Larantuka — Di pintu masuk pelabuhan Larantuka. Baik sebelah kiri dan kanan, akan anda jumpai ibu-ibu pedagang pisang. Wajah mereka tampak lelah.
Di antara perempuan-perempuan itu, ada yang berjilbab. Mereka tampak diam. Kadang tersenyum ketika dihampiri. Aksinews.id sempat beberapa kali ke pelabuhan dan mendapati mereka duduk sambil menjajakan barang.
“Ketika itu hujan, saya melihat mereka begitu sabar saat jualan,” celetuk rekan wartawan saat sambangi mereka di lokasi jualannya, Selasa (26/1/2021).
Kesabaran mereka menjajakan barang jualan dari pagi hingga sore hari, semata-mata untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Di bawah atap tenda terpal biru, Mama Lipat –sebut saja namanya begitu, sedang duduk sambil menjajakan barang dagangannya.
Saya pun meraba saku celana dan membeli pisang seharga Rp.10.000. Dalam nada silaturahmi bahasa Adonara, Mama Lipat malah menambahkan saya pisang meremi (dalam bahasa melayu Larantuka) atau pisang kapok satu sisir. Rasa syukur dan haru membuat kami duduk bercerita cukup lama.
Ketika diajak bicara, Mama Lipat mengatakan bahwa mereka tidak akan pulang kampung sebelum barang jualan mereka habis terjual.
Mama Lipat, pedagang asal Ritawolo, mengisahkan lebih jauh mengenai jualannya. Di pintu masuk pelabuhan ia menjajakan pisang. Namun, satu hal yang baru saya ketahui adalah ia terpaksa harus menyimpan barang jualannya di got.
Got tempat ia dan beberapa rekannya menyimpan barang dagangannya tersebut, persis di sebelah kanan pagar gedung perhubungan. Letaknya bersebelahan dengan pagar bangunan perhubungan dan pagar bangunan ATM. Di situ mereka menyimpan hasil jualan mereka.
Dua bangunan indah mematung megah tersebut, nyatanya menyimpan kilas balik hidup perempuan-perempuan pekerja keras tanpa lelah. Dua pagar terhimpit lumayan tinggi itulah, Mama Lipat bersama beberapa rekannya mengamankan barang mereka.
Disamping jualan mereka ada sebuah gedung yang usianya cukup uzur. Gedung itu bersebelahan dengan tempat jual tiket Pelni.
Mereka sempat meminta kepada staf yang ada disitu untuk menitipkan barang dagangannya. Bahkan, staf yang ada di situ antara lain Dami, pria asal Maumere menyetujui, dan menyuruh mereka berkemas dan melihat-lihat halaman dalam ruangan. Cukup luas. Setelah melihat situasi di dalam, Dami pun menyuruh mereka menitipkan barang didalam. Nyatanya, Selasa siang mereka kasih masuk barang dagangan mereka untuk diamankan, sore harinya malah barang jualan itu dikeluarkan. Barang mereka dikeluarkan oleh dua orang, sepasang suami isteri yang kebetulan tinggal situ.
Mama Lipat menceritakan keesokan harinya, hari Rabu juga mereka minta agar bisa mengamankan barang mereka di situ.
“Kami minta Pak Dami orang Maumere. Kami minta tempat untuk simpan barang mereka mau. Hari Selasa siang saya minta. Rabu juga saya minta. Selasa siang kasih masuk pisang, sore kasih keluar. Itu, ada satu mas Jawa yang kasih ke luar,” ujarnya, berkisah.
Ia menambahkan bahwa sekarang satu bale-bale tempat simpan barang miliknya yang awalnya disimpan disitu, masih ada di dalam bangunan. Bahkan, mereka sempat minta halaman kosong tersebut untuk amankan barang mereka sebanyak tiga kali. “Saya kasihan dengan pak Dami. Dia punya belas kasihan yang tinggi,” paparnya.
Mama Lipat kembali bercerita bahwa mereka pedagang pisang ada enam orang. Malam harinya mereka amankan barang mereka di got sebelah kanan samping pelabuhan. Ya, “Malam hari kami simpan disitu (di got-Red). Kami tinggal di kos. Kosnya ada di Pohon Siri. Tiap bulan kami bayar 50.000. Pulsa listrik juga kami bayar,” jelas Lita.
Kepada aksinews.id, Mama Lipat mengatakan bahwa ia rela bayar tempat asalkan barang dagangan mereka aman. “Kami minta (tempat-Red) biar satu bulan Kami bayar untuk titip barang,” tukas mama tiga anak tersebut. Mama Lipat berharap ada rasa nyaman saat berjualan. Dan, semoga mereka tetap jualan disini untuk memenuhi kebutuhan mereka. “Harapan kami, jualan di sini aman,” harapnya.(yup)