Oleh: Robert Bala
Penulis buku HOMILI INSPIRATIF (Penerbit Kanisius, Jogyakarta, Oktober 2023)
Asuransi kaki merupakan satu hal yang paling banyak dibicarakan dalam sepak bola. Bisa dimengerti. Sepak bola sangat mendalkan kaki. Karena itu klub yang telah ‘susah-susah membayar’ gaji pemain yang dibeli dengan sangat mahal harus yakin bahwa selama periode kontrak itu kaki si pemain tidak terjadi ‘apa-apa’.
Tak heran kaki pemain bola diasuransikan dengan sangat mahal. Asuransi kaki Messi mencapai Rp 8,4 triliun per tahun, Ronaldo Rp 1,2 triliun, Neymar Rp 174 miliar per tahun, Iker Casillas 115 miliar per tahun, dan Wayne Rooney mencapai Rp 4,7 miliar rupiah.
Menjadi pertanyaan kita mengapa kaki dihargai dengan sangat mahal? Mengapa tidak tangan seperti pada volley? Memang ada asuransi tangan tetapi tidak semahal asuransi kaki. Bisa saja karena gaji pesepak bola yang melangit. Harus dipastikan bahwa kaki itu aman.
Pertanyaan in menjadi penting untuk diajukan terutama di saat merayakan Kamis Putih dengan satu sentral ritual adalah pembasuhan kaki. Tetapi sebelum ke sana, kita tentu harus bertanya tentang peran kaki.
Posisi kaki yang terlalu di bawah kerap kurang diperhatikan. Apabila bagian tubuh yang lain diberi pakaian yang pantas, kerap kaki hanya diberi kaos kaki. Itupun sebagian besar berlobang-lobang. Hal itu belum terhitung bau yang muncul akibat kaos kaki yang sudah berlubang itu tidak dicuci. Kalau pun dicuci, bau tak sedap itu selalu menjadi langganan.
Tetapi jangan salah. Kaki adalah bagian tubuh yang memungkinkan sebuah pikiran itu dapat terwujud. Rencana mengunjungi saudara, mengerjakan sesuatu di tempat lain, ‘deal’ dengan rekan bisnis tidak bisa terwujud kalau kaki tidak mau membuang langkahnya.
Proses menyelesaikan tugas satu persatu selalu diidentikan dengan langkah. “Step by step”, langkah-demi-langkah, adalah ungkapan bahwa sesuatu yang bagus hanya bisa terwujud tahap demi tahap berkat kaki.
Di sini sebuah rahasia terungkap. Kaki yang posisinya paling bawah bila diberi perhatian, akan menungkapkan sebuah rahasia peradaban. Bangsa yang selalu maju dalam sepak bola yang nota bene mengandalkan kaki, biasanya menggambarkan tingkat peradabannya. Tak heran, hanya bangsa besar di Eropa maupun Amerika Latin yang maju juga sangat disegani dalam dunia sepak bola. Di Asia, Jepang, Korea Selatan merupakan raksasa sepak bola. Di baliknya tercermin kemajuannya.
Hal ini bisa menjadi penjelasan, mengapa Indonesia, bangsa yang besar itu justru menempati peringkat yang sangat tidak masuk akal. Beruntung dalam pertandingan terakhir melawan Vietnam, 26/3/24 lalu Indonesia menang. Orang senang bahwa peringkat Indonesia akan naik padahal hanya sampai posisi 138. Mengapa bisa seperti itu? Karena kita kurang mengharga kaki. Artinya, secara potensi, kerjasama, dan perhatian pada kaki, kita sangat lemah. Kita terlalu mengandalkan bagian lain dari tubuh dengan cara pintas nan ajaib. Keterbelakangan yang terus menjadi cap untuk kita salah satunya karena kita tidak menghargai kaki.
Di hari Kamis Putih ini, Yesus tetapi ngontot mencuci kaki. Di sana tersimpan aneka kekotoran baik diri, kelompok, masyarakat, maupun sebagai bangsa. Secara pribadi, kaki menggambarkan kekotoran diri. Pengalaman masa silam, rahasia kelam diri, pengalaman traumatik, antara lain tergambar dalam kaki yang kotor.
Secara kelompok atau masyarakat, kerap dengan kaki kita mudah ‘menendang orang lain’. Kemajuan ekonomi, modernisasi, kerap meminggirkan orang ke pinggir. Kata kasarnya ditendang dari lingkup sosial. Membasuh kaki yang dilaksanakan Yesus sebuah tindakan untuk menyadarkan upaya menyingkirkan sesama adalah hal yang sangat ditentang oleh Yesus dan kemanusiaan pada umumnya.
Hal yang paling penting, membasuh kaki hal mana dilakukan Yesus kepada para muridnya adalah sebuah contoh tentang membaharui diri dan kembali merefleksikan kaki. Itu yang kita sebut sebuah sebuah spiritualitas, kerohanian diri yang bisa kita gali dari makna kaki.
Kita terpanggil untuk mengikuti teladan kaki yang meski berada di bagian paling bawah tetapi ia tetap setia menyokong tubuh dan membawa kepada sesuatu yang baik. Kaki yang meski kerap terlupakan, tetapi ia justru menggambarkan tingkat peradaban. Dengan demikian bangsa besar belajar dari spiritualitas kaki yang bisa bekerjasama apik dalam team membentuk kelompok sukses sepak bola. Di sana mereka mengajarkan tentang pengorbanan, kerjasama, saling membantu, sosialisasi, sebagai nilai-nilai yang menjadikan sebuah bangsa maju dan berdaulat.
Di Hari Kamis Putih kali ini, Yesus tetap ‘ngotot’ membasuh kaki kita (meski kita menganggap diri sudah bersih). Ia sadar bahwa aspek seperti ini masih langkah dan kerap dilupakan di negeri ini. Kita kerap mengandalkan kekuatan diri sambil secara tegah menindas dan menendang orang lain.
Pada sisi lain, kita juga perlu berkaca kepada wanita pendosa yang mencium dan meminyaki kaki Yesus. Sang wanita itu menemukan kata kunci bahwa keberhasilan dan kesuksesan harus berawal dari apresiasi atas kaki. Kaki itu telah membawa Yesus ke mana-mana mewartakan kabar baik. Kaki itu pula yang telah menjadi simbol bahwa Yesus telah melaksanakan misiNya secara baik di dunia.
Di hari Kamis Putih yang menjelang Pilkada Jakarta, kita juga tersapa. Membuang segala egoisme, menjadikan bendera kesukuan sekedar untuk memenangkan diri. Padahal yang ditonjolkan Yesus adalah kerjasama, seperti pemain bola hebat yang menggunakan kaki untuk mewujudkan ide kerjasama. Kita tidak mau menjadikan permenungan ini bernuansa politis. Ia sekadar mengingatkan bahwa kaki adalah simbol keaslian diri. Kaki meninggalkan jejak yang mesetinya menjadi indikator untuk menilai keberhasilan dan kegagalan. ***