Oleh: Robert Bala
Ketua Yayasan Koker Niko Beeker (Penyelenggara SMA SKO San Bernardino Lewoleba – Lembata)
dan Team Pendirian Institut Teknologi dan Pendidikan Vokasional (INTEL) Lembata
Tahun 2022, demi konsientisasi tentang perlunya SDM unggul di Lembata, Yayasan Koker Niko Beeker diperkenankan presentasi di depan DPRD Lembata. Hal itu hanya melengkapi berbagai pendekatan kepada pihak eksekutif. Tema itu sudah lama diusung: bagaimana menyiapkan SDM Unggul di Lembata melalui pendidikan Tinggi.
Hanya 1/3 yang hadir. Barangkali (bagi 2/3) anggota DPRD Lembata yang tidak hadir tidak merasa penting dan mendesak hal ini. Beruntung yang hadir sungguh menunjukkan kualitas. Minimal terlihat dalam tanya jawab. Penulis pun terdorong untuk memberikan hadiah buku kepada anggota DPRD yang cerdas dalam mengajukan pertanyaan.
Tetapi di antara pertanyaan itu ada satu yang menggoda. Sang wakil rakyat bertanya, seberapa penting kehadiran sebuah Perguruan Tinggi. Bukankah dengan Universitas Terbuka sudah cukup?
Kelihatan pertanyaan pragmatis. Barangkali juga menggambarkan pemahaman seadanya. Yang ada dalam benaknya adalah sekadar memperoleh ijazah. Padahal pendidikan butuh proses. Apalagi yang mau dicetak adalah SDM unggul.
Kepada Anggota Dewan terkhormat, penulis memberikan data yang dikutip dari Badan Pusat Statistik. Jumlah siswa SMK sekitar 2 ribu orang sementara SMA mencapai 4.500. Setiap tahun terdapat 2.500 lulusan dari Kabupaten Lembata.
Tetapi berapa persen dari 2.500 lulusan itu yang melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Data menunjukkan, hanya 8% (atau hanya sekitar 200 orang) yang. Yang lainnya (terutama lulusan SMA) hanya ‘belebung’ (menganggur, istilah orang Lembata) di kampung dan begitu sering datang ke Lewoleba (yang dianggap kota itu).
Kalau pun bekerja, mereka hanya meneruskan pola pertanian yang dari dulu. Peluang menghasilkan atau membudidayakan pertanian bayam dan kangkung sangat sedikit. Lebih kurang, malah bisa disebut tidak ada penanaman bawang putih, jahe, lengkuas, kencur, kunyit, lida buaya, temulawak. Data BPS menunjukkan nihil alias ‘kosong melompong’. Semuanya akan lebih tidak ada lagi kalau ditanyakan tentang bunga anggrek, krisan, mawar, sedap malam, pakis yang tidak dijual sebagia hasil dari produk pertanian di Lembata.
Artinya peluang yang ada tidak digarap karena SDM masih bersifat umum. Kreativitas yang diharapkan pun masih sangat jauh. Dengan demikian lulusan SMK (apalagi SMA) hanya menambah beban dan bukannya membawa solusi. Keadaan itu bila tidak ditangani maka akan menjadi panorama suram malah gelap di Lembata mengingat total penduduk usia 0 – 20 tahun hampir 50% dari jumlah penduduk usia di atasnya.
Defisit SDM yang secara umum juga terekpresi dalam kapasitas SDM ASN DI Lembata. Hanya 44% yang lulusan S1 dan S2. Lulusan doktor tidak ada. Selebihnya adalah lulusan Diploma, SMA, dan bahkan ada yang masih lulusan SD dan SMP. Jadi bisa terbayangkan, bagaimana SDM yang hanya ‘’segitu’ bisa membimbing warga lainnya yang juga pendidikan seadanya. Siapa yang akan bimbing siapa karena bahkan ASN sendiri butuh bimbingan?
Lompatan Strategis
Adanya défisit SDM di Lembata mendorong pertanyaan kritis: apa yang perlu dilakukan agar jurang pemisah itu tidak menjadi kian lebar antara harapan dan perwujudan?
Pertama, pendidikan, khususnya SMA (apalagi SMK) perlu diarahkan kepada penguasaan kompetensi. Ini sebuah PR yang tidak mudah mengingat bahkan pada pendidikan teoritis saja terjadi kevakuman yang sangat. Jatah ‘harus lulus dan tamat’ telah melonggarkan disiplin. Tidak sedikit orang tua dan anak-anaknya lebih mengejar ijazah, alias ‘yang penting tamat ama’.
Hal ini mestinya mendorong sekolah untuk memiliki ciri khas oleh penguasaan kompetensi tertentu. Kekhususan seperti inilah yang diharapkan menjadi ciri khsus dan bisa diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang lebih siap kerja. Dengan demikian dana BOS seharusnya dialokasikan untuk kegiatan kreatif dengan efek yang besar ketimbang upaya seremonial belaka yang oleh Matehos Tan disebuth sebagai ‘biaya tingkah laku’.
Kedua, Pemda perlu proaktif dan mengalokasikan dana untuk turut mendukung Perguruan Tinggi Vokasional. Kehadiran Akademi dan terutama Politeknik menjadi sebuah kebutuhan. Hal itu bisa dilihat dari keperluan SDM (dosen yang harus disiapkan) termasuk dukungan fasilitas (terutama tanah) untuk memproses pendirian Perguruan Tinggi.
Kenyataannya kesadaran dan komitmen seperti ini masih jauh dari harapan. Selama 2 tahun penulis berjibaku meyakinkan pemda baik eksekutif maupun legislatif untuk melihat kehadiran perguruan tinggi sebagai sebuah kebutuhan. Nyatanya tidak mudah karena bahkan pengambil keputusan masih merasa ‘pas’ dengan apa yang ada. Malah menganjurkan agar lulusan SMA / SMK cukup mengikuti pendidikan Universitas Terbuka. Sebuah tawaran yang kelihatan menarik tetapi miskin implementasi. Pasalnya, bagaimana lulusan SMA/SMK yang sekolahnya ‘Senen-Kamis’ (istilah orang Jakarta) bisa memiliki kualitas akademi untuk bisa belajar sendiri?
Kevakuman dukungan seperti ini tidak saja menjadi kendala untuk pembangunan Perguruan Tinggi di masa depan tetapi telah menjadi ‘bukti negatif’ untuk perguruan tinggi yang sudah ada sebelumnya. Kehadiran D2 Pertanian IPB, kampus filial beberapa perguruan tinggi swasta selain ditutup karena regulasi tetapi juga karena minimnya komitmen pemda Lembata.
Yayasan Koker Niko Beeker misalnya telah diberikan Surat Rekomendasi pada 7 Maret 2022 oleh bupati Thomas Ola Langoday. Tetapi hal itu sekadar penyerahan simbolis sambil Yayasan yang menyiapkan SDM dan persiapan kurikulum masih ‘diharapkan’ mencari dana untuk memungkinkan kehadiran perguruan tinggi di lembata.
Tetapi kita masih optimis bahwa ide besar ini hanya bisa dieksekusi dengan kekuatan yang lebih kuat. Kehadiran Matheos Tan sebagai ‘orang pusat’ dengan jaringan yang lebih kuat tentu menjadi sebuah dukungan yang besar. Minimal setahun berada di Lembata, ‘legacy’ tentang kehadiran Perguruan Tinggi untuk melahirkan SDM unggul bisa dikonkretitasi sambil berharap bahwa lembaga legislatif yang selama ini antusias diharapkan dapat menyokong seusai topoksinya.
Bila kita berpikir dalam perspektif ini maka bisa ada lompatan strategis. Minimal kisah si tukang gergaji yang bekerja begitu keras tetapi gergajinya tumpul itu tidak terjadi. Kita sebaliknya perlu mengasah SDM kita agar bisa bekerja lebih cerdas mengelola potensi alam Lembata. ***