Aksinews.id/Jakarta – Masalah perdagangan orang (Human Trafficking) masih menjadi soal yang tampak sulit dipecahkan. Para aktivis yang fokus menangani isu pemberantasan perdagangan orang melakukan pertemuan dengan Badan Keahlian (BKD) DPR RI, Senin (22/5/2023). Mereka mendiskusikan tantangan kebijakan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan Perdagangan Orang (Human Trafficking).
Ketua Advokasi Masyarakat Sipil untuk Perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (AMPUH TPPO), Gabriel Goa memaparkan beberapa tantangan perdagangan orang yang harus menjadi perhatian dalam upaya memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pertama, menurut dia, perlu menciptakan soliditas antara Bareskrim Polri, Kejaksaan dan di akhir ada pengadilan yang akan mengadili dan memutus kasus-kasus TPPO.
Selama ini, menurut Gabriel, masih sering terjadi bolak-balik berkas perkara antara kepolisian dan kejaksaan. “Jaksa menganggap berkas perkara tidak lengkap atau tidak cukup bukti. Kemudian siapa sebenarnya yang harus dikuatkan untuk melakukan identifikasi, apakah identifikasi kasus dan korban TPPO itu dari kepolisian atau dari LSM atau Lembaga Pendamping Korban,” ujarnya, bertanya-tanya.
Belum lagi kejaksaan yang mungkin sulit memanggil saksi-saksi untuk kelengkapan berkas penuntutan. “Pasal-pasal yang sering dikenakan kepada pelaku yang sebenarnya adalah pelaku TPPO adalah pasal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau pasal terkait ketenagakerjaan,” ujarnya, prihatin.
Masalah kedua, menurut dia, adalah belum adanya penganggaran yang khusus dan tepat sasaran, baik di Kementerian maupun di Lembaga Non Kementerian serta di lembaga-lembaga lainnya seperti Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di level Nasional sesuai amanat Perpres Nomor 22 Tahun 2021 dan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO di Provinsi dan Kabupaten/Kota. “Kendala mereka adalah kurang program, tidak ada anggaran dan sifatnya hanya koordinasi,” papar Gabriel Goa.
Yang ketiga, lanjut dia, adalah lembaga-lembaga donor dan lembaga internasional serta swasta kurang punya sensitivitas terhadap isu TPPO. “Mereka tidak tulus dan yang penting proyek berjalan. Mereka menunjuk LSM kurang transparan, diduga berdasarkan kedekatan atau teman-teman circle mereka sendiri dan LSM tersebut harus membuat lembaga donor ‘nyaman’ dan yang bisa dikendalikan oleh lembaga donor, lembaga-lembaga tersebutlah yang membuat program-program bersifat repetisi, bahkan uang-uang project tersebut lebih besar misalnya untuk membayar konsultan,” ungkap Gabriel Goa.
Sebenarnya, menurut dia, dana-dana itu bisa dimanfaatkan untuk membuka pelatihan Calon Pekerja Migran melalui BLK PMI di tingkat kabupaten dan desa. “Pelatihan untuk investigator (penyidik) di kepolisian kerap dilakukan, ternyata penyidiknya sudah pindah bagian bukan di bagian yang berhubungan dengan TPPO lagi,” ujar Gabriel Goa, sedih.
Direktur Women’ Working Group (WWG), Nukila Evanty menambahkan bahwa masyarakat sipil juga harus dikuatkan, terutama dalam hal pencegahan kejahatan. “Sindikat kejahatan tersebut sudah sedemikian canggihnya apalagi setelah Pandemi COVID-19 ini, dampaknya semua orang bisa miskin dan tak punya pekerjaan, sementara sindikat tersebut beredar di masyarakat, ada sindikat kejahatan yang mempromosikan pekerjaan lewat sosial media atau memakai cara-cara seperti yang menimpa WNI sebagai korban perusahaan online scam di Kamboja baru-baru ini, tawaran dan iming-iming menjadi kurir narkotika seperti yang pernah menimpa Merry Utami, mantan pekerja migran,” papar dia.
Menurut Nukila, awareness untuk mengenal kejahatan human trafficking as organized crime sangat penting dan menjadi bagian kurikulum juga bagi pekerja migran yang prosedural.
Presiden AWR Foundation, Ayuningtyas Widari menambahkan, kemiskinan masih menjadi problem di berbagai negara di dunia. Karena kemiskinan bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, melainkan menyangkut antara lain kerentanan dan kerawanan orang untuk menjadi miskin, menyangkut ada atau tidak adanya pemenuhan hak dasar warga, dan ada atau tidak adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
“Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu Indonesia menjadi salah satu penyalur TPPO dan diharapkan negara dapat menjamin mobilisasi yang signifikan contoh pekerjaan yang layak serta dapat membuat kerangka kebijakan yang kuat di tingkat nasional, regional dan international,” tandasnya.
“Stop Jo Bajual Orang!” (AN-01)