Oleh Anselmus D Atasoge
Koordinator Komunitas Studi Kreatif Lintas Iman Flores
Setelah resmi dilantik, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, langsung bekerja membatalkan sejumlah kebijakan kunci Donald Trump. Tentunya, Biden tidak serampangan mengambil kebijakan tersebut. Tiga bulan lamanya, Joe Biden dan staf kepresidenannya bekerja mengkaji dan melakukan analisis atas kebijakan pendahulunya. Tiga kebijakan dalam rangkaian kebijakan eksekutifnya di antaranya adalah membatalkan kebijakan Trump soal perubahan iklim, imigrasi, dan hubungan rasial.
Dalam kaitan dengan perubahan iklim, Biden membatalkan sejumlah perintah kontroversial pendahulunya dengan mengedepankan dua cara: Kembali bergabung dalam kesepakatan iklim Paris 2015 setelah Trump menarik AS dari kesepakatan tersebut tahun lalu dan membatalkan Jalur Pipa Keystone XL yang kontroversial. Pernah dikabarkan bahwa para pegiat lingkungan dan sejumlah penduduk asli Amerika telah memperjuangkan pembatalan jalur pipa itu selama lebih dari satu dekade. Sementara itu, dalam kaitan dengan imigrasi dan hubungan rasial, Presiden Biden telah berikrar untuk mencabut larangan Trump terhadap warga negara mayoritas Muslim untuk memasuki wilayah AS dan menghentikan pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.
Mendengar dan membaca kebijakan eksekutif Biden ini, saya teringat akan komitmennya sesaat setelah Paus Fransiskus (Jorge Mario Bergoglio) mengucapkan selamat dan memberikan berkatnya kepada presiden terpilih Amerika Serikat itu ketika Biden diumumkan memenangkan pemilihan presiden 2020. Kala itu, Biden mengatakan bahwa dirinya mengapresiasi kepemimpinan Paus dalam mempromosikan perdamaian, rekonsiliasi, dan ikatan bersama umat manusia di seluruh dunia (Republika.co.id, Jumat,13/11/2020). Atas dasar itu, Joe Biden menegaskan: “Kami akan bekerja sama atas dasar keyakinan akan martabat dan kesetaraan semua umat manusia dalam berbagai masalah seperti merawat orang-orang yang terpinggirkan dan yang miskin, mengatasi krisis perubahan iklim, serta menyambut dan mengintegrasikan imigran dan pengungsi ke komunitas kami.”
Biden melihat bahwa janji-janji kampanyenya sejalan dengan visi dan misi Paus Fransiskus. Seperti yang diketahui, sejak kepemimpinannya pada Maret 2013, Paus Fransiskus telah mencoba menjalin hubungan antara Gereja Katolik dengan agama lain, tetapi upaya itu bertentangan dengan kebijakan Presiden Donald Trump tentang imigrasi dan perubahan iklim.
Di Abu Dhabi, 4 Pebruari 2019, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb menanda-tangani sebuah dokumen yang dikenal dengan nama Human Fraternity (Persaudaraan Manusia), sebuah dokumen yang gagasan utamanya mengusung impian tentang perdamaian dunia dan hidup bersama di tengah dunia yang dicoraki dengan pelbagai perbedaan. Setahun kemudian, ketika pandemic covid 19 tengah menghantui semesta raya, 3 Oktober 2020, Paus Fransiskus menanda-tangani ensiklik Fratelli Tutti (Semua Bersaudara) di Kota Asisi. Impian Abu Dhabi terbaca pula dengan benderang dalam Fratelli Tutti. Dengan rumusan yang amat singkat bisa dikatakan bahwa misi utama Fratelli Tutti adalah mendorong keinginan akan persaudaraan dan persahabatan sosial dengan terciptanya satu keluarga umat manusia” di mana setiap manusia merupakan “saudara dan saudari dari semua manusia”.
Di tahun 2015, dalam konteks hari minggu migran dan perantau, Paus Fransiskus mengajak seluruh anggota Gereja untuk membangun “diri Gereja” sebagai “ibu” bagi semua manusia terkhusus bagi para migran dan perantau. Gereja tanpa batas, ibu untuk semua, menyebar ke seluruh dunia dengan budaya penerimaan dan solidaritas. Di dalamnya, tidak ada orang yang dipandang sebagai tidak berguna, tidak pada tempat atau merasa diri tak berarti. Ketika hidup berada dalam kasih seorang ibu, komunitas Kristiani memelihara, membimbing dan menuntun, menyertai semua orang dengan penuh kesabaran dan membawa orang lebih dekat dalam doa dan karya amal.Di titik ini, Gereja dengan tangan terbuka merangkul semua orang, tanpa membeda-bedakan dan tanpa batas, untuk menyatakan bahwa “Allah adalah cinta” (1 Yoh 4: 8, 16). Di titik ini, Paus Fransiskus mengajak umatNya untuk “welcoming Christ in refugess and forcibly displaced persons (Menyambut Kristus dalam diri para pengungsi dan orang yang diungsikan paksa)!”
Impian Bergoglio akan dunia yang lebih baik menyata dengan amat gamblang dalam ensikliknya Laudato Si’. Beliau menulis bahwa bumi adalah ibu yang indah dan saudari manusia, tempat di mana manusia “berada bersama”. Pada prinsipnya manusia adalah penjaga ibu dan saudarinya itu. Manusia berada bersama ibu dan saudarinya. Namun, yang sedang terjadi yaitu manusia sendiri sering merusakkannya. Pelbagai bentuk sikap dominatif terhadap alam telah merusakkan hubungan manusia dengan bumi. Kini, kerusakan itu menjadi amat serius. Paus yang sederhana ini menegaskan bahwa kejahatan terhadap alam adalah kejahatan terhadap diri manusia sendiri, dan hal ini sesungguhnya adalah dosa terhadap Tuhan sebagai Pencipta.
Sepanjang sejarahnya, Gereja memandang dirinya sebagai Gereja Yang Manusiawi yang terlahir karena keberaniannya membaca tanda-tanda zaman, setia dan membaharui dirinya (Ecclesia semper reformanda), terbuka kepada pemahaman etis baru tentang kehadirannya di dunia untuk memperjuangkan lima hal penting: martabat manusia sebagai citra allah, solidaritas, subsidiaritas, keberpihakan kepada yang lemah, kebaikan bersama. Kelimanya merupakan ungkapan dari perjumpaan di antara pesan Injil dan tuntutannya yang terangkum dalam perintah utama mengasihi Allah dan sesama dalam keadilan dengan masalah-masalah yang muncul dari kehidupan masyarakat.
Kini, impian-impian Paus Fransiskus bersama para pemimpin dunia lainnya akan diperpanjang dengan visi dan misi seorang Joe Biden bersama Kamala Harris. Masyarakat dunia berharap, Biden boleh menjadi salah seorang pemimpin besar yang berada di jalur inklusif dalam mewujudkan impian akan dunia yang humanis demi peradaban perdamaian. Komitmennya telah ditaburkan. Dunia menanti perwujudannya!(*)