bila kami berteriak. Kami dibawa ke sebuah ruangan untuk memasang alat pelindung diri kami.
Yuni di sebelahku tak berbicara sedikitpun, isak tangisnya masih terdengar resah namun tak ada lagi butiran air mata yang berlomba keluar dari kelopaknya.
Zoi, kota kelahiranku, kota penuh harapan. Pada tubuhmu pijakanku, sesungguhnya setiap langkah telah kutanamkan harap, agar tetaplah engkau jaya, kuat menopang tubuhku. Pada segala cuaca. Hujan penuh rahmat ataupun badai prahara, sesungguhnya aku sangat percaya bahwa tiada satupun yang mampu meyurutkan harap selamat mu.
Zoi kotaku, kota penuh harap. Hari ini cuaca cerah, burung-burung masih asyik berkicauan, segar dedaunan serta indah bunga bermekaran jelas sekali, tetapi hari ini harapmu tumpul tak lagi setajam dulu.
Waktunya tiba, kami diantar Pak Hen dan Dr. Kim serta beberapa tantara ke gerbang utama. Aku tidak peduli lagi pada hidupku, lebih baik mati daripada hidup di tempat penuh kemunafikan ini.
“Semoga kalian berhasil” Ucap Pak Hen sebagai tanda perpisahan. Seketika gerbang tertutup rapat. Hari ini aku dibebaskan, berdua bersama Yuni, telaga tandus jiwaku.
***
Kurang lebih telah 30 menit kami berjalan tanpa arah dan tanpa suara. Setelah tiga puluh menit berjalan kami menemukan sebuah hutan dengan pohon yang berukuran besar. Aku mengajak Yuni beristirahat, barangkali ia lelah hingga tak bersuara. Yuni mengangguk tanda menyetujui.
“Yun, sudahi sedihmu. Kota itu dipenuhi orang-orang munafik. Kota itu tidak layak bagi orang tulus sepertimu.”
Seketika tangis Yuni pecah dan kian kencang.
“Jim maafkan aku. Karena aku, kau pun terseret dalam permasalahan ini. Aku sungguh merasa malu dan bersalah padamu.”
Aku tak lagi berkata, takut kalau tangisnya semakin keras. Kurangkul Yuni dalam dekapku, telinganya ku rapatkan pada dadaku agar ia mendengar segala isi hatiku. Mendengar bahwa riuh jantungku tak letih berdegup kencang untuknya.
Hari telah seutuhnya malam, kayu kering di sekitar kami gunakan untuk membuat api agar suhu tubuh kami tetap hangat. Tubuh kami terhempas pada kerasnya tanah dan akar besar yang seolah menjelma bantal.
Beristirahatlah,semoga besok kau belum mati. Lirihku sendiri dalam hati.
***
Langit cerah, embun dedaunan menetes, ada pula yang menguap membentuk pola-pola asap halus yang mengudara. Sepertinya Yuni tidur dengan tidak begitu nyenyak. Wajahnya pucat dengan garis hitam tipis di bawah kedua matanya.
Hari telah baru lagi, tetapi semangat kami tak jua bermekaran baru, justru layu karena arah yang tak tentu. Sejujurnya, pembebasan dari Zoi ini adalah berkah bagiku. Aku akan menikmati akhir hidupku bersama wanita yang aku cintai.
Wajah Yuni memerah, tersipu malu ucapanku.
“Jim, kemana kita akan pergi?” tanya Yuni di tengah lamunanku.
“Kemana pun kau melangkah, aku akan bersamamu, sebab kau adalah tujuan akhirku”
“Ayolah Jim, apakah tidak pernah terlintas olehmu bahwa ada kehidupan lain di Kota Kalupi? Zoi memiliki sistem yang sangat tertutup sehingga tentu mereka tidak memastikan kehidpan lain di sini.”
Namus seketika aku ingat ucapan Pak Hen tentang orangtuaku yang behasil menemukan vaksin virus tersebut. Apakah mereka juga menyimpan vaksin tersebut dan dapat bertahan di kota ini? Aku yakin sekali bahwa kedua orangtua ku masih hidup.
“Kau benar Yun, barangkali ada kehidupan di sini. Ayo kita menjelajahi tempat ini lebih ke dalam menjauhi pandangan kita dari Zoi.”
Yuni tertegun mendengar ucapanku. Candanya diterima oleh akalku sebagai sebuah kenyataan. Ia mengangguk tanpa tahu harus melakukan apa. Kami pun pergi.
Setengah hari perjalanan tanpa beristirahat dan aku rasanya mau pingsan saja. Kakiku sudah tak kuat menopang berat tubuhku. Zoi telah sepenuhnya tenggelam dibalik tegak batang-batang pohon di tempat ini. Aku berbalik hendak mengajak Yuni beristirahat, dan tiba-tiba saja Prakkk, Yuni terjatuh dan pingsan. Bunyi hempasan tubuhnya yang terjatuh berpantulan sehingga terdengar seperti ledakan yang bersahutan, membuat beberapa hewan berlari ketakutan. Untunglah pada saku-saku peralatan pelindung diri ini telah tersedia beberapa obat serta pil makanan yang kemungkinan hanya akan bertahan selama dua sampai tiga hari saja. Aku pun mengobati Yuni dengan obat tersebut sembari memakan pil dan mengistirahatkan kaki. Ahh, aku lelah. Kelopak mataku rasanya semakin berat, aku pun tertidur.
Aku terkejut sadar Ketika mendengar teriakan seseorang. Ku buka mata lebar-lebar mendapati Yuni yang masih pulas tertidur. Lalu siapa? Ku pasang telinga ku, ada teriakan lagi. Lalu diam, beberapa saat diam. Suara derap langkah mendekat, bunyi dedaunan gugur yang hancur terinjak mengisyaratkan ada yang datang. Semakin dekat. Ápakah aku bermimpi? Dekat sekali, dari mana ini? Depanku kah? Kupasang kuping dengan penuh fokus. Samping kiri, aku menoleh dan sosok seorang yang tegap keluar di balik besarnya pohon.
“Frank, itu kah engkau?” wajahnya tak asing bagiku, itu Frank!
“Jim. Jim kawanku. Jadi engkau kah korban setelah aku.”
Frank berlari mendekat dan memelukku, sambal matanya memperhatikan Yuni yang masih belum siuman. Tak lama kemudian bunyi derap langkah terdengar lagi. Sepetinya bukan serorang saja. Frank tersenyum melihat ekspresiku yang menunjukan bahwa aku sedang bingung dan resah. Nampak empat tubuh muncul, tiga orang pria dewasa dan seorang wanita.
“Mereka pun korban yang berhasil selamat.” Bisik Frank padaku.
Aku terkejut dengan banyak sekali tanya dalam benak ku. Seorang wanita berlari dengan cepat ke arahku. Tubuhku kaku, beban tanya memberatkan segala titik sarafku.
“Jim, putraku” Ia memelukku. Dalam sekali pelukannya yang kemudian basah oleh tetes air matanya.
Seorang pria mendekat dan menepuk pundakku. “ Maafkan ayah dan ibumu nak.”
“Ibu.” Aku memeluknya. Membiarkan seluruh riuh resah dan rindu mengalir pada setiap sentuhan aku.
“Ayah.” Di Pundak ayah, seluruh air mataku tumpah. Seluruh beban batinku meredam. Betapa kuat pundakmu tuk menahan segala ini.
“Aku telah mengetahui semuanya. Perihal murni tekadmu dan keji laku mereka. Zoi tidak menjadi yang terdamai, kota itu bermandikan keserakahan.”
“Jim, aku dan ibu mu diusir dari tempat itu karena berhasil membuat vaksin untuk melawan wabah ini. Aku berhasil menyembunyikan sebuah vaksin ketika akan dibebaskan. Aku dan ibu mu berbagi, meskipun tidak sesuai dengan dosis yang seharusnya, imun tubuh kami mampu bertahan untuk waktu yang cukup lama. Kami terus berupaya membuat peneletian menggunakan beberapa tumbuhan herbal di sekitar sini dan berhasil menemukan sebuah tumbuhan yang memiliki senyawa yang mirip sekali dengan vaksin yang kami buat. Zoi telah bermandikan keserakahan, marilah kita sirami kota itu dengan cinta, agar luntur segala egoh dan mekar harap sejahtera untuk semua warga. Kita akan mengobati semua korban yang akan dibebaskan dari zoi. Kumpulkan dan kemudian suatu waktu kita pergi dan buktikan kebenarannya. Ini tak akan lama lagi.”
Aku memeluk ayah tanpa sedikit berkomentar. Betapa tulus hati ayah dan ibu, pada kokoh tekad mereka segala harap merimbun. Kami pun pergi ke tempat tinggal mereka di hutan. Pergi dengan tekad penuh untuk menyelamatkan Zoi. Suatu hari nanti, Kalupi bukanlah tempat kematian, orang-orang akan mengenal Kalupi sebagai kota penyelamat, menyelamatkan Zoi; kota keselamatan. Suatu hari nanti.(*)
THE END
Bung mewarisi bakat menulis bapa-emanya….dan menemukan gayanya sendiri… Teruslah berkreasi. Menanti karya karya selanjutnya….
Sangat bagus dan menarik sahabat,, semangat berkarya 🥳