Oleh: 𝑹𝒐𝒃𝒆𝒓𝒕 𝑩𝒂𝒍𝒂
𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒈𝒖𝒎 𝑴𝒈𝒓 𝑨𝒏𝒕𝒐𝒏 𝑷𝒂𝒊𝒏 𝑹𝒂𝒕𝒖 𝑺𝑽𝑫. 𝑲𝒆𝒏𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 36 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒍𝒖 (𝑵𝒂𝒕𝒂𝒍 1988).
𝑷𝒆𝒏𝒖𝒍𝒊𝒔 𝒃𝒖𝒌𝒖 𝑩𝒆𝒓𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒅𝒊 𝑼𝒔𝒊𝒂 𝑺𝒆𝒏𝒋𝒂 (𝑪𝒆𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆-2, 𝑲𝒂𝒏𝒊𝒔𝒊𝒖𝒔, 𝑱𝒐𝒈𝒋𝒂𝒌𝒂𝒓𝒕𝒂, 2022)
Hal apa yang paling menarik dari Uskup Anton Pain Ratu, SVD yang lahir 2 Januari 1929 dan wafat 6 Januari 2024? Bagi saya, sebuah pertemuan bisa menjawab hal ini. Tetapi sebuah pertemuan kecil pada Natal 1988 sudah memberikan jawaban: kemiskinannya.
Saat itu, sahabat saya seasal dari Tanah Boleng, 𝑷. 𝑴𝒂𝒕𝒊𝒂𝒔 𝑫𝒂𝒕𝒐𝒏 𝑫𝒐𝒏𝒊, 𝑺𝑽𝑫 (𝒌𝒊𝒏𝒊 𝒎𝒊𝒔𝒊𝒐𝒏𝒂𝒓𝒊𝒔 𝒅𝒊 𝑪𝒉𝒊𝒍𝒆), yang saat itu masih menjadi novis SVD Nenuk, mengajak saya bersalaman dengan Uskup Atambua. Karena dianggap keluarga, Uskup yang baru 3 tahun sebagai Uskup (1984, sebelumnya uskup tituler dari 1982) mengajak kami ke kamarnya. Sebuah kamar yang serba sederhana. Tidak banyak barang yang dimiliki dalam kamar.
Karena diajak duduk lebih lama, saya melihat keluar dari kamar. Ada emperan kecil dan di emperan itu ada barbel. 𝑩𝒖𝒌𝒂𝒏 𝑮𝒊𝒓𝒊𝒌 𝑩𝒂𝒓𝒃𝒆𝒍 𝑫𝒖𝒎𝒃𝒃𝒆𝒍𝒍 𝒃𝒖𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒃𝒓𝒊𝒌 𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒃𝒂𝒓𝒃𝒆𝒍 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒔𝒆𝒎𝒆𝒏. 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑨𝒏𝒕𝒐𝒏 𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒅𝒊𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒐𝒍𝒂𝒉𝒓𝒂𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒕𝒊𝒂𝒑 𝒉𝒂𝒓𝒊 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕-𝒎𝒆𝒏𝒖𝒓𝒖𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒓𝒃𝒆𝒍 𝒊𝒕𝒖. Murah tetapi dibuat secara konsisten. Hal itu tentu bukan sekadar basa-basi. Konsistensi pada olahraga itulah yang barangkali turut berpengaruh mengantarnya hingga berusia 95 tahun, yang dirayakan 3 hari sebelum ia wafat.
𝐊𝐨𝐧𝐭𝐫𝐚𝐝𝐢𝐤𝐬𝐢 – 𝐈𝐫𝐨𝐧𝐢
Menyaksikan kemiskinan saat ia baru saja ‘menempati takhta uskup’ menjadi kesan kuat untuk sejak saat itu berpikir bahwa Pain Ratu memang berbeda. Dengan pengalamannya yang sangat luas dengan kontaknya yang mendunia, maka model kemiskinan seperti itu kontradiktif lagi ironis.
Sudah di tahun 1966, 𝑷𝒂𝒊𝒏 𝑹𝒂𝒕𝒖 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒏𝒈𝒍𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒖𝒂𝒏𝒂 𝒅𝒊 𝑱𝒆𝒓𝒎𝒂𝒏 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒌𝒖𝒓𝒔𝒖𝒔 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒎𝒂 𝒉𝒂𝒎𝒑𝒊𝒓 𝒔𝒆𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏. 𝑰𝒂 𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒌𝒆 𝑳𝒊𝒗𝒆𝒓𝒑𝒐𝒐𝒍 𝑰𝒏𝒈𝒈𝒓𝒊𝒔 (1967) untuk memahirkan bahasa Inggrisnya sebagai persiapan belajar di 𝑬𝑨𝑷𝑰 (𝑬𝒂𝒔𝒕 𝑨𝒔𝒊𝒂𝒏 𝑷𝒂𝒔𝒕𝒐𝒓𝒂𝒍 𝑰𝒏𝒔𝒕𝒊𝒕𝒖𝒕𝒆) 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝑼𝒏𝒊𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝑨𝒕𝒆𝒏𝒆𝒐 𝒅𝒆 𝑴𝒂𝒏𝒊𝒍𝒂 (1968-1970) hingga mendapatkan gelar BA dan MA bidang Pendidikan Religius.
Dari segi jabatan pemerintahan, Pain Ratu bukan orang sembarangan. 1962-1966 𝒊𝒂 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒂𝒏𝒈𝒈𝒐𝒕𝒂 𝑫𝑷𝑹 𝑮𝑹 𝑲𝒂𝒃𝒖𝒑𝒂𝒕𝒆𝒏 𝑻𝑻𝑼. 𝑱𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒅𝒊𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒂𝒂𝒕 𝒔𝒆𝒍𝒆𝒔𝒂𝒊 𝒃𝒆𝒍𝒂𝒋𝒂𝒓 𝒅𝒊 𝑭𝒊𝒍𝒊𝒑𝒊𝒏𝒂 (1970-1972).
Ternyata jabatan pemerintahan itu hanyalah awal. Ia kemudian diangkat menjadi 𝑹𝒆𝒈𝒊𝒐𝒏𝒂𝒍 𝑺𝑽𝑫 𝑻𝒊𝒎𝒐𝒓 (1972-1979). 𝑺𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 3 𝒌𝒂𝒍𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒕𝒖𝒓𝒖𝒕-𝒕𝒖𝒓𝒖𝒕 𝒅𝒊 𝑺𝑽𝑫 𝒉𝒂𝒍 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒂𝒔𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒊𝒔𝒂 2 𝒎𝒂𝒔𝒂 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏.
Dari jabatan regional, Pain Ratu diangkat menjadi 𝑨𝒏𝒈𝒈𝒐𝒕𝒂 𝑫𝒆𝒘𝒂𝒏 𝑱𝒆𝒏𝒅𝒆𝒓𝒂𝒍 𝑺𝑽𝑫 𝒅𝒊 𝑹𝒐𝒎𝒂 (1979-1982). 𝑫𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒊, 𝑨𝒏𝒕𝒐𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒆𝒍𝒊𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒌𝒆 𝒔𝒆𝒍𝒖𝒓𝒖𝒉 𝒅𝒖𝒏𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒅𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒗𝒊𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔𝒊 𝒌𝒆 𝒉𝒂𝒎𝒑𝒊𝒓 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒕𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝑺𝑽𝑫 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂. Bisa dipastikan kemampuan berbahasa harus sangat baik. Malah anggota dewan harus belajar bahasa lain dalam waktu singkat agar bisa lebih berkomunikasi saat kunjungan.
Aneka jabatan ini hanyalah awal yang mengantarnya menjadi 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑨𝒖𝒌𝒔𝒊𝒍𝒊𝒆𝒓 𝑨𝒕𝒂𝒎𝒃𝒖𝒂 (1982-1984) 𝒅𝒂𝒏 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑨𝒕𝒂𝒎𝒃𝒖𝒂 (1984-2007).
Dengan demikian 𝐬𝐞𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐩𝐞𝐫𝐬𝐨𝐧𝐚𝐥, 𝐏𝐚𝐢𝐧 𝐑𝐚𝐭𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐦𝐛𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧. 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐬𝐞𝐠𝐢 𝐩𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧, 𝐣𝐚𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 (𝐛𝐚𝐢𝐤 𝐠𝐞𝐫𝐞𝐣𝐚𝐰𝐢 𝐦𝐚𝐮𝐩𝐮𝐧 𝐝𝐮𝐧𝐢𝐚𝐰𝐢). 𝐉𝐚𝐫𝐢𝐧𝐠𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐥𝐮𝐚𝐬 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐫𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐧𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐫𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐟𝐚𝐬𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬. 𝐓𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐢𝐚 𝐭𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐬𝐞𝐛𝐮𝐚𝐡 𝐛𝐚𝐫𝐛𝐞𝐥 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐧. 𝐈𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐚𝐝𝐢𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐨𝐝𝐞𝐥 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐨𝐧𝐭𝐫𝐚𝐝𝐢𝐤𝐭𝐢𝐟 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐢𝐫𝐨𝐧𝐢𝐬 𝐝e𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐣𝐚𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐝𝐢𝐞𝐦𝐛𝐚𝐧.
Maranatha
Kemiskinan yang sebenarnya dari Pain Ratu tentu bisa diukur dengan keputusannya untuk tinggal di wilayah keuskupannya hingga wafat. Sejak 2007, ia memilih Bintauni sebagai ‘markasnya’. Markas yang ditempatinya hampir 16 tahun). Keputusan untuk tinggal di tempat ia berkarya memang bukan keputusan yang mudah dibuat oleh para uskup yang sudah pensiun (emeritus).
Banyak uskup yang memilih untuk memilih berada di luar keuskupannya. Uskup Donatus Djagom, SVD memilih kembali ke kampung halamannya di Ranggu Manggarai (1996 – 2010). Hanya setahun terakhir oleh kondisi kesehatan, ia kembali ke Ende, dan tinggal bersama para Suster CIY, lingkungan Istana Keuskupan Agung Ende.
Uskup Darius Nggawa, SVD, setelah pensiun, ia lalu tinggal di Biara SVD Wairkalu Maumere (2004-2008). Banyak Uskup yang mempersiapkan masa pensiunnya bukan di tempat ia berkarya tetapi kembali ke tanah kelahiran dan tentunya butuh persiapan untuk bisa kembali ke kampung halaman.
Artinya setelah pensiun dari jabatan, seorang Uskup bisa memilih tinggal di mana saja. Tetapi bisa dikatakan tidak banyak yang memilih tetap berada di Keuskupan di mana ia berkarya. Ada juga yang merasa, setelah kekuasaan yang begitu lama, seorang Uskup (yang juga manusia) kadang tak bersahabat baik dengan para imamnya. Karena itu kembali ke kampung sendiri adalah pilihan terbaik.
Pain Ratu menjadi salah satu Uskup yang memilih terus ada hingga wafat di mana ia berkarya dari awal. Ia tahu bahwa di tempat itu ia tidak hanya bekerja sebagai pendatang tetapi telah menjadi orang TTU di Keuskupan Atambua, tempat di mana ia menjadi sangat fasih dalam bahasa Dawan.
Ini adalah ekspresi penyerahan diri dan ekspresi terdalam bahwa Pain Ratu adalah anak tanah. Sebagai anak tanah, ia memang harus kembali memeluk tanah di mana ia bekerja dan tidak sedikit pun ia beralih dari sana. Justru di sinilah kekayaan dirinya yang tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan duniawi.
Di sinilah ekspresi rasa cintanya pada budaya Dawan yang tidak hanya terucap dari kata-kata tetapi bisa saja ia telah bersumpah. Ia bersumpah, bila ia kembali sebagai orang kaya karena kekayaan duniawi maka itu terkutuk. Tetapi Ia justru telah merendahkan dirinya untuk mengabdi sampai tuntas dan karena itu bisa terbayang bahwa saat menghembuskan napasnya 6 Januari 2024 pkl 10.30, yang terakhir ia hanya berseru: Maranatha : Tuhan datanglah, ke tempat di mana Ia telah mempersembahkan kemiskinannya untuk sebuah pengabdian total.
Karenanya tidak ada kata yang lebih pantas selain rasa kagum karena ia telah menjadi miskin sampai mati tetapi oleh kematiannya mendatangkan makna tidak saja bagi Keuskupan Atambua tetapi juga bagi gereja sejagat. Harta ini tentu tidak hanya dijaga oleh para Suster Tarekat Putri Maranatha (TPM) yang didirikannya 2005 tetapi harta terindah untuk Gereja sejagat. ***