Aksinews.id/Jakarta – Ini warning atau peringatan dari pakar hukum tata negara, Refly Harun soal bahaya munculnya fenomena yuristokrasi atau pemerintahan oleh hakim. Hal itu bisa saja terjadi, jika Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengadili perkara hasil sidang paripurna DPD RI.
Menurut Refly Harun, pengadilan tata usaha negara sifatnya individual, kongkrit dan final. Sifat individual terkait dengan orang tertentu, objek tertentu yang mengeluarkan keputusan.
Dalam kasus penggantian Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad dengan Tamsil Linrung, kata Refly Harun, Surat Keputusan DPD RI tentang penggantian Fadel dengan Tamsil, bukanlah keputusan yang mandiri. DPD RI mengeluarkan SK tersebut berdasar sidang paripurna DPD RI.
“Jadi bukan putusan mandiri (oleh Ketua DPD RI). Bukan subjektifitas Ketua DPD tetapi hasil paripurna DPD, sehingga keputusan semua anggota DPD,” kata Refly Harun.
Menurut Refly Harun, keputusan lembaga politik tidak bisa di PTUN-kan. Kalaupun bisa dipersoalkan maka putusan lembaga politik maka dibawa ke Mahkamah Konstitusi. “Itupun harus jelas judulnya, misalnya pengujian UU, sengketa kewenangan lembaga negara, apakah MPR berwenang menyetop kewenangan DPD,” ungkap pakar tata negara ini.
Keputusan DPD tentang penggantian Wakil Ketua MPR dari kelompok DPD, menurut Refly Harun, adalah keputusan tata negara bukan administrasi negara. “Keputusan tata negara tidak boleh diuji di pengadilan tata usaha negara atau pengadilan administasi. Kalau seperti itu, nanti keputusan DPR/MPR pun bisa di PTUN-kan,” kata Refly Harun.
Jika PTUN bisa mengadili hal seperti ini, menurut Refly Harun, maka sangat berbahaya. “Kita nanti mengenal yuristokrasi, pemerintahan oleh hakim,” ungkapnya.
Seharusnya, lanjut Refly Harun, hakim PTUN hanya berwenang untuk hal tata usahai negara. Kalau keputusan DPR, MPR, DPD yang merupakan hasil sidang paripuna dan cerminan demokrasi, tidak boleh diputuskan PTUN.
Selain itu, lanjut Refly Harun, ketika ada pergantian usulan berdasar paripurna DPD, harusnya MPR menjalankannya. MPR harus melakukan pelantikan Tamsil Linrung menggantikan Fadel Muhammad. Pelantikan tidak boleh ditunda.
“Sekarang ada putusan (pengadilan) tingkat pertama yang belum inkracht. Kalau ada pihak yang masih melakukan banding maka seharusnya yang tetap menjadi Wakil Ketua MPR tetap Tamsil Linrung. Nanti kalau ada keputusan final yang sudah mengikat barulah diganti,” ungkapnya.
Terkait dengan pencabutan tanda tangan dua pimpinan DPD mencabut tanda tangan SK DPD Penggantian Wakil Ketua MPR, Refly Harun, mengatakan, justru kedua orang itu melanggar kode etik. Dijelaskannya, penandatangan hasil putusan paripurna adalah kewajiban bukan hak.
“Pimpinan DPD harus meneruskan apa yang menjadi keputusan dari paripurna DPD,” ungkapnya, sebagaimana dilansir republik.co.id.
Jika ada keputusan sidang paripurna dan pimpinan tidak mau menandatanganinya, lanjut Refly Harun, bukan berarti keputusan sidang paripurna tidak sah.
Sebagaimana diketahui, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak gugatan yang dilayangkan anggota DPD RI, Fadel Muhammad terhadap Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti sebagai tergugat I dan Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin sebagai tergugat II.
PN Jakpus menyatakan tidak memiliki wewenang mengadili Surat Keputusan DPD RI atas hasil Sidang Paripurna Lembaga Negara tersebut. “Memperhatikan Pasal 136 HIR/162 RBg dan peraturan-peraturan lain yang bersangkutan, Mengadili: 1. Mengabulkan eksepsi Tergugat I dan Tergugat II,” tulis salinan surat keputusan tersebut.
Kemudian, Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara Nomor 518/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang diajukan penggugat.
Tak puas dengan putusan PN Jakpus, Mantan Wakil Ketua MPR dari unsur DPD Fadel Muhammad kembali menggugat Ketua DPD La Nyalla Mattalitti melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dan teregister dengan nomor perkara 398/G/2022/PTUN.JKT.
Dalam petitum gugatan, Fadel meminta majelis hakim mencabut Surat Keputusan yang dikeluarkan La Nyalla tertanggal 18 Agustus lalu terkait pencopotan dirinya. Dia menilai surat tersebut tidak sah. “Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan DPD RI Nomor 2/DPDRI/I/2022-2023 tentang Penggantian Pimpinan MPR RI dari Unsur DPD RI Tahun 2022-2023, tertanggal 18 Agustus 2022,” demikian dikutip dari situs resmi PTUN. (*/AN-01)