
Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Bulan Juni bukan hanya soal kalender liturgi bagi umat Katolik Paroki San Juan Lebao Keuskupan Larantuka. Ia adalah momentum kultural dan spiritual yang secara sosiologis menghadirkan pembacaan lebih luas terhadap cara agama mengikat, membentuk, dan memelihara kohesi sosial.
Tanggal 24 Juni, umat Katolik San Juan merayakan kelahiran Santu Yohanes Pembaptis—patron mereka. Namun, jauh dari sekadar seremoni religius, perayaan ini telah menjelma menjadi ritual sosial tahunan yang memiliki daya ikat lintas usia, generasi, dan geografi.
Dari perspektif sosiologi agama, peristiwa ini menampakkan peran agama sebagai institusi sosial yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesamanya. Prosesi San Juan menyatukan mereka yang di kampung maupun di perantauan.
Dalam teori Émile Durkheim, agama adalah ekspresi solidaritas kolektif. Ketika umat Paroki San Juan berkumpul dalam misa, prosesi, dan berbagai ritual adat, mereka sedang meneguhkan identitas bersama, rasa memiliki, dan hubungan sosial yang transenden.
Lebih dari sekadar praktik keagamaan, prosesi San Juan merupakan arena reproduksi nilai, norma, dan tradisi kolektif. Ia adalah laboratorium sosial di mana warisan spiritual diwariskan sekaligus dimaknai ulang di tengah arus modernisasi.
Yang menarik, prosesi ini juga menunjukkan bagaimana agama dan budaya lokal bersaling-silang. Tradisi tuang lilin, angka mardomu, hingga ritus periksa lilin membuktikan sinkretisme antara liturgi Katolik dan adat Larantuka yang hidup dan bernafas bersama.
Fakta bahwa umat yang merantau merasa wajib pulang untuk perayaan ini menegaskan bahwa keterikatan spiritual tidak semata berbasis pada doktrin teologis, tetapi juga pada kenangan kolektif dan komitmen identitas komunitas.
Agama, dalam hal ini Katolikisme lokal, tampil bukan sebagai sistem keyakinan semata, tetapi sebagai mekanisme sosial yang menopang solidaritas, stabilitas, dan keberlanjutan komunitas di tengah perubahan sosial.
Ritual San Juan telah menjadi sarana untuk membentuk habitus religius sejak dini. Anak-anak dilibatkan dalam kegiatan gereja dan adat, membangun rasa keterlibatan yang menumbuhkan akar kultural dan spiritual sejak usia belia.
Peran orang muda juga sentral. Dalam semangat kebersamaan, mereka menjadi pelatih nyanyi, pengatur barisan prosesi, hingga penggagas inovasi digitalisasi dokumentasi ritual. Agama pun menjadi ruang ekspresi identitas generasi.
Sosiologi agama melihat bahwa aktivitas religius seperti prosesi San Juan bukanlah aktivitas pasif—melainkan praktik sosial aktif yang memperkuat jaringan sosial dan memperluas partisipasi sipil dalam komunitas.
Keterlibatan komunitas basis gerejani dalam ibadat triduum adalah contoh konkret dari model desentralisasi praksis iman yang memungkinkan umat menjadi aktor-aktor aktif dalam kehidupan gerejani.
Pesta San Juan juga menjadi panggung negosiasi sosial antar warga lingkungan. Melalui koordinasi acara, latihan, dan berbagai gotong royong, terjalin komunikasi yang memperkuat struktur sosial informal yang sangat penting di komunitas-komunitas kecil.
Dalam konteks modernitas dan perubahan nilai, keberlanjutan ritual ini menunjukkan kemampuan adaptif agama. Prosesi kini diorganisir dengan lebih efisien tanpa menghilangkan makna spiritual dan kulturalnya.
Sosiologi agama menyoroti bahwa ritual seperti ini bukan hanya “tradisi masa lalu”, tapi juga instrumen pembentukan masa depan. Ia menciptakan kesinambungan identitas komunal di tengah ancaman disintegrasi sosial akibat migrasi dan globalisasi.
Menariknya, struktur sosial yang terbentuk melalui kegiatan ini bersifat egaliter—setiap orang, terlepas dari usia dan status sosial, memiliki peran dan ruang kontribusi. Di sinilah agama berfungsi sebagai pengimbang ketimpangan sosial.
Momentum tahunan ini juga memperlihatkan bagaimana “sakral” bisa hadir dalam ranah sosial. Sakramen Mahakudus dan patung San Juan menjadi simbol bukan hanya iman, tetapi kehadiran “yang kudus” dalam interaksi sosial sehari-hari.
Dengan demikian, Prosesi San Juan adalah cermin dari bagaimana agama hidup dalam keseharian masyarakat Flores Timur—tidak sekadar dalam wacana transendental, tetapi dalam tindakan sosial yang nyata dan melibatkan banyak pihak.
Di era ketika masyarakat kian individualistik, Prosesi San Juan menawarkan pelajaran tentang kekuatan kolektivitas. Ia menegaskan bahwa iman, ketika dihidupi bersama, memiliki daya transformatif yang jauh melampaui dinding gereja.
Agama bukan hanya soal surga, melainkan juga soal tanah tempat kita berpijak. Dalam setiap langkah Prosesi San Juan, umat bukan hanya bergerak dalam tubuh ritus, tetapi meneguhkan jati diri kolektif yang hidup dan menghidupi. (*)