Aksinews.id/Lewoleba – Korban selamat tragedi badai seroja dan banjir bandang di desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape dan sekitarnya menggelar upacara misa Katolik untuk mengenang satu tahu satu tahun diterjang bencana. Waimatan merupakan desa dengan kerusahan paling parah. Saluruh penduduknya harus direslokasi.
Selama setahun ini, korban bencana yang rumahnya hanyut terbawa banjir menempati pondok-pondok pengungsian, baik yang dibangun pemerintah maupun dibangun secara mandiri oleh sejumlah LSM dan korban badai Seroja.
Para korban bencana di wilayah Ile Ape masih banyak yang menempati pondok-pondok di lokasi pengungsian. Ada korban yang rumah di kampung halamannya masih baik, memilih kembali dan tinggal disana sambil menunggu pemerintah membangun perumahan layak huni atau yang dikenal dengan Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA). Namun, sampai satu tahun bencana berlalu, Risha yang dibangun tak kunjung ditempati.
Di Perumahan Waesesa, Kecamatan Ile Ape, misalnya. Walau rumahnya sudah selesai dibangun dan sudah dilakukan penyerahan kunci rumah kepada para pengungsi, namun hingga kini pun belum juga ditempati. Pasalnya, perumahan yang terdiri atas tiga zona itu, di zona tiga belum dialiri air. Dari 30-an rumah di zona tiga ini, hanya ada satu kran air di satu rumah yang berfungsi dan keluar air. Sedangkan rumah lainnya tak ada air.
Selain itu, ketika serah terima kunci, rumah dalam keadaan kosong melompong. Tak ada satupun perabot yang ada di dalam rumah. Bahkan, kaca jendela polos pun tak bergorden.
“Padahal waktu kunjungan Pak Presiden Joko Widodo, waktu itu Ibu Menteri Sosial bilang kami siap terima kunci. Semua perabot dan perlengkapan rumah tangga disiapkan Kementerian Sosial. Tapi kenyataannya pak bisa lihat sendiri. Rumah ini kosong,” tandas Bernadus Bunung, pengungsi asal Desa Tanjung Batu, Kecamatan Ile Ape yang menempati salah satu rumah di zona tiga.
Karena rumah diterima dalam kondisi kosong, terpaksa para korban bencana belum bisa tempati. Selama ini, mereka terpaksa tetap bertahan di pondok pengungsian di kebun dan hanya datang ke perumahan untuk bersih-bersih.
Kalaupun mau tidur di rumah baru, mereka terpaksa hanya tidur di lantai beralaskan tikar bantuan yang diterima sesaat setelah bencana. “Selama ini bersama keluarga tinggal di pondok di kebun. Baru dua hari ini datang ke sini (Perumahan Waesesa),” kata Bernadus.
Ia mengakui, kendala yang dialami karena airnya tak keluar di zona tiga. Hanya satu kran air saja yang airnya keluar dan dimanfaatkan oleh seluruh warga di zona tiga.
Ia juga mengatakan, di zona tiga, baru sebanyak tujuh kepala keluarga (KK) yang menempati rumah bantuan. Selebihnya masih berada di pondok-pondok. Ada pula yang kembali tinggal di rumah mereka di kampung.
“Masuk dalam kondisi kosong sama sekali. Padahal dulu bilangnya terima bersih, semua perlengkapan yang ada di rumah disiapkan. Harap janji-janji dulu agar dipenuhi, tapi kalau memang tidak ada, apa boleh buat. Kami harapkan yang mereka pernah janjikan itu ada ya syukur. Kalau tidak ada mau bagaimana lagi,” ujar Bernadus pasrah.
Fatima Bita, korban bencana dari Desa Tanjung Baru pun mengakui hal yang sama. Korban bencana yang kakinya sempat ditangani dan dirujuk ke Kupang itu pun kecewa, karena saat menerima kunci, rumah dalam keadaan kosong. Tak ada satupun perabot yang ada di dalam rumah. Padahal, kata Fatima Bita, saat bencana terjadi, pemerintah berjanji siapkan rumah lengkap dengan isinya.
“Ama lihat sendiri. Kalau saya datang terpaksa tidur saja di lantai. Ini tikar bantuan yang masih bisa kami bawa datang di rumah baru,” katanya.
Ia juga berharap, janji-janji pemerintah saat bencana dulu bisa direalisasikan.
Di tempat terpisah, Maria Isabela Sabu, penghuni perumahan zona satu mengatakan, ia bersama aumai dan salah satu anaknya menempati rumah di zona satu.
Saat peristiwa setahun lalu, ia dan suami serta anaknya selamat. Sedangkan mama mantunya dinyatakan hilang dan tak ditemukan hingga saat ini.
Kini, setelah setahun berlalu, ia bersama keluarganya mulai menempati perumahan bantuan pemerintah. Sayangnya, saat rumah ditempati, tak ada satupun perabot yang diterima.
“Kami khawatir kalau sudah isi perabot lalu datang lagi perabot bantuan nanti rumah penuh dengan barang. Saya masih berdoa semoga janji ibu menteri untuk lengkapi fasilitas di dalam rumah bisa ditepati,” katanya.
Ia mengaku sempat menanyakan hal itu kepada pimpinan proyek perumahan. Namun, mereka mengaku hanya mengerjakan rumah.
“Mereka tak tahu soal perabot dan kebutuhan lainnya di rumah itu. Sudah empat hari ini datang tinggal di sini walau tidur beralaskan tikar saja karena selama ini masih tinggal di pondok di kebun,” kata Isabela Sabu.
Knedati begitu, ia tetap berterima kasih, karena air dan listrik sudah dibayar pemerintah selama enam bulan. Nanti setelah bulan keenam, baru mereka mulai membayar sendiri.
Halima Tua, pengungsi asal Desa Waowala, Kecamatan Ile Ape mengaku sampai saat ini ia masih tinggal bersama keluarganya di rumah pengungsian yang dibangun sendiri di Waesesa.
“Recananya mau dipindahkan di Perumahan Podu. Tapi karena belum dapat perumahan jadi tinggal sementara dengan ade di sini,” katanya.
Sementara di Perumahan Podu, tampak masih belum selesai dibangun. Ada rumah yang sudah selesai dan sudah dicat. Namun ada bangunan yang baru dipasangi bata merah. Ada pula yang baru sampai pada tahap pemasangan rangka atap. Tampak para pekerja masih mengerjakan item pekerjaan di lokasi perumahan yang belum tuntas.
Pada bencana banjir bandang dan badai Seroja lalu, total rumah yang rusak di Kabupaten Lembata sebanyak 604 unit, dengan rincian rusak berat dan hanyut sebanyak 230 unit, rusak ringan 68 unit.
Banjir bandang dan badai Seroja juga merenggu nyawa manusia. Banjir dari gunung Ile Lewotolok pada tanggal 4 April 2021 silam, merenggut 68 jiwa warga Ile Ape dan Ile Ape Timur. Ada 46 korban meninggal yang ditemukan dan dimakamkan secara layak. Sisanya, 22 orang dinyatakan hilang sampai saat ini.(*/AN-01)