Pukul 05.15 hari ini, Selasa 20 Juni 2023. Saya terkesan dengan lagu RUMPU-RAMPE, cuplikan atau lebih tepat penggalan berbagai lagu daerah NTT. Cuplikan itu disambung menjadi sebuan sajian spektakular.
Sudah lama saya dengar lagu itu tetapi saya tidak tahu diapa creatornya. Pagi ini 20/6 setelah dengar lagu itu, dalam keremangan pagi saya melihat agak.kabur. Tetapi saya tahu betul nama itu. Saya lalu menulis WA ke inovatornya Yustin Genohon SVD dengan menitip kata² ini: ini karya seniman sejati.
Tidak terasa, mungkin saat itu ama Yustin lagi berjuang dalam sakratul maut. 4 jam kemudian ada berita bahea sang kreator RUMPU-RAMPE itu telah tiada.

Tanpa Jarak
Saya mengenal Yustin sejak di Seminari Hokeng. Sejak saat itu dan hingga beberapa jam sebelum wafat kami selalu betkomunikasi. Tidak begitu sering tetapi komunikasi itu tetap ada.
Meski sebagai kaka kelas, tapi Yustin begitu rendah hati dan polos sehingga guyonan ‘nyambung’. Kadang kata-kata agak keluar rel tetapi selalu disampaikan tanpa beban.
Lebih lagi karena sekampung dengan Alo Baha (Pater Alo Baha, SVD) dan Bala Ile (Pater Bernard Bala Ile Luon, SVD) maka saya ditempatkan “selevel” untuk berbagai olokan, nasihat, dan kritik. Saya yang adik kelas pun karena dianggap setara, saya pun ikut mengata-ngatain Yustin. Dasar adik yang tidak tahu diri.
Kedekatan dengan Yustin menjadi berbeda terutama karena kami sama-sama pernah mendapat tugas di Paroki St Yosep Penfui. Di situ saya bisa begitu diterima bukan karena kualitas diri saya tetapi karena mereka ingat Yustin, “Pater Yus tu baik sekali… Katong makan-minum, latih koor dan Mudika senang”.
Demikian mereka bercerita yang membuat saya mulai tidak nyaman. Hal lain bisa saja saya coba tetapi pimpin koor itu beda langit dan bumi. Nyanyi bisa tetapi baca not dengan ketukan serta birama itu saya hanya ikut orang saja.
Beruntumg bisa dipahami dan saya terima yang positif dari Genohon. Teman-teman Yustin itulah jadi teman saya. Lebih tepatnya mereka terima saya karena ingat Yustin. Syukur alhamdu…lilah kata Ustad…
Sejak saat itu saya merasakan kedekatan dengan Yustin. Kenalan kami yang sama, menjadikan kami berdua lebih dari saudara. Setiap pergerakan selalu kami kabarkan. Malah ketika ambil jalan lain tidak dalam panggilan imam, ia mencari saya: “Ama…kita ketemu kah…” demikian sapaan yang sangat membuat terharu. Apalagi bagi orang telah ambil jalan lain, sapaan yang tidak mengadili itu sangat berarti.
Yustin saat di Jakarta selalu ajak ketemu. Karena Yustin pula saya berusaha hadir dalam acara nikah Yoris, anaknya pak Domi Timu Pera. Kami ketemu dan banyak bicara. Di situ saya tahu bagaimana Genohon menjaga relasi dengan guru musiknya di seminari Hokeng. Karena sama-sama orang musik dan karena orang baik maka persahabatan itu tidak lekang oleh waktu. Genohon sudah jadi seperti keluarga sendiri.
Awal tahun 2023 (23/1) setelah agak tersendat kontak saya terkejut melihat kondisi Genohon yang sakit. Saya pun kirimkan WA: “Saya dengar ama sakit kah” Tanya saya. Iapun jawab, “Ya ama. Saya sakit. Doakan saya eh”… Saya iyakan.
Saya kembali sapa Yustin karena di teks lagu yang kami nyanyikan dalam misa arisan adalah gubahannya: TUHAN MEMANGGIL NAMAKU (gubahan 1998). Di akhir lagu ada penggalan “cinta membahana sepanjang musim tiada bertepi”…
Saya nyanyikan bersama koor penggalan itu. Yutin dalam derita memaksakan diri nyanyikan bagian akhir itu lalu ia titip suara “ama saya sakit… doakan”
Semuanya hanya jadi pembenaran bahwa Genohon tidak berjarak. Yang jauh terasa dekat. Sekali dekat, jarak tak menghalangi.

Seniman Sejati
Di antara banyak kualitas (Yustin juga punya banyak kelemahan), satu hal saya banggakan adalah penyatu dan bergaul dengan siapa saya. Yustin tidak pernah memilih untuk berteman. Dan ketika berteman ia selalu membuat orang lain merasa nyaman.
Barangkali ini mengalir secara otomatis dalam dirinya sebagai seniman musikus. Ia bisa paham orang dari berbagai latar belakang budaya dan merasakan kefalaman lagu-lagu daerah. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan oleh seniman sejati. Genohon ada dalam barisan ini.
Rumpu-rampe [2x].
Aku retang bao [2×]
Oh.. bei benga seru molo mesa ha…ha… dst.
Lirik seterusnya meramu lagu-lagu daerah dan menjadi begitu indah. Orang yang mendengar dan menikmati lagu itu akan segera sepakat bahwa penciptanya adalah orang hebat yang selalu mengambil hal positif dari orang lain dan menjadikannya sebagai sebuah sajian seni.
Ini adalah gambaran kepribadian Yustin Yustinus Genohon. Ia menjadikan dirinya begitu rendah hati sehingga banyak orang dari berbagai daerah bisa berkumpul menghasilkan sebuah kesatuan dalam perbedaan yang sangat memperkaya.
Kepribadian Yustin ini juga hasil dari begitu mendalamnya sang seniman pada nilai-nilai budaya sendiri. Agar hidup menjadi indah maka niscaya anak kampung dari Lamatuka dan Tana Treket Lembata ini harus banyak bercampur dengan banyak ragam sayur (daun, buah, bunga pepaya, sedikit singkong) menjadi rumpu-rampe. Ia jadikan makanan yang banyak variasi dan bisa dibuat oleh siapapun.
Itulah Genohon. Ia telah menjadi kuali tempat dimana banyak orang bisa mnyatu dalam kebersamaan. Teladan seperti ini tentu hanya sedikit yang dimiliki oleh orang dan salah satu pemiliknya adaalah “engko le ama Genohon. Terima kasih seniman rumpu-rampe”.
Robert Bala, Sahabatmu...