Ignas Kleden, Sosiolog
Sebelum resmi menjadi presiden, Jokowi sudah melakukan kampanye tentang perlunya Indonesia melakukan reorientasi dari darat ke laut, dari kebiasaan memperlakukan negeri ini sebagai negara kontinental ke pengertian yang lebih realistis bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri atas lautan luas dengan selingan pulau-pulau. Pada pidato pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia, dia menegaskan kembali bahwa sudah terlalu lama kita membelakangi laut, teluk, dan selat, tetapi sejak sekarang laut, teluk, dan selat akan menjadi masa depan Indonesia.
Sebagai contoh soal, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan bahwa potensi ekonomi sektor kelautan bisa mengganti penerimaan dari sektor minyak dan gas bumi. Pendapatan dari sektor laut bisa mencapai 18,7 miliar dollar AS per tahun atau sekitar Rp 200 triliun. Ini dikatakannya berdasarkan pengalamannya di Pangandaran yang bisa mengekspor 20-30 juta dollar AS per tahun meskipun garis pantainya hanya sepanjang 91 kilometer, sementara garis pantai Indonesia panjangnya 85.000 kilometer. (Koran Tempo, 9/11/2014)
Reorientasi ini akan membawa serta perubahan radikal dalam berbagai sektor. Akan terjadi pergeseran pusat perhatian dari pertanian dan peternakan ke perikanan, dari kehutanan ke kelautan, dari perhubungan darat ke perhubungan laut, dari pariwisata darat ke pariwisata laut, dari produksi darat ke produksi laut, dari pertahanan dan keamanan darat ke pertahanan dan keamanan laut, dari dimensi ketinggian gunung ke dimensi kedalaman laut, dari keindahan sawah dan nyiur melambai ke estetika kaki langit, dan dari cara memandang laut dari daratan ke cara memandang daratan dari laut. Di antara semuanya, satu hal lain akan mengalami pergeseran juga, yaitu dari budaya politik dan kepemimpinan politik berlandaskan pertanian ke budaya politik dan kepemimpinan politik maritim.
Kita tahu, feodalisme adalah susunan masyarakat yang berlandaskan kepemilikan atau akses kepada feud atau sebidang tanah. Seorang raja atau kaisar menuntut pelayanan berupa upeti dan perlindungan militer dari bawahannya yang dinamakan vasal dan sebagai kompensasi memberikan sebidang tanah sebagai daerah kekuasaan vasal itu. Pengaturan hubungan di antara raja dan vasalnya tidak selalu sama dan dapat terlihat perbedaannya di Eropa, India, Turki, atau Jepang.
Seorang vasal biasanya menguasai sebidang tanah (feud) sebagai daerah kekuasaannya yang diberikan oleh raja atau kaisar dan sebagai imbalannya dia harus membayar upeti dan memberikan pelayanan militer. Dia berfungsi sekaligus sebagai penguasa teritorial dan komandan militer bagi raja. Pelayanannya memberikan dia status kehormatan sebagai bangsawan sekalipun hal ini tidak selalu terjadi. Persoalan timbul kalau fungsi penguasa teritorial dan komandan militer ini terpisah. Ini terjadi dalam feodalisme Jerman ketika raja mengangkat seorang Graf (atau count dalam bahasa Inggris) sebagai gubernur distrik dan seorang Herzog (atau duke) sebagai komandan militer.
Ketegangan juga terjadi antara Graf sebagai penguasa teritorial dan baron sebagai kelompok bangsawan dengan garis aristokrasi yang jelas. Dalam feodalisme Jepang ketegangan muncul di antara daimyo sebagai penguasa teritorial di bawah kaisar dan samurai sebagai satuan dengan keahlian militer.
Di Indonesia, selama masa penjajahan Belanda, diberlakukan sistem pemerintah indirect rule atau pemerintahan tak langsung. Dalam sistem ini pemerintah kolonial tidak memerintah penduduk koloninya secara langsung, tetapi memerintah rakyat di suatu daerah melalui bangsawan daerah itu—pangeran, adipati, atau tumenggung—yang mempunyai legitimasi secara tradisional untuk memerintah rakyat di daerahnya. Dalam fungsi ini mereka diangkat sebagai bupati dalam kabupatennya, dan memerintah atas nama gubernur jenderal, sebagai vasal meskipun tidak mempunyai kekuatan militer sendiri untuk mendukung kekuasaannya.
Ketegangan sering muncul di antara asisten-residen sebagai pejabat Belanda yang menguasai sebuah distrik dan bupati sebagai bangsawan setempat yang dipatuhi rakyatnya. Pengarang Max Havelaar dalam bukunya, Multatuli, bercerita bahwa dalam ketegangan antara asisten-residen dan bupati, Pemerintah Belanda cenderung memihak bupati karena asisten-residen bisa diganti dengan segera oleh seorang pejabat lain, tetapi bupati dengan kewibawaan dan legitimasinya tak dapat diganti begitu saja. Ini juga sebabnya, penghasilan seorang bupati jauh lebih tinggi daripada gaji seorang asisten-residen. Penghasilan bupati, menurut Max Havelaar, terdiri atas empat komponen, yaitu 1) gaji tetap bulanan, 2) jumlah tetap pembayaran bagi hak-hak mereka yang dibeli Pemerintah Belanda, 3) premi dari hasil produksi kabupaten berupa kopi, gula, indigo, kayu manis, dan lain-lain, 4) hak menggunakan tenaga dan harta benda rakyat kabupaten secara tak terbatas.
Kepemimpinan kapitan perahu
Dalam sistem pemerintahan tak langsung, semuanya diberi dari atas. Kekuasaan tumenggung atau adipati diterima dari gubernur jenderal dalam bentuk jabatan bupati, dengan kehidupan yang dijamin secara lebih dari cukup dan dengan kemewahan yang menjadi atribut statusnya. Kekuasaan bupati dengan sendirinya akan diturunkan ke anak laki-lakinya dan ketentuan ini dihormati oleh Pemerintah Belanda.
Dapatlah dipahami mengapa kemerdekaan nasional Indonesia pada 1945 tak serta-merta menyingkirkan pola-pola pemerintahan tak langsung ini, yang telah berakar dan meresap ke dalam psikologi politik dan bawah sadar kebudayaan banyak komunitas di Indonesia. Kolonialisme sebagai akar-tunjang bagi batang pohon bernama negara kolonial, dan feodalisme sebagai akar-serabut yang tumbuh dari politik tradisional dan memperkuat tegaknya kolonialisme, masih tetap menyabot dari dalam tanah pohon baru bernama Republik Indonesia yang hanya berakar pada kehendak untuk merdeka.
Suasana politik dan kebudayaan seperti ini jelas asing bagi kepemimpinan maritim yang oleh antropolog Prof Mattulada dinamakan kepemimpinan kapitan perahu. Seorang kapitan perahu hanya mungkin tumbuh dari bawah dan tak mungkin didrop dari atas. Dia harus terlebih dahulu mengumpulkan pengalamannya di atas perahu tentang teknik berlayar, membaca arah angin, dan melakukan navigasi dengan melihat bintang di langit, dan belajar bekerja sama dengan awak perahu dan akhirnya memimpin mereka.
Kompetensi seorang kapitan perahu akan selalu transparan, sementara inkompetensinya tak dapat disembunyikan. Ujian akan diberikan oleh alam sendiri. Kalau dia hendak membawa perahunya dari Surabaya ke Banjarmasin, tetapi perahunya kemudian mendarat di Cilacap, maka dia akan langsung dicopot dari kepemimpinannya sebagai kapitan perahu. Seorang tidak bisa berpura-pura dengan kemampuannya, atau menciptakan citra seorang kapitan perahu, karena kebohongan akan tersingkap dalam waktu singkat.
Pola pengambilan keputusan di atas perahu sangat berbeda dari pola kepemimpinan feodal. Keputusan harus diambil dengan sangat cepat dan harus dikoreksi dengan sama cepatnya kalau terbukti salah. Dalam menghadapi topan di laut, pemimpin perahu tidak bisa bermusyawarah dengan para awaknya selama satu dua jam atau membentuk komisi-komisi untuk membahas perkembangan topan. Kalau ini dilakukan, sangat mungkin perahunya sudah tenggelam sebelum musyawarah dimulai. Dalam hal ini keselamatan perahu dan awaknya tergantung seluruhnya pada keputusan yang dibuat kapitan perahu dan ketegasannya dalam mendorong agar perintah-perintahnya dilaksanakan dengan cepat dan cermat. Jelas bahwa kewibawaannya muncul dari berbagai ketepatan perhitungannya dalam menghadapi bahaya di laut pada waktu-waktu sebelumnya, dan keyakinan awak perahu bahwa kapitan mereka tak akan membiarkan perintah-perintahnya diabaikan.
Kalau perahunya ternyata karam juga, maka ada etos yang menetapkan bahwa sang kapitan harus bertahan sebagai orang terakhir di perahunya, sampai penumpang dan awak kapal sudah selamat atau mendapat pertolongan yang dibutuhkan. Seorang kapitan perahu bisa saja mengabaikan ketentuan ini dan menyelamatkan dirinya pada kesempatan pertama dengan meninggalkan penumpang dan awak kapal berjuang melawan arus dan gelombang. Kalau ini dilakukan, kepengecutan sang kapitan akan menjadi ejekan di kampung halamannya dan meninggalkan aib yang harus ditanggung anak-cucu dan kerabatnya selama beberapa turunan.
Kendala egosentrisme
Etos ini seakan menetapkan bahwa kapitan perahu adalah orang yang harus menyelamatkan orang lain dan bukan menyelamatkan dirinya sendiri. Ini kebajikan yang amat sulit karena egosentrisme adalah pembawaan tiap orang sejak bayi hingga menjadi lansia. Egosentrisme adalah dorongan instingtif pada seseorang untuk melihat dirinya sebagai pusat dunia, entah pusat kepentingan berupa egoisme, atau pusat kemuliaan dan kehormatan berupa narsisisme.
Rupanya para pelaut Indonesia sudah tahu sejak dulu kala bahwa egosentrisme akan membuat kapitan perahu mengabaikan tugasnya dan menyebabkan perahunya luluh lantak diterjang angin topan dan mengakibatkan awak dan penumpang perahu sia-sia menyabung nyawa melawan arus dan gelombang yang mengempas mereka. Karena itu, dalam etosnya kapitan perahu dituntut membuang egosentrismenya, dan memberi dirinya demi keselamatan orang lain, sekalipun dia sendiri harus menjadi korban tugas dan tanggung jawabnya.
Tentu saja watak kapitan perahu sebagaimana dilukiskan dalam uraian ini lebih merupakan suatu ideal type atau tipe ideal sebagaimana dimaksud oleh sosiolog Jerman, Max Weber. Dalam arti itu, tipe ideal adalah suatu konstruksi pikiran yang jarang terdapat dalam kenyataan sehari-hari, tetapi konstruksi ini bertujuan membangun gambaran tentang suatu tipe orang atau kelompok orang yang secara logis sempurna dalam semua cirinya yang terpenting. Tipe ideal bermanfaat bagi peneliti untuk melihat jarak dan perbedaan di antara kenyataan empiris yang ditelitinya, dan konstruksi logis yang sudah dibangun. Dalam istilah yang populer sekarang, tipe ideal dapat berfungsi sebagai referensi yang menjadi ukuran melalui perbandingan atau benchmark bagi kenyataan yang kita amati.
Dalam arti itu, kapitan perahu yang satu bisa unggul dalam kompetensinya, tetapi tidak begitu besar nyalinya, sementara kapitan perahu yang lain amat tegas dalam mengambil keputusan, tetapi tak begitu gemilang kompetensinya.
Tidak seorang manusia pun yang dapat unggul dalam semua kebajikan. Meski demikian, kapitan perahu sebagai pemimpin sudah menetapkan keutamaan apa saja yang membuat seorang anak manusia menjadi pemimpin di atas perahu. Tiga kebajikan yang harus ada padanya adalah kompetensi yang harus dibangun dari bawah dan membuatnya menjadi a man of competence. Kedua, kemampuan mengambil keputusan dan membuat keputusannya terlaksana. Dia harus berdiri di atas perahunya sebagai a man of resolution. Ketiga, dia menyediakan diri sebagai tumbal kalau kecelakaan menimpa perahunya, dan berusaha dengan segala cara menyelamatkan para awak dan penumpang meskipun dia sendiri akan kehilangan nyawanya sendiri. Dia mendapat penghormatan sebagai a man of dignity.
Membangun suatu politik dan ekonomi maritim akan terwujud dengan hasil yang maksimal apabila ditunjang oleh kepemimpinan politik maritim dengan kapitan perahu sebagai modelnya. Juga, kepemimpinan politik maritim akan lambat laun membongkar akar-akar patrimonialisme yang memperlakukan negara dan warga negara sebagai milik pribadi seorang kepala keluarga, dan membebaskan politik Indonesia dari feodalisme yang memandang negara sebagai lahan yang bisa dibagi-bagi kepada siapa pun yang mau mempersembahkan upeti.
Laut adalah masa depan kita, Indonesia adalah perahu kita, dan pemimpin politik adalah kapitan perahu kita. ***
Dikutip dari www.berandanegeri.com (Sumber : Kompas, 18 November 2014)