Oleh: Herman Huller, S.H.
Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Lembata
Tulisan ini, sengaja saya buat agar tidak terjadi penyesatan opini yang beredar di masyarakat terkait persidangan perkara pidana pembunuhan berencana dengan korban Brigadir Josua yang menarik perhatian masyarakat Indonesia. Perlu saya tegaskan di awal tulisan ini, bahwa pendapat yang ditulis murni pendapat pribadi berdasarkan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki dan pengalaman sebagai Aparatur Pengadilan.
Tulisan ini sama sekali tidak mewakili Lembaga tertentu, dan juga tidak mewakili kepentingan kelompok tertentu apalagi kepentingan politik tertentu.

Persidangan kasus pembunuhan berencana dengan para terdakwa Ferdy Sambo, Cs., sudah dimulai dengan Pembacaan Surat Dakwaan yang dilanjutkan dengan Pembacaan Nota Keberatan/Eksepsi dari Para Terdakwa melalui Tim Penasehat Hukumnya.
Saya membaca beberapa komentar dan pernyataan di media sosial sepertinya ada yang merasa aneh dengan adanyaa agenda sidang Pembacaan Nota Keberatan/Eksepsi yang dilakukan di hari yang sama setelah Pembacaan Surat Dakwaan dari Penuntut Umum.
Ada yang merasa bahwa hal itu tidak lazim dalam Praktek Peradilan Perkara Pidana, karena tidak ada jeda waktu atau setidak-tidaknya ada penundaan sidang untuk memberikan kesempatan kepada Tim Penasehat Hukum Terdakwa untuk menyusun nota keberatan atau eksepsi.
Tata cara sistem peradilan pidana harus didasarkan pada asas legalitas hukum acara pidana sebagaimana tercantum pada ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 KUHAP, yang isinya sebagai berikut:
Pasal 2 menyatakan, “Undang-undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan”.
Pasal 3, tertulis, “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan tersebut mengisyaratkan makna bahwa KUHAP adalah undang-undang yang merupakan satu-satunya (the only one) sumber atau dasar hukum acara pidana yang harus digunakan oleh aparat penegak hukum untuk melaksanakan tata cara peradilan pidana di semua tingkatan sejak Laporan Polisi, Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan dan Proses Persidangan sampai perkaranya mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) hingga proses pelaksanaan Putusan/Eksekusi. Bahkan, sampai pada proses Pengawasan dan Pengamatan (Wasmat) atas Narapidana dalam menjalankan masa pemidanaan.
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang tenggat waktu kapan saatnya Terdakwa atau Penasehat Hukumnya mengajukan eksepsi.
Adapun landasan hukumnya adalah sebagai berikut:
Pasal 143 KUHAP berbunyi:
- Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
- Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
- a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
- b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
- Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
- Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 143 Ayat (4) KUHAP tersebut, maka jelas bahwa Penuntut Umum telah mengirimkan Salinan Surat Dakwaan serta Surat Pelimpahan Perkara ke Pengadilan Negeri kepada Terdakwa dan Penasehat Hukumnya pada saat yang bersamaan dengan proses pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan Negeri (di hari yang sama).
Dimana, proses pelimpahan perkara Ferdy Sambo, Cs dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2022, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan pada hari yang sama Terdakwa dan Penasehat Hukumnya juga telah mendapatkan salinan surat dakwaan serta salinan surat pelimpahan Perkara.
Dengan demikian, maka Tim Penasihat Hukum Terdakwa telah mempelajari surat dakwaan dan mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan nota keberatan/eksepsi selama kurang lebih satu minggu.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada sidang pertama kemarin hari Senin, 17 Oktober 2022, Penasihat Hukum Terdakwa langsung membaca nota keberatan/eksepsi setelah pembacaan surat dakwaan dari Penuntut Umum.
Berkaitan dengan Eksepsi/Keberatan atas surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum yang diajukan oleh Terdakwa atau Penasehat Hukumnya, KUHAP tidak merumuskan secara jelas terkait definisi/pengertian dari eksepsi tersebut. Menurut M.Yahya Harahap, eksepsi atau exeption adalah tangkisan (plead) atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap materi pokok surat dakwaan tetapi keberatan atau pembelaan ditujukan terhadap cacat formal yang melekat pada surat dakwaan.
Pengaturan mengenai eksepsi diatur dalam Pasal 156 Ayat (1) KUHAP, yang berbunyi: “Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan”.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 156 Ayat (1) KUHAP tersebut, bahwa pengajuan keberatan menyangkut pembelaan atas alasan formal oleh Terdakwa atau Penasehat Hukum adalah hak dengan ketentuan harus diajukan pada sidang pertama, yakni “sesaat” atau “setelah” Penuntut Umum membaca surat dakwaan.
Apabila pengajuan eksepsi diajukan di luar tenggat waktu yang disebutkan di atas, maka eksepsi tidak perlu ditanggapi Penuntut Umum dan Pengadilan Negeri, kecuali eksepsi mengenai kewenangan mengadili yang diatur dalam Pasal 156 Ayat (7) KUHAP, yang berbunyi:
“Hakim ketua sidang karena jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah
mendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya dapat menyatakán pengadilan tidak berwenang.”
Dengan demikian tidak ada yang aneh dan tidak ada yang tidak lazim dalam praktek peradilan pidana yang berlaku di Negara kita. Oleh karena itu yang menjadi aneh adalah pendapat liar dan sesat dari orang-orang yang menyatakan bahwa Pengajuan Eksepsi / Keberatan di hari yang sama setelah pembacaan Surat Dakwaan dari Penuntut Umum adalah hal yang tidak lazim dalam Hukum Acara Pidana.
Semoga Bermanfaat! ***