Larantuka – Desa Bantala, Lewotala, adalah sebuah kampung yang kaya akan tradisi adat dan budaya. Sejarah Flores Timur mencatat begitu banyak hal tentang desa ini. Bahkan, sejak zaman Kerajaan Larantuka, zaman kolonial Belanda, dan Jepang. Lewotala berada dalam wilayah kecamatan Lewolema, yang dijuluki Lewo Kaka (kampung tertua) bagi kampong-kampung lain di wilayah kecamatan Lewolema.
Menyadari akan peran dan catatan sejarah Lewotala ini, maka kaum muda sekarang, mulai berupaya untuk mengangkat derajat Lewotala. Salah satu strategi yang dibangun adalah membentuk kelompok atau komunitas orang muda, yang mana komunitas ini dituntut untuk peka terhadap segala hal baik bagi kemajuan kampung halamannya. Laskar SI-DO (Laskar 71) misalnya, adalah Organisasi Kepemudaan yang kemudian menjadi barometer dasar bagi komunitas orang muda lain di Lewotala, dan diharapkan meluas ke jenjang yang lebih tinggi.
Minggu (6/12/2020), Laskar 71 menggandeng Nara Teater besutan Silvester Petara Hurit, seorang putera Lewotala yang juga pegiat seni teater, dan narasumber Romo Inno Koten, Pr serta bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Provinsi Bali, menggelar diskusi bersama dengan tema “Proses Kreatif”.
Diskusi ini menghadirkan pula komunitas-komunitas orang muda dari beberapa desa dan kelurahan di Kabupaten Flores Timur. Diskusi yang berlangsung sekitar 4 jam, diselingi dengan acara nonton bareng video teater berjudul: “Tanah Tani” karya Nara Teater. Juga, diselingi dengan pembacaan puisi, persembahan lagu- lagu dari Laskar 71 dan Komunitas Karta Sombaraja Lewolere.
Di awal diskusi, Romo Inno Koten, seorang Imam katolik, sekaligus pegiat seni teater di Sesado Hokeng, menceritakan suka dukanya menggeluti bidang seni teater ini. “Saya akan memberikan sedikit gambaran tentang rancang bangun teater dengan memanfaatkan tradisi lokal. Namun jika memang nantinya kita masuk dalam semacam rimba kerancuan, terjebak dalam sejenis renungan dan refleksi, maka maafkanlah saya, sebab saya tidak memiliki kualifikasi pendidikan yang khusus perihal teater. Pengalaman saya dalam berkesenian, khususnya dalam dunia teater juga tidak banyak. Lagipula saya seorang pastor. Tugas saya tentu bukan berteater. Saya cuma bisa memberi renungan dan mengajak orang untuk berlaku baik,” ungkap Romo Inno.
Romo Inno juga memaparkan bagaimana caranya merancang dan membangun seni teater, dengan memanfaatkan tradisi lokal, tradisi Lamaholot.
Menurut Romo Inno, merancang dan membangun sebuah karya seni teater itu seperti merancang dan membangun sebuah rumah. Siapa yang merancang, siapa yang membangun, siapa saja yang akan tinggal di dalamnya, butuh berapa kamar, dan lain sebagainya. Romo Inno membagikan pengalamannya ini, dengan tujuan agar komunitas-komunitas muda mampu mengekspos tradisi dan budaya Lamaholot, menjadi sesuatu yang mungkin nantinya menjadi tambahan penghasilan selain dari pekerjaan pokok.
Hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Silvester Petara Hurit yang akrab disapa Bang Sil. Dia memang lebih paham soal teater dan sejarah, serta tradisi lokal Lewotala.
Tentang orang muda, Bang Sil berpesan jangan tunggu digerakkan, baru mau bergerak. Orang mudah zaman ini, dituntut untuk kreatif, berinovasi, ciptakan hal-hal baru, juga ciptakan sejarah baru generasi sekarang. “Jika mau buat sesuatu, jangan dulu pikirkan soal uang (ongkos). Kita semua memang tidak memiliki uang, tetapi jangan dulu kejar uang. Karena sesungguhnya uang kita adalah skill atau kemampuan kita. Ketika skill kita telah dibentuk dan dipersiapkan dengan baik, kemudian telah siap untuk ditunjukan kepada orang lain, maka percayalah, uang yang akan mengejar kita,” ujarnya.
Selain menjadi pegiat seni teater, Bang Sil juga adalah seorang kreator Festival Nubun Tawa. Bang Sil mengatakan bahwa sesungguhnya Festival Nubun Tawa adalah bukan ide kreatif Pemerintah Daerah. Sebagai orang Lamaholot, yang tidak ingin kebudayaannya terpendam lalu kemudian memudar, maka munculah ide menyelenggarakan festival tersebut.
Ayah dua orang anak ini juga bercerita tentang suka dukanya mengantar seluruh anggota Nara Teater untuk pentas di Jakarta, dan di beberapa kota di Indonesia, yang pada awalnya hanya bermodalkan teater yang mereka miliki.
Baru-baru ini, Nara Teater menyelenggarakan lomba nyanyian etnik Lamaholot secara daring, terselenggara berkat kerja sama dengan BPNB Provinsi Bali. Ada 7 kelompok peserta yang berpartisipasi, dan keluar sebagai pemenangnya adalah Karang Taruna (Karta) Sombaraja, Kelurahan Lewolere.
Sebagai bahan refleksi, kenapa harus bekerja sama dengan BNPB Provinsi Bali? Kenapa Lewotala yang katanya adalah desa dengan seribu budaya dan tradisi adat, kaya akan nyanyian-nyanyian etnik, tetapi Lewolere yang menjadi juara lomba? Maka, proses kreatif perlu ditanamkan dari bawah, dari dalam komunitas orang muda, orang yang ketika gagal dan mau mencoba lagi, lagi dan lagi.
Dalam kegiatan diskusi ini, sepertinya komunitas orang muda Laskar 71 sedang melatih diri, untuk berhadapan dan bertemu tamu dari luar kampung. Tak satupun aparat desa yang menemani mereka. Walau demikian, Kepala Desa sempat hadir membuka kegiatan diskusi. Ucapan profisiat dan selamat dari tetamu yang hadir menguatkan Laskar 71.
Di akhir kegiatan diskusi, pendiri Nara Teater, Bang Sil, berpesan, jangan tunggu ada tumpangan, baru mau bergerak, jangan tunggu ada motor baru mau jalan. “Kalian Laskar 71, harus sedikit sombong, bahwa kamu bisa sendiri.”(Yurgo Purab)