Aksinews.id/Lewoleba – Perubahan iklim yang semakin terasa di Lembata menjadi topik hangat dalam acara “Ngopi Malming” yang diadakan Sabtu, 25 Januari 2025, lalu di Pondok Perubahan, Wangatoa, Lewoleba, Lembata.
Acara ini dihadiri oleh lebih dari 20 peserta yang terdiri dari anak muda, aktivis, dan masyarakat yang peduli isu lingkungan di Kabupaten Lembata, dengan menghadirkan dua pembicara utama: Acan Raring, Ketua PRB Kabupaten Lembata, dan Melan Wungubelen dari Koalisi KOPI.

Dalam pemaparannya, Melan Wungubelen menjelaskan mengenai Koalisi KOPI dan berbagai inisiatif yang telah dilakukan untuk menangani perubahan iklim, termasuk upaya pendidikan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Sementara itu, Acan Raring menyampaikan gambaran kondisi Lembata yang semakin tertekan akibat dampak perubahan iklim. Acan memaparkan, salah satu masalah besar yang dihadapi adalah kekeringan sumber mata air yang semakin meluas, sementara krisis air bersih masih belum dapat diatasi meskipun terdapat lebih dari 17.000 sumur bor. Ia juga menyoroti penurunan populasi burung yang semakin dramatis, serta ancaman banjir yang sering melanda Kota Lewoleba.
Selain itu, Acan mengungkapkan dampak besar yang ditinggalkan oleh bencana Seroja pada 2020, serta bagaimana Teluk Lewoleba kini terancam abrasi yang kian parah. Kehilangan ikan Temi Bogor, yang dulu menjadi salah satu kekayaan alam Lembata, juga menjadi perhatian serius. Tak kalah penting, kerusakan mangrove dan tanaman pantai akibat kepentingan pariwisata dan ekonomi memperburuk kondisi ekosistem pantai.
Acara semakin menarik ketika peserta mulai berbagi pengalaman. Sendy Duan, seorang anak Seminari San Dominggo Hokeng, mengenang saat ia dan teman-temannya berjuang untuk menyelamatkan diri dari erupsi Gunung Lewotobi.
Pengalaman tersebut mengungkapkan betapa pentingnya adanya jalur evakuasi yang jelas dan edukasi kebencanaan yang memadai. Sendy menyayangkan minimnya informasi mengenai cara bertahan hidup dalam bencana yang diberikan di lingkungan sekolah.

Tinus Huar dari Gempita juga berbicara tentang kurangnya pemahaman masyarakat Kota Lewoleba mengenai kebencanaan. Menurutnya, hoaks yang beredar seringkali menyebabkan kepanikan massal, bahkan mengarah pada evakuasi yang kacau dan menimbulkan korban jiwa.
Di tengah diskusi, Acan mengajak para peserta untuk berpikir lebih jauh mengenai siklus kebencanaan, yang meliputi upaya mitigasi dan edukasi masyarakat sebelum bencana, serta pentingnya perencanaan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Ia menekankan pentingnya kesiapan dalam merespons bencana dengan cepat dan tepat, serta pemulihan yang baik pasca-bencana agar masyarakat dapat bangkit kembali.
Tak hanya itu, Gafel Langoday juga memberi masukan mengenai pentingnya kerjasama antar lembaga dan peran pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim.
Enya Wahon mengingatkan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi mengenai isu iklim. Sementara Ama Wutun menggambarkan bagaimana adat dan budaya setempat turut mempengaruhi pola penanggulangan perubahan iklim.
Di akhir diskusi, Acan menegaskan bahwa ketahanan masyarakat terhadap bencana dapat tercapai jika ada kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan serta kesiapsiagaan yang terencana dengan baik. Diharapkan, dengan adanya acara ini, semakin banyak anak muda yang tergerak untuk turut serta dalam menjaga lingkungan dan mempersiapkan diri menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata. (ew)