Aksinews.id/Yogyakarta – Berbagai kalangan terus mempersoalkan jam masuk sekolah pukul 05.00 ataupun 05.30 pagi. Pakar Perkembangan Anak, Remaja, dan Pendidikan, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), T. Novi Poespita Candra, S.Psi., M.Si., Ph.D., Psikolog, menilai kebijakan jam masuk sekolah pukul 05.30 Wita di Kota Kupang, NTT, itu bakal berdampak buruk bagi siswa.
Ya, “Masuk lebih pagi, terburu-buru, dikhawatirkan anak-anak jadi tidak sempat sarapan atau sarapan namun kurang berkualitas sehingga memengaruhi konsentrasi belajar di sekolah,” kata Novi di Yogyakarta, Kamis, 2 Maret 2023.
Dia menjelaskan kebijakan sekolah masuk lebih pagi juga bisa berdampak negatif pada fisik, emosi, maupun kognisi siswa. Dari sisi fisik, masuk sekolah lebih pagi akan memengaruhi kualitas tidur sehingga berpengaruh pada kondisi fisik anak.
Selain itu, penambahan jam sekolah akan mengakibatkan kelelahan kronis pada anak yang bisa menurunkan imunitas tubuh sehingga lebih rentan terserang penyakit dan mengurangi fokus belajar anak.
Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan ini, mengatakan kebijakan masuk sekolah pagi juga akan berpengaruh pada emosi anak karena harus bangun lebih pagi yang tentunya bukan menjadi hal yang mudah. Demikian halnya dengan orang tua, yang bisa tersulut emosinya ketika menjumpai anak-anak belum siap.
“Akan banyak berpotensi memunculkan problem emosi, yang seharusnya berangkat dengan emosi positif penuh harapan dan motivasi. Namun, justru diawali dengan emosi negatif. Belum lagi kalau terlambat anak akan menerima hukuman, di sini anak-anak juga bisa timbul emosi dan begitu juga gurunya emosi karena capek,” jelasnya.
Menurutnya ada lingkaran persoalan emosi negatif yang dimunculkan dalam kondisi itu. Apabila hal tersebut berlangsung dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat menurunkan motivasi belajar siswa dan mengajar guru.
Kebijakan tersebut, menurut dia juga memengaruhi aspek kognitif pada anak karena otak manusia akan berfungsi secara optimal jika kondisi seluruh tubuh berada dalam keadaan fit dan bahagia.
Jika hal itu tidak terjadi maka otak tidak dapat berfungsi secara optimal sehingga berkontribusi pada penurunan kualitas numerasi, literasi, serta pengambilan keputusan.
Karena masuk sekolah lebih pagi, menurut Novi, anak-anak juga bakal kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga. Demikian pula dari sisi keamanan, kebijakan ini masih kurang tepat.
“Kalau masuk lebih pagi kan masih gelap. Ini perlu dipikirkan keamanannya, terutama daerah-daerah pinggiran yang jalanannya masih sepi kan bahaya,” ujarnya.
Novi menilai kebijakan yang diterapkan tersebut kurang bijaksana dan kurang komperehensif. “Dalam kajian perkembangan dan pendidikan sampai saat ini belum ada studi yang menjustifikasi jika sekolah dimulai lebih pagi dan menambah lama jam sekolah memiliki signifikansi terhadap etos belajar, kedisiplinan, dan prestasi siswa. Dengan begitu kebijakan ini kurang bijaksana,” paparnya.
Lebih lanjut Novi mengatakan, kebijakan masuk sekolah pagi untuk mendorong kedisiplinan siswa pada realitanya tidak tercapai.
Dari pantauan yang dilakukan oleh Kompas.id ada sekitar 96,16% siswa yang terlambat di SMA N 1 Kota Kupang pada Rabu (1/3/2023). “Kebijakan tersebut juga kurang empatik dan komperehensif karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial siswa dan guru. Dari investigasi beberapa media tercatat tidak semua anak punya kendaraan sendiri sehingga harus menyewa lebih mahal ada juga orang tua yang mengeluh tidak bisa pergi bekerja karena harus mengantar anaknya dahulu. Kebijakan ini jadi kurang terlihat memanusiakan,” jelasnya.
Novi kembali menegaskan, bahwa kebijakan yang ditetapkan pemprov NTT kurang tepat sebagai upaya untuk mendorong kedisplinan, etos belajar, produktivitas, dan prestasi pada siswa. Menurutnya, memajukan jam masuk sekolah bukanlah satu-satunya cara untuk mewujudkan hal-hal tersebut. Cara yang dirasa efektif untuk membentuk kultur belajar di sekolah adalah yang memfasilitasi kodrat-kodrat manusia yang berupa rasa keingintahuan, dialog, serta kreativitas.
“Untuk meningkatkan displin, etos belajar, dan prestasi pada siswa remaja ini yang dibutuhkan adalah motivasi atau kesadaran dalam diri siswa. Kalau di sekolah dibangun rasa ingin tahu, belajar berdasar kasus, eksperimen, maka akan-anak akan dengan sadar dan punya motivasi belajar,” jelasnya.
Rasa keingintahunan pada siswa ini dikatakan Novi perlu dibangun melalui dialog. Sebab siswa masih berada dalam tahapan usia remaja yang sedang berkembang menemukan identitas diri. Dengan sering melakukan dialog dengan guru diharapkan dapat memunculkan kesadaran diri akan pentingnya disiplin maupun belajar.
Sayangnya, sekolah di Indonesia saat ini masih minim dalam membangun dialog dan rasa ingin tahun pada siswa. Novi menyebutkan, upaya membangun kreativitas dan memfasilitasi pengembangan imajinasi pada siswa juga perlu diupayakan.
“Problem anak sekarang ini 79% itu karena kebosanan. Kalau jam pelajaran ditambah justru akan menambah kebosanan anak yang akan menurunkan motivasi belajar sehingga bagaimana menciptakan kultur baru yang memperhatikan kodrat-kodrat manusia perlu dipikirkan,” katanya, seperti dikutip Baliportalnews.com. (*/AN-01)
Ah..itu pendapat anda saja….memang bangsa ini kalau mau maju harus bayar harga….toh lama kelamaan anak anak akan menyesuaikan dan akan terbiasa lebih cepat lebih baik,lagian pepatah Melayu ” ala bisa karena biasa
Jalan terus….saya setuju masuk lebih awal….