(sebuah sisipan pada wisuda sarjana pendidikan dan pengajaran agama Katolik STP Reinha)
Oleh: Anselmus Atasoge
Sabtu, 6 Pebruari 2021, menjadi hari spesial bagi Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Waibalun Flores Timur. STP Reinha mewisuda angkatan VIII dan IX. Tulisan ini merupakan sebuah sisipan pada momen spesial itu.
Para wisudawan di bidang pendidikan dan pengajaran agama Katolik atau umum dikenal sebagai kateketik pastoral bukan sekedar kaum intelektual di bidang agama dan pastoral. Mereka adalah cendikiawan katekis atau guru agama Katolik yang cendikiawan yang seluruh diri dan karyanya merupakan perpaduan antara iman dan akal budi dalam seluruh praksis hidupnya.
Di tengah masyarakat yang diwarnai dengan perubahan paradigma (paradigma shift) terutama nian di tengah gempuran pandemi covid 19, mereka dipanggil untuk menghadirkan “wajah Allah”, menghadirkan “apa yang diimaninya” dengan berbekalkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu yang dimilikinya mesti membantunya untuk memahami apa yang diimaninya. Imannya bukan menjadi sebuah kepercayaan yang buta, melainkan ia selalu dan senantiasa ingin dan perlu mencoba memahami apa yang diimaninya, mencari wujud pengalamannya serta komit dalam perwujudannya. Sedapat mungkin implementasinya berwajah integratif-interkonektif berbasis keilmuan yang telah mereka tekuni di masa-masa perkualihannya.
Mereka semestinya bergerak dari pinggiran credo quia absurdum (aku percaya karena tidak masuk akal) menuju fides quaerens intellectum (iman mencari pengertian). Mereka berjuang untuk menghidupkan dan menjelaskan imannya dengan keintelektualannya dan dengan kecendikiaannya. Mereka tidak menggendong kepercayaannya secara buta untuk memasuki realitas Yang Ilahi dan realitas Yang Insani. Mereka tidak memandang imannya dan realitas sosialnya sebagai sesuatu yang kontradiktif, aneh, tak masuk akal. Perjuangan itu tidak semata bertumpu pada kapasitas intelek dan kecendikiaannya. Sambil berjuang, mereka mesti tetap terbuka terhadap potensi rahmat yang oleh Thomas Aquinas dipandang selalu memerlukan “kodrat”. Rahmat itulah yang menggerakan dan melengkapi serta mengangkat kapasitas intelek dan kecendikiaannya ke tingkat yang mulia. Kesadaran akan hal ini tidak membuat mereka berjalan dengan “kepala ke bawah” saja.
Sisi integratif-interkonektifnya akan muncul jika pada gilirannya mereka menghantar semua kapasitas intelek dan keimanannya untuk menerangi realitas sosial yang dijumpainya. Di titik ini, pasca wisuda, mereka tidak hanya ‘berumah di atas angin’ melainkan turun ke lapangan, membaca tanda-tanda zaman dalam realitas yang mereka jumpai, menganalisisnya dan meneranginya dengan keimanannya dalam kerja sama dengan rahmat Tuhan.
Momen bersejarah ini tidaklah menjadi sebuah negasi atas kecendikiawan mereka melainkan sebuah penegasan atas jati dirinya yang tidak sekedar berpuas diri atas kesarjanaan. Lebih dari itu, momen ini menjadi sebuah pemproklamiran pergerakan perubahan wajah: dari sekedar menyandang titel menuju penghidupan titel dalam praksis-praksis nyata, dari kerangka pikir mekanisitis-ekonomis-finansial menuju penggaraman wajah dunia dalam terang fides quaerens intellectum.
Sesungguhnya, wisuda sarjana itu menjadi momen ‘pengukuhan derajad keintelektualan’. Bukan akhir dari segalanya. Impian kemahasiswaan telah digapai. Impian kehidupan masih terbentang luas dengan sejuta tanda tanya. Namun, bentangan kehidupan yang amat luas akan diarungi dengan pasti. Ijazah sudah di tangan. Dia akan siap ‘digendong’ kapan dan di mana saja. Dia hanya sebuah lembar kertas tapi berisi ‘rangkuman’ dari seluruh perjuangan sebagai mahasiswa.
Saya akhiri sisipan ini dengan mengutip kata-kata yang tertulis dalam Kitab Keluaran (Kel 3:7-8): “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umatKu di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. Sebab itu, Aku telah turun untuk membebaskan mereka dari tangan orang Mesir dan menuntun mereka keluar dari negeri itu….” Sekiranya, momen bersejarah ini menjadi titian baru bagi para sarjana dan lembaga Sekolah Tinggi Pastoral Reinha untuk sanggup memperhatikan, mendengar dan mengetahui tanda-tanda zaman di tengah jeritan-jeritan ketidakpastian dalam genggaman paradigma shif dan godaan-godaan perubahan-perubahan yang menyertainya di tengah masa pandemi ini hingga sanggup turun dari tahta kesarjanaan dan menggapai keselamatan dalam praksis pembebasan dan penuntunan hidupnya, sesama dan alamnya dengan berbingkaikan insight-nya Bernard J.F.Lonergan: semakin banyak seorang tahu, semakin banyak pertanyaan yang muncul dan keterbukaan terhadap pertanyaan-pertanyaan mengarahkan dia ke tingkat kesadaran, keluasan dan kedalaman pengetahuan yang semakin lama terus memperluas horisonnya. Pada muara inilah, para wisudawan boleh ada dan memandang dunia sembari berlangkah dengan kepala tegak ke depan sembari tidak lupa untuk memandang ke langit dan menengoki bumi yang dipijak!(*)