Aksinews.id/Larantuka – Enam orang guru pengawas sekolah di Kabupaten Flores Timur harus berjuang keras agar hak-hak mereka dibayarkan. Masih belum ada satupun pihak yang menyatakan bertanggungjawab atas nasib mereka. Padahal, mereka mengantongi Surat Keputusan Bupati Flores Timur, Antonius Gege Hadjon, ST. Jika permintaan mereka tetap tidak dipenuhi, mereka bakal menempuh langkah hukum menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Larantuka.
Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Flores Timur Nomor: BKPSDM.821.05/386/PMP/2020, enam guru –Yohanes Enga Badin, S.Pd, Yosefina Elisabet Jawa Kolin, S.Pd, Dominika Dai Hali, S.Pd, .SD, Yohanes Libur Wahon, S.Pd, Kornelis Pehan Goran, S.Pd.SD, dan Philipus Pajon Sukun, A.Ma.Pd – diangkat menjadi pengawas sekolah pendidikan dasar (Dikdas) pada Dinas Pendidikan dan Kepemudaan Kabupaten Flores Timur pada tanggal 9 Juli 2020. Setelah enam bulan menjalankan tugas, hak-hak mereka terkait tunjangan profesi guru tidak diperoleh.
Informasi yang dihimpun wartawan bahwa Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang menjadi data dan acuan sertifikasi guru invalid. Pasalnya, syarat menjadi pengawas sekolah dasar, batas usia maksimal 55 tahun. Dengan demikian, identitas mereka sebagai pengawas tidak masuk dalam Dapodik.
Hal itu dibenarkan oleh Yosep Enga Badin, S.Pd, ketika ditemui, Minggu (21/2/2021) di kantor PGRI di Larantuka. Ia mengisahkan bahwa semua jalur sudah ditempuh, baik ke Dinas PKO, ke DPRD Flores Timur, Wakil Bupati maupun Bupati. Namun, masih menemui kendala.
“Ketika kami diangkat jadi pengawas, rasa bangga dalam jenjang karier itu sangat besar terbersit dalam diri kami. Tapi ketika enam bulan kami bekerja, ternyata data kami dikatakan invalid. Kemudian kami harus diturunkan kembali menjadi guru dan tidak membayar hak kami. Itu yang paling kami sesali. Setelah kami menerima SK itu, kami mendekati Dinas PKO, tetapi kemudian kami divonis untuk kembali kepada guru dan tidak mendapat hak kami karena alasan tidak ada regulasi yang mengatur tentang hal itu,” ujar Enga, kesal.
Mereka langsung mendatangi pihak lain. Ya, “Kami ke wakil rakyat, ke DPRD, ke Wakil Bupati, juga ke Bupati tapi kami tidak sempat ketemu Bupati Flores Timur. Kemudian sampai pada tahapan forumnya Sekertaris Daerah, itu menghadirkan semua OPD yang ada. Kami sudah lakukan tapi sampai hari ini kami belum dapatkan hasil yang kami peroleh. Sertifikasi yang harus kami terima setara dengan gaji kami. Sehingga dihitung per triwulan kami terima dihitung Rp 12.000.000. Sehingga sampai 6 bulan kami terima rata-rata 24 juta”, ungkap Enga.
Enga menegaskan bahwa mereka bekerja sebagai pengawas sekolah berdasarkan SK Bupati Flotim. “Jadi kami bekerja di kabupaten ini, meskipun secara datanya di Dapodik tidak diakui di tingkat pusat, tetapi kami bekerja di kabupaten ini, maka harapan kami, pemerintah kabupaten Flores Timur harus membayar apa yang menjadi hak kami, karena kami telah bertugas sebagai pengawas”, tandasnya.
Yosefina Elisabet Jawa Kolin, S.Pd menuturkan bahwa rasa sakit hati mereka harus segera mungkin diobati. “Perasaan kami, khususnya kami sebagai pengawas perempuan, perasaan kami sangat disakiti. Kami sudah menjalankan tugas selama enam bulan tanpa melakukan kesalahan apapun. Kewajiban pemerintah untuk membayar hak kami 6 bulan itu” ungkap dia.
Dikatakan bahwa SK terbaru yang diterima menyatakan bahwa jabatan barunya sebagai guru. “Berarti pemerintah daerah mengakui bahwa kami pernah jadi pengawas. Perasaan kami sangat sakit. Tapi apa mau dikata, demi Dapodik kami selanjutnya sampai dengan kami pensiun maka kami menerima SK ini. Tapi untuk sementara kami belum menerima ini karena kami mau supaya sakit kami ini harus diobati dulu. Karena itu, kami minta pemerintah daerah Flores Timur untuk segera membayar hak kami enam bulan itu”, tegas Yosefina Elisabet Jawa Kolin.
Anggota Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Flores Timur, Muhidin Demon Sabon, SH mengingatkan bahwa Bupati Flotim sudah memberikan SK Pengawas kepada enam guru. “SK ini adalah harkat dan martabat pemerintah. Dengan demikian, enam bulam sertifikasi tidak dibayar, kami minta supaya pemerintah memberikan hak mereka”, harap dia.
Jika Pemkab Flotim tidak juga memenuhi permintaan para guru tersebut, maka LKBH PGRI Flotim akan menempuh langkah hukum. Ya, “Kalau memang toh, langkah-langkah ini juga tidak bisa dijalankan dengan baik, maka sebagai tim advokasi akan meminta langkah selanjutnya, barangkali tempat dimana lagi kami harus mengadu, kami mengadu di Majelis Pengadilan Larantuka untuk mengadukan gugatan secara material dan imaterial terhadap persoalan yang dihadapi oleh enam rekan kami ini”, ungkap Demon Sabon.
Ketua PGRI Flores Timur, Maksimus Masan Kian pun angkat bicara. “Jalan yang dipilih oleh enam pengawas itu tepat. Mereka adalah anggota kami, anggota PGRI Kabupaten Flores Timur resmi. Dan, mereka datang ke PGRI, rumah guru Flores Timur untuk menyampikan aspirasi mereka. Cerita yang kami tangkap adalah mereka dilantik jadi pengawas, tapi kemudian data mereka tidak masuk didalam karena ada regulasi yang tidak dipenuhi, dalam arti usia mereka yang melewati batas maksimal yang disarankan batas 55 tahun. Sehingga dari PGRI sebagai lembaga perjuangan. Bukan sebagai lembaga yang mengambil sebuah keputusan, kami akan menerima aspirasi ini berjuang dengan cara PGRI”, ujarnya.
“Tuntutan mereka adalah hak sertifikasi, kalau bisa dipenuhi. Memang kalau tidak didata di Dapodik maka sertifikasi itu mereka tidak terima. Maka, sertifikasi itu dikirim berdasarkan data di Dapodik. Tetapi sertifikasi itu bukan kesalahan mereka maka permintaan mereka, PGRI mendukung bahwa daerah kabupaten Flores Timur mesti memikirkan mereka. Caranya seperti apa, PGRI mendorong, mungkin pemerintah tahu itu”, tambah Maksimus Masan Kian.
Demi rasa keadilan, sambung dia, “Luka batin jika memungkinkan dalam perencanaan anggaran di daerah dimasukan dana untuk kompenisasi atau untuk membayar teman-teman anggota PGRI, enam pengawas yang telah dilantik tapi karena melanggar regulasi dan diturunkan jadi guru. Sehingga beban psikologi mereka diturunkan pelan-pelan. Mereka sudah sangat siap menerima jadi Guru. Tetapi secara kekeluargaan, secara Lamaholot, ini rasa mereka”. Wakil Ketua PGRI Flotim, Egidius Demon Lema menegaskan bahwa selaku PGRI, sakitnya para guru mantan pengawas menjadi sakitnya PGRI secara lembaga. “Atas keluhan mereka itu, PGRI sebagai satu organisasi, salah satu pilarnya adalah organisasi perjuangan atas apa yang dialami oleh keenam guru kami ini”, tandasnya.(Yurgo Purab)